HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Cara Melestarikan Candi Borobudur dan Hal Lain Dibaliknya

Selasa, 14 Juni 2016, 16:39 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Pembaca pasti sudah tahu istilah benda cagar budaya toh? Ya, minimal pernah dengar lah #hehehe. Kalau mau gampangnya, salah satu contoh benda cagar budaya itu ya benda-benda bersejarah gitu.

 

Indonesia punya buuuanyak sekali benda-benda yang masuk ke dalam kategori benda cagar budaya. Dari mulai rumah adat, istana, benteng, stasiun, hingga bangunan batu yang akrab kita sebut sebagai candi.

 

Dari sekian banyak candi yang ada di Indonesia, hampir bisa dipastikan, Candi Borobudur adalah candi yang paling tersohor alias paling populer bin terkenal. Coba saja cek buku-buku mata pelajaran IPS atau sejarah yang dipelajari di sekolah-sekolah. Pasti ada topik bahasan tentang Candi Borobudur. Ya kan? #senyum.lebar

 


Kalau menyebut kata candi dan terbayang bangunan ini lumrah kok. #senyum

 

Dan, beruntunglah bagi Pembaca yang pernah berkesempatan menatap Candi Borobudur secara langsung dengan mata telanjang. Karena ya... di negara kepulauan ini, berpergian mengunjungi tempat-tempat menarik di nusantara merupakan hal yang tergolong langka bagi sebagian besar orang. #senyum

 

Aksi Generasi Muda Melestarikan Candi Borobudur

Nah, dalam rangka memperingati 25 tahun dikukuhkannya Candi Borobudur sebagai situs warisan dunia (world heritage sites), Balai Konservasi Borobudur bekerja sama dengan komunitas Yogyakarta Night at the Museum menggelar sejumlah rangkaian acara dengan tema besar,

 

“Aksi Untuk Borobudur”

 

Secara garis besar, melalui acara ini Balai Konservasi Borobudur beserta Komunitas Yogyakarta Night at the Museum ingin mengajak generasi muda untuk turut melestarikan Candi Borobudur.

 

 

 

Mengapa demikian?

 

Itu karena setiap benda cagar budaya (nggak hanya terbatas pada Candi Borobudur saja) merupakan warisan sejarah, hasil karya orang-orang dari generasi sebelum kita, yang saat ini diwariskan kepada kita, untuk kemudian diwariskan kembali kepada generasi penerus kita.

 

Bisa dibilang ya semacam estafet waris-mewariskan begitu lah. #hehehe

 

Jadi ya, kalau generasi muda nggak paham bagaimana cara melestarikan benda cagar budaya, bisa-bisa benda cagar budaya tersebut nggak bakal bisa terwariskan pada generasi berikutnya. Sebabnya... ya... benda cagar budayanya sudah keburu musnah duluan. #sedih

 

Nggak mau kan terjadi hal yang menyedihkan seperti itu?

 


Patung Buddha di Bamiyan, Afganistan kini hanya bisa disaksikan di Wikipedia setelah dihancurkan oleh tentara Taliban pada tahun 2001. #sedih
Foto dipinjam dari: http://www.hazarapeople.com

 

Toh, Indonesia kan juga bukan negara komunis ataupun penganut paham islam ekstrimis yang hobinya memusnahkan warisan sejarah karya nenek moyang. #hehehe

 

 

Di artikel ini, aku ingin mengajak Pembaca semua untuk mendalami bagaimana cara dan upaya dalam pelestarian benda cagar budaya, yaitu Candi Borobudur, berdasarkan ilmu-ilmu yang aku serap selama mengikuti kegiatan “Aksi Untuk Borobudur” bareng Balai Konservasi Borobudur dan komunitas Yogyakarta Night at the Museum.

 

Semoga kiranya, setelah membaca artikel ini, Pembaca jadi punya wawasan lebih tentang pelestarian Candi Borobudur dan bisa kiranya turut mewariskannya pada generasi yang akan datang.

 

Aamiin...

 

Mengenal Candi Borobudur dari Namanya

Sebelum kita menelisik lebih jauh perihal upaya dan cara pelestarian Candi Borobudur, alangkah baiknya bila kita memahami terlebih dahulu obyek pelestarian kita yang tidak adalah Candi Borobudur itu sendiri.

 

Pertanyaan pertama yang muncul adalah,

 

“Apakah yang dimaksud dengan Candi Borobudur?”

 

 

Mari kita bedah secara kata per kata. Frasa “Candi Borobudur” terdiri dari dua kata, yakni candi dan Borobudur.

 

Candi merupakan bangunan peninggalan masa lampau yang struktur utamanya terbuat dari batu yang disusun secara menumpuk. Pada umumnya, di masa lampau bangunan candi difungsikan sebagai tempat pemujaan atau tempat ibadah.

 

Sedangkan Borobudur, hmmm... Sebetulnya Borobudur bukanlah nama resmi dari candi yang kita kenal itu. Candi Borobudur sebetulnya lebih tepat dimaknai sebagai Candi di Borobudur. Itu karena Candi Borobudur terletak di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

 

 

Pembaca harus tahu, candi-candi yang ditemukan di zaman modern ini, umumnya nggak diketahui nama aslinya. Untuk mengetahui nama asli dari suatu candi, para ahli purbakala merujuk kepada informasi yang termuat dalam prasasti. Tapi ya itu. Tidak semua candi yang ditemukan disertai oleh penemuan prasasti dan tidak setiap prasasti yang ditemukan memuat nama candi. Membingungkan toh? #hehehe

 

Oleh sebab itu, berdasarkan kesepakatan di ranah arkeologi, umumnya candi-candi yang nama aslinya nggak diketahui tersebut diberikan nama baru sesuai nama wilayah tempat candi tersebut ditemukan. Karena Candi Borobudur terletak di Kecamatan Borobudur, makanya diberi nama demikian. Selain Candi Borobudur, kita juga mengenal Candi (di) Sambisari, Candi (di) Kadisoka, Candi (di) Pringapus dan lain sebagainya.

 


Prasasti Canggal (disebut juga Prasasti Gunung Wukir) menyebutkan pembangunan suatu tempat pemujaan.
Tapi, prasasti ini tidak menyebutkan nama bangunannya. #sedih

 

Guna menyingkap nama asli Candi Borobudur, para ahli purbakala juga mengulik asal-muasal kata Borobudur. Ada yang berpendapat, Borobudur berasal dari kata boro dan budur. Kata “boro” bisa diartikan sebagai biara, sesuatu yang agung, atau sesuatu yang jumlahnya banyak. Sedangkan kata “budur” bisa diartikan sebagai bangunan suci agama Buddha.

 

Lain halnya dengan Dr. De Casparis. Beliau berpendapat, kata yang penyebutannya mirip dengan Borobudur, termuat dalam suatu prasasti berangka tahun 842 M yakni “bhumisambhara”. Akan tetapi, prasasti yang memuat kata “bhumisambhara” tersebut tidak memuat kata yang penyebutannya mirip dengan kata “budur”.

 

Dr. De Casparis punya pendapat lain tentang asal-usul kata “budur”. Menurutnya, kata “budur” berasal dari kata “budhara” yang berarti bukit. Sehingga bila kedua kata tersebut dipadankan, Borobudur berasal dari kata “bhumisambharabudhara” yang bila diartikan menjadi “Bukit Tumpukan Kebajikan pada (kesepuluh) Tingkatan-tingkatan (ke-Bodhisattwa-an)”.

 

Wew, panjang juga ya artinya? #senyum.lebar

 

 

Betapa pun menariknya pendapat Dr. De Casparis tersebut, hingga saat ini belum ada teori kuat yang menyatakan asal-usul kata Borobudur sekaligus nama asli dari Candi Borobudur. Bisa jadi, di masa mendatang, Pembaca lah yang kelak akan menyingkapnya. #senyum.lebar

 

Tentang Pendiri Candi Borobudur

Kita lanjut ke pertanyaan yang kedua,

 

“Kenapa Candi Borobudur Didirikan?”

 

 

Hingga saat ini belum diketemukan dokumen tertulis yang secara terang-terangan menyatakan kapan Candi Borobudur dibangun, siapa yang memerintahkan pembangunannya, dan untuk apa ia didirikan. Akan tetapi, dengan membanding-bandingkan berbagai kejadian, jenis huruf prasasti, dan peninggalan budaya, para ahli purbakala dapat membuat suatu perkiraan.

 

Menurut Pak Dwi Pradnyawan, dosen Jurusan Arkeologi FIB UGM yang menjadi narasumber dalam acara Talkshow “Membangun Kebersamaan dalam Pelestarian Candi Borobudur”, Candi Borobudur didirikan pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi, atau sekitar tahun 760 hingga 840 Masehi. Pada kurun waktu tersebut, wilayah Jawa Tengah berada di bawah kekuasaan dinasti Syailendra dengan rajanya yang tersohor, Samaratungga.

 

Seperti yang kita ketahui, agama-agama besar yang ada di Indonesia seluruhnya merupakan "agama impor" yang dibawa oleh para pendatang. Iya nggak Pembaca? #senyum.lebar

 


Lewat Jalur Darat (Jalur Sutera) memang lebih cepat tapi rawan kejahatan.
Kalau lewat jalur laut dari India ke Cina butuh waktu sekitar 6 bulan.

 

Di kurun abad ke-7 hingga ke-8 Masehi, Indonesia merupakan tempat singgah bagi orang-orang yang melakukan perjalanan India – Cina. Di antara orang-orang yang melakukan perjalanan tersebut adalah para pendeta Buddha yang kemudian menyebarkan ajaran Buddha di nusantara. Ada pula anggapan umum bahwa keluarga raja dari dinasti Syailendra berasal dari India Selatan atau Indo Cina.

 

Pembangunan candi-candi indah yang menjamur di Jawa Tengah diduga kuat merupakan buah dari kemakmuran kerajaan dan adanya suatu sistem di dalam masyarakat yang memungkinkan raja-raja memerintahkan pendirian bangunan suci tersebut. Pembangunan Candi Borobudur sendiri diperkirakan berjalan secara bertahap selama puluhan tahun. Tenaga kerjanya terdiri atas warga desa di seluruh kerajaan yang melakukannya secara sukarela dan bergotong-royong.

 

Yang Unik dan Menarik dari Candi Borobudur

Pertanyaan selanjutnya adalah,

 

“Apa yang Membuat Candi Borobudur ini Menarik dan Unik?”

 

 

Candi Borobudur merupakan candi Buddha terbesar yang dimiliki Indonesia. Batu penyusun Candi Borobudur berjumlah 2 juta lebih! Wow! Sebagai candi Buddha, Candi Borobudur terdiri dari 72 stupa, 504 arca Buddha, dan 1.460 relief naratif.

 

Semisal Pembaca berkunjung ke Candi Borobudur, perhatikan deh relief-reliefnya! Seluruhnya diukir dengan sangat detil dan itu dikerjakan manual dengan teknik pahat. Zaman dulu itu ya belum ada mesin ukir-ukiran toh ya? #senyum.lebar

 

Jacques Dumarçay, seorang peneliti dari Perancis, menyatakan pendapat bahwa Candi Borobudur dibangun dengan teknologi yang melampaui zamannya. Misalnya saja, bentuk bangunan Candi Borobudur itu presisi dan simetris. Kalau di zaman sekarang kan ya gampang bikin bangunan simetris bisa pakai bantuan alat theodolit toh? Nah, kalau di tahun 800-an Masehi pakainya alat apa? Kita yang sekarang ini bikin garis lurus pakai bantuan penggaris saja masih sering miring-miring kok. #hehehe

 


Membuat bangunan simetris seukuran 123 meter persegi tanpa bantuan alat modern? Aku sih nyerah. #hehehe
Masih mending dasarnya persegi, lha itu stupa-stupanya bundar melingkar, zaman dulu gimana bikinnya?
Foto dipinjam dari: http://espacemandarin.com

 

 

Bicara tentang relief-reliefnya juga nggak kalah menarik. Relief berupa ukiran dekoratif di Candi Borobudur jenisnya buanyak, variatif, simetris, dan presisi. Model relief yang ada di Candi Borobudur ini kelak menjadi acuan saat pembuatan relief untuk Candi Prambanan.

 

Cerita-cerita yang terukir dalam relief, baik itu yang berasal dari sutra Karmawibhangga, Lalitavistara, Jataka/Awadana, dan Gandawyuha juga bisa disarikan dari ajaran Buddha yang berkembang di India dan Cina. Jadi, Candi Borobudur ini merupakan buah karya dari tiga bangsa yang saling berpadu.

 

Menarik-menarik toh? #senyum.lebar

 

Bersih-Bersih di #KelasHeritage Merawat Borobudur

Setelah kita mengupas perihal Candi Borobudur, sekarang mari kita beralih pada pertanyaan terakhir yang menjadi tujuan kita, yakni.

 

“Bagaimanakah Cara Melestarikan Candi Borobudur?”

 

Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada hari Minggu (29/5/2016), Komunitas Yogyakarta Night at the Museum menggelar acara #KelasHeritage bertema “Merawat Borobudur” yang tentu saja bertempat di Candi Borobudur. #senyum.lebar

 


Briefing dulu sebelum cap-cus ke Candi Borobudur.

 

Pagi hari, pukul 08.00 WIB, kami para peserta #KelasHeritage berkumpul di halaman Gelanggang Mahasiswa UGM untuk mendengarkan pengarahan singkat dari Erwin selaku ketua Komunitas Yogyakarta Night at the Museum. Kemudian, dengan 2 bus dan 1 mobil elf, kami berangkat menuju Candi Borobudur. Karena didukung oleh Balai Konservasi Borobudur, kendaraan yang kami tumpangi masuk lewat “jalur belakang” dan diparkir dekat dengan zona I Candi Borobudur. Tanpa tiket masuk juga lho!

 

Duh, kalau begini serasa jadi orang penting. #senyum.lebar

 

 


Bersyukurlah bagi mereka-mereka yang baru sekali ini ke Candi Borobudur, karena....

 

Di Lapangan Aksobya (lapangan rumput luas yang ada di barat laut Candi Borobudur itu lho!), kami disambut oleh perwakilan dari Balai Konservasi Borobudur yang sejurus kemudian mendelegasikan tugas pelestarian Candi Borobudur kepada kami untuk,

 

MEMBERSIHKAN LUMUT DI CANDI BOROBUDUR!

 

Mendadak, muncullah pikiran liar di dalam otakku,

 

“Nggak dapat jatah makan kalau belum dapat kerak lumut seember penuh!”

 

Yang tentu saja ancaman seperti itu nggak terjadi. #senyum.lebar

 


Kira-kira butuh waktu berapa lama buat membersihkan lumut di satu batu itu hayooo? #hehehe

 

Seperti apa yang diajarkan di ranah ilmu geologi (di zaman sekolah dulu mata pelajarannya fisika, kimia, atau geografi ya?), lumut adalah salah satu makhluk hidup yang bisa membuat batu menjadi lapuk, nggak terkecuali batu candi.

 

Di negara Indonesia yang beriklim tropis dan kelembapannya tinggi ini kan jadi tempat favoritnya lumut untuk berkembang biak. Alhasil, Candi Borobudur termasuk sarang lumut terbesar yang mendesak untuk dibersihkan. 

 

Jadi, mari kita bersih-bersih lumut!

SEMANGAAAT! #senyum.lebar

 

Eh, padahal aku hanya foto-foto doang. Nggak ikut kerja keras membersihkan lumut. #hehehe #lari.dari.tugas

 

Ketika Lumut Candi Borobudur Bermain dengan Perasaan #eh

Balai Konservasi Borobudur punya 2 metode untuk mengenyahkan lumut yang menempel di batu-batuan Candi Borobudur, yakni metode kering dan metode basah. Yang kami praktekkan di #KelasHeritage hari ini adalah pembersihan dengan metode kering. Sedangkan, pembersihan dengan metode basah nggak dipraktekkan karena berkaitan dengan penggunaan cairan-cairan kimia yang mengkhawatirkan bila digunakan oleh orang awam. #hehehe

 


Sayang ini bukan mainannya orang-orang awam. #sedih

 

Metode pembersihan kering ini merupakan metode konvensional yang sepertinya merupakan metode yang dipakai para nenek moyang kita ketika membersihkan Candi Borobudur. Ya, masak bisa bikin tapi nggak bisa merawat? #hehehe

 

Peralatan bersih-bersih semacam sikat ijuk, sapu lidi, dan wadah pengki pun sangat-sangat mungkin dibuat ratusan tahun yang lalu. Paling bedanya ya di zaman dulu nenek moyang kita belum kenal yang namanya pengki plastik. #senyum.lebar

 


Nggak jauh beda sama peralatan bersih-bersih di rumah. Setelah selesai dikembalikan lagi lho!

 

Petugas Balai Konservasi Borobudur lantas memandu kami ke salah satu lorong di tingkatan Rupadhatu yang menjadi sarang lumut. Beliau lantas mencontohkan cara membersihkan lumut-lumut yang membandel ini dengan perasaan #halah serta kehati-hatian.

 


Hasil kerjanya yang sudah profesional dengan yang baru sekali ini bersih-bersih batu jelas beda. #salut

 

Sapu lidi digunakan untuk mengorek lumut dari batu. Sesuaikan arah sapuan lidi dengan kontur batu. Bilamana batunya berelief ya ikuti kontur lekuk reliefnya. Menyapukannya juga jangan kasar-kasar, pakai perasaan #halah, yang penting kerak lumutnya terangkat. It’s okay kalau hanya bisa mengangkat sedikit lumut. Yang terpenting, batu candinya jangan sampai rusak.

 


Cara yang paling efektif mengangkat lumut adalah dengan dikorek pakai batang lidi. Jelas butuh kesabaran... BANGET!

 

Penggunaan sikat ijuk dan pengki juga dikombinasikan untuk membantu melenyapkan lumut dari batu. Sekali lagi, membersihkannya perlu kehatian-hatian agar jangan sampai merusak batu. Pokoknya, bersih-bersihnya harus pakai perasaan #lagi.lagi, hahaha. #senyum.lebar

 


Memang idealnya yang bersih-bersih Candi Borobudur itu ya cewek-cewek, soalnya mereka punya perasaan.
Lha, kan cowok sering dibilang nggak peka dan nggak punya perasaan. #malah.curhat

 

Bila dibandingkan dengan metode basah, daya bersih pada metode kering ini jelas kurang efektif. Hanya saja, kemungkinan kerusakan batu yang diakibatkan metode kering ini lebih minim karena nggak menggunakan cairan kimia. Dalam jangka pendek, dampak penggunaan cairan kimia memang tidak ada. Tapi dampak jangka panjangnya? Itu yang saat ini sedang diteliti.

 


Serius amat, kayak pas ngerjain soal UN aja. #senyum.lebar

 

 

Setengah jam pun berlalu. Hasil kerak lumut yang berhasil dikorek dari batu... ah, paling hanya sebesar upil. Kemajuan yang sangat tidak pesat bukan? Hahaha. #senyum.lebar

 

Agaknya, butuh waktu berhari-hari untuk bisa memenuhi satu ember dengan kerak lumut. Apalagi, di musim hujan lumut-lumut cepat banget berkembang-biak. Seakan-akan proses pembersihan manual ini adalah cerita yang nggak akan pernah selesai. Never ending story. #hehehe

 


Pak Bambang mendampingi peserta yang dicurigai nyontek. #lho

 

Menurut Pak Bambang dari Balai Konservasi Borobudur, konservasi sejatinya adalah menjaga agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Kalau mau ideal ya Candi Borobudur dimuseumkan, diawetkan, dijaga kondisinya, dijauhkan dari pengunjung. Tapi masak ya gitu?

 

Candi Borobudur kan juga benda buatan manusia di alam fana. Suatu ketika ya pasti bakal ada kerusakan. Hanya saja, seberapa cepat rusaknya itu kan bisa ditunda jika dirawat dan dilestarikan. Betul toh? #senyum.lebar  

 

Faktor Alam yang Merusak Batu Candi Borobudur

Selain lumut, ada banyak hal yang turut berperan merusak batu-batu Candi Borobudur. Bencana alam misalnya. Umumnya, orang menduga, kerusakan terbesar yang diderita Candi Borobudur adalah pasca terjadinya gempa bumi Yogyakarta – Jawa Tengah tahun 2006 silam. Tapi ternyata, kerusakan Candi Borobudur yang terparah adalah pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010.

 

Lha, kok bisa?

 


Wilayah terlarang untuk dibersihkan karena sedang dilakukan percobaan dampak debu vulkanik terhadap batu Candi Borobudur.

 

Debu vulkanik dari erupsi Merapi memiliki karakteristik lengket, tebal, dan bersifat asam. Bila lama terkena air maka debunya akan mengeras. Berbeda dengan debu erupsi Kelud tahun 2014 yang tipis dan mudah hilang tersapu air. Selain secara langsung merusak batu candi, debu erupsi Merapi ini juga memicu tumbuhnya tanaman paku-pakuan yang... juga merusak batu candi. #sedih

 

Munculnya lapisan garam pada permukaan batu candi juga merupakan salah satu pelapukan yang banyak terjadi. Lapisan garam ini muncul disebabkan penguapan dari air yang mengandung mineral garam. Air ini terakumulasi di dalam pori-pori batu candi. Untuk menghilangkan garam bisa memakai teknik elektrolisis. Tapi, aplikasinya teknik ini untuk batu candi nggak semudah seperti percobaan di laboratorium kimia. #hehehe

 

Pengunjung Membeludak, Candi Borobudur pun Rusak

Oh iya! Jangan lupa bahwa para pengunjung juga turut berperan dalam proses terkikisnya batu-batu Candi Borobudur. Di tahun 2015 silam, Candi Borobudur pernah dikunjungi sekitar 58.000 orang dalam sehari! WAOW!

 

Kira-kira kerusakan apa saja yang mungkin ditimbulkan oleh pengunjung yang segitu banyaknya ya?

 


Dampak yang paling sering dibicarakan paling ya Candi Borobodur yang semakin terperosok ke dalam tanah setiap tahunnya.

 

Yang paling terlihat jelas dengan mata telanjang adalah sampah yang bertebaran di mana-mana. Jangankan di lantai candi. Di sudut-sudut lekuk batu juga masih bisa ditemui sampah yang sengaja disembunyikan kok. #hehehe

 

Eh, tapi sampah kotoran makanan itu masih mending ya. Soalnya, Pak Bambang cerita beberapa kali petugas kebersihan menemukan benda-benda supranatural yang dibuang dengan cara disisipkan di sudut-sudut batu candi. Yah, harus diakui, banyak masyarakat kita yang masih beranggapan bahwa Candi Borobudur adalah tempat membuang hal-hal sial. Duh!

 


Kok ya sempat-sempatnya aku melongok ke luar pagar lorong di tingkatan Rupadhatu dan menemukan benda ini.
Untung nggak berisi rambut, kulit orang, jarum, dan lain sebagainya. #hehehe

 

Nah, itu tadi baru sampah. Belum lagi perkara batu candi yang jadi aus karena sering dijamah orang-orang. Soal relief yang tak lagi berbentuk karena sering disentuh-sentuh oleh pengunjung itu juga bukan cerita baru. #hehehe

 

 

Berdasarkan penuturan Pak Nahar Cahyandaru dari Balai Konservasi Borobudur, bagian dari Candi Borobudur yang sekarang ini rawan rusak adalah tangga candi yang semakin terkikis karena terlampau sering dijejak pengunjung. Pernah ada penelitian yang mengungkapkan hasil bahwa tangga Candi Borobudur terkikis sekitar 4 mm per tahunnya. Duh!

 

Penyebab terkikisnya batu tangga Candi Borobudur ini ternyata bukan karena material alas kaki pengunjung. Melainkan karena kerikil-kerikil keciiil yang tanpa sengaja terbawa oleh alas kaki. Jelas toh? Batu ketemu batu, saling bergesekan, mesti kan ada yang terkikis?

 

Lha terus gimana? Apa pengunjung yang ingin menjejak Candi Borobudur harus melepas alas kakinya alias nyeker? Belum pernah merasakan panasnya batu candi pas siang-siang po? #senyum.lebar 

 


Apa perlu pakai jurus lompatan kungfu Shaolin supaya nggak perlu menjejak anak tangga? #hehehe

 

Balai Konservasi Borobudur sendiri sudah melakukan beragam upaya untuk menyelamatkan batuan tangga Candi Borobudur. Ide-ide seperti mengganti atau melapisi batu tangga candi dengan batu baru pernah terlontar namun sulit terealisasi.

 

Alhasil, upaya yang kini dipraktekkan ada dua. Pertama, menutup tangga candi dengan lapisan kayu (yang diprotes karena mengurangi nilai estetika #hehehe). Dan yang kedua adalah menggunakan material dari plastik komposit warna hitam untuk menutupi batu tangga candi. Yang mana dari keduanya yang meminimalkan kerusakan batu tangga candi, saat ini sedang dalam proses penelitian. #senyum

 


Semoga dari kedua upaya ini ada solusi yang mujarab. Disiapkan keset plastik juga lho!

 

Candi Borobudur Bukan Sekadar Tempat Selfie dan Berhala

Nah, itu tadi jenis-jenis kerusakan yang mendera fisik Candi Borobudur. Tapi ternyata, ada juga kerusakan yang nggak tampak secara fisik. Sebagai contohnya, Pembaca bisa mengamati dengan jeli foto-foto di bawah ini.

 


What the... hadeh... no comment deh.

 

Ya, sekarang ini, pengunjung ke Candi Borobudur tujuan utamanya hampir sama dan selalu satu, yaitu FOTO-FOTO. #hehehe

 

Pak Dwi Pradnyawan turut menyebutkan, hampir semua orang yang berkunjung ke Candi Borobudur pasti naik sampai ke tingkat puncak (Arupadhatu) dan foto-foto selfie di sana.

 

Haduh! Candi Borobudur hanya sebagai tempat selfie....

Smartphone dengan kamera dan koneksi internet sudah mengubah perilaku pengunjung....

 

Belum lagi tingkah-polah pengunjung yang nggak santun, seperti memanjat dinding, menduduki arca, hingga memindahkan sejumlah batu. Nggak heran deh kalau kemudian para “penghuni” Candi Borobudur ikut jengkel dengan kelakuan pengunjung yang nggak paham tata-krama ini. #hehehe

 

 

Padahal, Candi Borobudur sejatinya memiliki banyak nilai-nilai yang bisa dipelajari daripada hanya sekadar tempat rekreasi dan foto selfie belaka. Dari mulai nilai arkeologis, nilai historis, nilai spiritual, nilai budaya, nilai keilmuan, dan nilai-nilai lainnya yang berasal dari berbagai disiplin ilmu.

 

Sekadar intermezzo. Aku sendiri menjumpai kenyataan bahwa nggak sedikit dari masyarakat kita yang antipati menggali lebih lanjut nilai-nilai yang terkandung dalam Candi Borobudur karena nggak mau terlibat jauh dengan ajaran agama lain yakni ajaran Buddha. Bahkan nggak jarang ada yang melihat Candi Borobudur sebagai berhala terbesar di Indonesia.

 


Kalau pasangan turis asing ini yang banyak difoto reliefnya.
Mereka sampai niat bawa kursi supaya bisa mengamati relief secara lebih nyaman.

 

Padahal, sebetulnya ya itu tadi, ada banyak nilai-nilai yang bisa kita petik seandainya kita mengesampingkan terlebih dahulu penolakan-penolakan bahwa Candi Borobudur itu bertentangan dengan keyakinan mayoritas penduduk Indonesia.

 

Upaya Mencegah Longsor yang Mengorbankan Relief Karmawibhangga

Untuk memahamkan nilai-nilai tersebut, Pak Bambang dari Balai Konservasi Borobudur lantas mengajak kami, para peserta #KelasHeritage, berkeliling Candi Borobudur untuk meresapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Lumayan lah, daripada bersih-bersih lumut yang sepertinya nggak akan pernah selesai-selesai toh? #hehehe

 

Di bagian kaki candi, yakni tingkatan Kamadhatu. Pak Bambang menceritakan makna dari salah satu relief yang diambil dari sutra Karmawibhangga. Relief tersebut memaparkan bagaimana hukuman bagi orang-orang yang suka bergosip. Ini kan salah satu bentuk seruan agar manusia di dunia ini JANGAN SUKA NGOMONGIN ORANG LAIN. #hehehe

 


Peserta mendengarkan penjelasan Pak Bambang mengenai salah satu relief Karmawibhangga.

 


Jadi ceritanya, ada seorang pria yang sudah beristri sedang berjalan dengan wanita lain.

 


Orang-orang yang melihat kejadian itu lantas bergunjing.

 


Di akhirat kelak, para penggunjing akan mendapat balasan berupa wajah yang buruk rupa.

 

Saat ini, hanya ada beberapa relief Karmawibhangga yang tampak di dinding Kamadhatu. Sebabnya, bagian kaki Candi Borobudur diselubungi oleh dinding batu-batu tambahan yang menutupi sebagian besar relief Karmawibhangga. Untungnya, foto-foto relief Karmawibhangga sudah diabadikan oleh fotografer profesional Indonesia yang pertama, Kassian Cephas.

 


Kassian Cephas saat bertugas memotret Candi Borobudur.
Foto dipinjam dari: en.wikipedia.org

 

Banyak orang-orang yang beranggapan, dinding batu-batu tambahan ini dimaksudkan untuk menutupi relief Karmawibhangga yang cenderung vulgar. Anggapan tersebut kurang tepat, karena dinding tambahan ini sebetulnya merupakan pilihan berat yang terpaksa dilakukan agar Candi Borobudur nggak longsor.

 


Bagian Kamadhatu yang dibuka dan menampilkan sebagian relief Karmawibhangga.

 

 

Eh, Candi Borobudur longsor? Kok bisa?

 

Informasi untuk Pembaca, sebenarnya Candi Borobudur itu hanyalah susunan batu yang mengelilingi bukit yang terbuat dari tanah uruk. Candi Borobudur itu bukan bangunan yang seluruhnya terbuat dari batu. Jadi, kalau Pembaca membongkar batu-batu penyusun Candi Borobudur sampai ke pusatnya, ketemunya ya tanah.

 

Ibaratnya gini deh. Pembaca ambil mangkok nasi, diisi padat dengan tanah, kemudian ditelungkupkan sehingga membentuk gundukan tanah. Nah, terakhir disusunlah batu-batu mengelilingi gundukan tanah tersebut sampai ke puncaknya dan jadilah Candi Borobudur!

 

Oleh sebab tengahnya Candi Borobudur itu gundukan tanah, jelas konstruksinya labil dong. Apalagi kalau tanahnya tergerus oleh air. Bisa-bisa longsor kan?

 


Sudah paham kan kalau di tengahnya Candi Borobodur itu tanah? #senyum
Foto dipinjam dari: manajemenproyekindonesia.com

 

Saat Candi Borobudur ditinggalkan oleh masyarakat lokal sekitar tahun 1006 dan ditemukan kembali oleh Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814, kondisi bukit isian Candi Borobudur itu sudah longsor. Lantai-lantai dan dinding lorong-lorongnya miring nggak karu-karuan.

 

Kemudian diupayakan serangkaian proses pemugaran Candi Borobudur yang berakhir pada tahun 1984. Salah satu yang diupayakan dalam proses pemugaran tersebut adalah membuat saluran drainase agar air nggak membuat longsor bukit tanah uruk yang menjadi isian Candi Borobudur.

 


Saluran drainase di salah satu sisi dinding Candi Borobodur.

 


Selain saluran drainase dipasang juga lapisan-lapisan timah hitam kedap air agar air tidak merembes.

 

Selain saluran drainase, dibangun juga dinding tambahan yang kini menutupi bagian Kamadhatu. Fungsi dinding tambahan ini sebagai penjepit di dasar candi agar bangunannya nggak longsor.

 

Alhamdulillah, sampai saat ini Candi Borobudur belum longsor. Jangan sampai longsor deh pokoknya. #senyum.lebar

 

Relief Warna Kuning-Cokelat di Tingkatan Rupadhatu Itu

Melanjutkan perjalanan ke tingkatan Rupadhatu, di sini Pak Bambang menceritakan penggalan panil relief yang berasal dari sutra Jataka. Mungkin kita semua sudah pernah mendengar cerita hewan ini ya. Tentang seekor kelinci yang mengorbankan diri untuk disantap seorang pengembara karena ia tidak memiliki apa-apa untuk diberikan selain dirinya sendiri.

 


Relief Jataka yang bercerita tentang pengorbanan kelinci. Bacanya dari kiri ke kanan.

 

Pesan moral rela berkorban yang menjadi inti cerita ini mungkin bukan sesuatu yang baru. Tapi, di tengah kondisi masyarakat yang saling bersaing menggapai puncak, ketika rekan dipandang sebagai musuh di dalam selimut, di antara keinginan untuk mendapatkan hasil maksimal dengan usaha yang minimal, sifat rela berkorban agaknya menjadi langka untuk dijumpai.

 

Ya, nggak Pembaca? #senyum.lebar

 

 

Di antara panil-panil relief yang menghiasi lorong tingkatan Rupadhatu ini terdapat beberapa panil relief yang warnanya kuning-cokelat. Panil relief yang warnanya nggak alami ini bukan disebabkan karena kerusakan oleh organisme atau sejenisnya. Melainkan karena sisa-sisa lapisan oker yang digunakan saat pemotretan panil relief  Candi Borobudur pada masa pemugaran Theodoor van Erp di kurun tahun 1907 – 1911.

 


Sisa lapisan oker yang membuat kuning relief yang menceritakan mimpi Ratu Maya.

 

Maklum, di masa itu kan kamera belum canggih. Dynamic range (perbedaan kontras antara gelap dan terang) masih jelek. Jadinya, untuk memotret panil relief yang warnanya cenderung monoton abu-abu gelap, perlu dibuat agar hasilnya terlihat terang. Maka dari itu dipakai lapisan oker.

 

Rehat Sejenak Selepas Keliling Candi Borobudur

Dari tingkatan Rupadhatu, para peserta #KelasHeritage digiring naik menuju tingkatan puncak yakni Arupadhatu. Di sini Erwin mengumumkan bahwa para peserta bebas mengeksplorasi tingkatan Arupadhatu dan berkumpul kembali pada waktu yang telah ditentukan. Untuk para peserta yang sedari tadi menunggu momen untuk foto-foto, inilah saat yang sudah dinanti-nanti. #hehehe

 


Waktu bebas buat keliling-keliling Arupadhatu. Berhubung hari Minggu siang jadinya RAMAI BANGET!

 

Selepas dari Arupadhatu, kami digiring kembali menuju Lapangan Aksobya untuk menikmati snack yang sudah disediakan. Lumayan lah, dari tadi keliling Candi Borobudur, naik-turun tangga, dipanggang matahari Magelang, kan jadi butuh makan dan minum. #hehehe

 


Akhirnya dapat snack juga! Enaaaak.... #senyum.lebar

 

Sembari menikmati snack, kami diajak mengikuti kuis. Eh, kok ya Major Tom yang sehari sebelumnya mendadak ingin ikut karena sama sekali belum pernah ke Candi Borobudur malah keluar sebagai pemenang. #hehehe

 

 

Dari Lapangan Aksobya, kami bergerak lagi menuju Kantor Balai Konservasi Borobudur yang jaraknya hanya sejengkal menit dari Candi Borobudur. Kali ini kami kembali naik bus.

 


Masuk kantor Balai Konservasi Borobudur buat numpang makan, salat, dan ke toilet. #hehehe

 

Oh iya, Candi Borobudur itu dikelola oleh 2 pihak, yakni PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Balai Konservasi Borobudur. PT Taman Wisata Candi Borobudur bertugas mengurusi perihal fasilitas taman, sarana prasarana, dan fasilitas untuk pengunjung. Sedangkan Balai Konservasi Borobudur ya tugasnya menangangi Candi Borobudur.

 


Seperti umumnya kantor-kantor dinas purbakala. Taman-tamannya dihiasi oleh arca-arca.
Semoga nggak dimaling. #hehehe

 

Di Kantor Balai Konservasi Borobudur ini kami menjajah berbagai tempat di dalam kantor sebagai lokasi bersantap siang. Yah, mumpung hari Minggu yang mana para PNS-PNS sedang libur (kecuali Pak Bambang dan rekan-rekan lain yang bertugas menemani kami #hehehe).

 

Disambut Sosok yang Tak Berwujud di Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur

Selepas kenyang makan siang, kami diajak oleh Pak Bambang mengunjungi Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur yang masih termasuk ke dalam area Kantor Balai Konservasi Borobudur. Aku sendiri baru tahu ada tempat semacam ini. Setahuku, pusat informasi Candi Borobudur ya hanya di Museum Karmawibhangga itu.

 

Yang lebih membuatku kaget sebetulnya adalah sosok yang menyapa kami semua di muka Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur.

 

Weh? Kok ada “dia” di sini?

 


Arca tanpa wujud di Candi Borobudur yang kontrovesial itu.

 

Sosok di atas tersebut dikenal sebagai unfinished Buddha alias Buddha yang belum tuntas. Arca Buddha inilah yang hingga kini masih memunculkan tanda tanya sekaligus perbedaan pendapat di kalangan ahli purbakala.

 

Informasi untuk Pembaca, arca-arca Buddha yang ada di Candi Borobudur terbagi ke dalam 5 wujud yang lebih sering disebut sebagai Dyani Buddha. Perbedaan yang mencolok dari kelima Dyani Buddha itu adalah sikap tangan sang Buddha (istilahnya mudra).

 


Arca Buddha Amitabha (Dhyana Mudra) sebagai perlambang meditasi.

 

Empat dari Dyani Buddha, yaitu Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan Amoghasiddhi terletak pada relung-relung pagar baris tingkatan Rupadhatu masing-masing di sisi timur, selatan, barat, dan utara. Sedangkan Dyani Buddha yang kelima, Wairocana, terletak di baris tingkatan teratas Rupadhatu dan juga stupa-stupa yang ada di tingkatan Arupadhatu.

 

 

Kesemua arca Buddha yang menghiasi Candi Borobudur memiliki bentuk yang tuntas. Tapi, mengapa ada satu arca Buddha yang belum tuntas ini? 

 

Keberadaan arca ini pernah disebutkan dalam laporan tahun 1838, akan adanya sebuah arca rusak yang berada di dalam stupa induk Candi Borobudur. Pada penyelidikan awal di tahun 1814, memang sudah dilaporkan terdapat lubang di sisi timur stupa induk yang memungkinkan orang untuk keluar masuk secara leluasa. Tapi, apakah arca yang belum tuntas ini memang berasal dari dalam stupa induk atau sengaja dipindahkan ke dalam stupa induk itu masih menjadi pertanyaan.

 

Dr. Soekmono, seorang ahli purbakala terkemuka di Indonesia, berpendapat bahwa arca Buddha yang belum tuntas ini merupakan arca yang telah diapkir sebelum diselesaikan oleh pemahatnya. Namun, ahli purbakala lain, Dr. Bernet Kempers, berpendapat bahwa arca tersebut bukan karya apkiran melainkan arca yang memang belum selesai.

 

Dr. Soekmono sendiri mengakui bahwa untuk Candi Borobudur memang dirasa perlu untuk mewujudkan suatu arca Adi Buddha dalam suatu bentuk seperti halnya kelima Dyani Buddha. Adi Buddha sendiri merupakan istilah yang merujuk pada eksistensi Buddha sebelum segala sesuatu di alam semesta ini tercipta. Ini selaras dengan keberadaan stupa induk di tingkatan Arupadhatu yang merepresentasikan alam tak berwujud.

 

Buku Laporan Tua yang Menarik Karena Salah Ketik?

Bergerak masuk ke dalam Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur, di sini terdapat berbagai dokumentasi seputar pemugaran Candi Borobudur, dari awal diketemukan hingga pemugaran yang disokong UNESCO di tahun 1973 – 1984. Peserta #KelasHeritage tampak antusias mendengar cerita-cerita dari Pak Bambang yang mengupas seluk-beluk pemugaran Candi Borobudur.

 


Pak Bambang kewalahan diberondong berbagai pertanyaan. #senyum.lebar

 

Secara garis besar, konsep Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur ini mirip-mirip seperti Museum Kailasa di Dataran Tinggi Dieng. Hanya saja, yang ini difokuskan ke Candi Borobudur.

 


Ruangan yang menyimpan alat-alat yang digunakan saat pemugaran.

 

Hal yang buatku cukup menarik di dalam Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur ini adalah buku laporan Candi Borobudur dari zaman penjajahan Belanda yang ukurannya BESAR BANGET dan terdiri dari 8 SERI!

 

Tapi, bukan ukuran masifnya yang menarik, melainkan tulisan yang tertera label di sampul buku,

 

“De Hindoe Tempel”

 


Hmmm? Nggak salah kan ini?

 

Apa ini salah ketik? Ataukah orang-orang Belanda di zaman dahulu belum mahir membedakan mana candi Buddha dan mana candi Hindu? Eh, Pembaca sendiri sudah tahu bedanya candi Buddha dan candi Hindu belum? #senyum.lebar

 

Akhir Tulisan (yang Lumayan) Panjang

Pada akhirnya, sekitar pukul setengah 3 sore, selesai jugalah acara #KelasHeritage dengan tema “Merawat Borobudur”. Jujur, aku sendiri sih kurang begitu menikmati penjelajahan di dalam Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur karena WAKTUNYA KURANG LAMA! Hahaha. #senyum.lebar

 


Foto rame-rame dulu sebelum pulang ke rumah masing-masing. #senyum.lebar

 

Coba bisa lebih lama lagi, nanti otakku bakal semakin kaya dengan ilmu-ilmu pemugaran candi. Mungkin perlu diagendakan kunjungan sehari penuh ke Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur untuk belajar tentang ilmu pemugaran candi. Eh, tapi nanti tulisanku di artikel ini jadi TAMBAH PANJANG dong? Hahaha. #senyum.lebar

 

Terima kasih untuk Balai Konservasi Borobudur beserta teman-teman dari komunitas Yogyakarta Night at the Museum, Erwin, Mbak Pipit, dan lain-lain yang sudah mengundang manusia yang hobinya keluyuran ini. #senyum.lebar

 


Selain follow akun @malamuseum, follow juga akun @kulineryogya! #biar.tambah.tenar

 

Akhir kata, semoga dengan artikel ini Pembaca bisa lebih memaknai Candi Borobudur lebih dari sekadar tempat rekreasi. Karena itulah salah satu upaya sederhana yang bisa kita lakukan untuk melestarikan warisan sejarah nenek moyang kita. #senyum

 

Kepustakaan:
Doed Joesoef, Borobudur (Jakarta, 2004).

NIMBRUNG DI SINI