Alkisah, pada suatu Jumat sore yang damai, aku mendapat kiriman message di Facebook. Isi pesannya singkat dan (menurutku) cukup intimidatif. Pengirimnya, seorang calon bapak yang rupa-rupanya sedang LDR-an lintas provinsi dengan sang istri tercinta.
“Pit ku wis ready”
(artinya, “Sepedaku sudah siap”)
Sebenarnya, aku bisa saja membalas cuek pesan si Paris itu dengan,
“Lha, njuk? Opo urusanku?”
(artinya, “Lha, terus kenapa? Apa urusanku?”)
Tapi, berhubung aku ingin dinominasikan sebagai lajang santun dan baik hati, yang menjadi balasanku adalah,
“Yo meh ng ndi?”
(artinya, “Ya mau ke mana?”)
Padahal, sebetulnya di besok Sabtu dan Minggu aku berencana menggelar kasur di Sarang Penyamun dalam rangka menambah panjang baris koding (kapan rampungnya proyekku cah!? #mumet). Eh, ternyata niat buat kerja bisa diobrak-abrik sama ajakan bersepeda. #hehehe
Payah tenan ik mentalku ....
Selokan Bersejarah di Yogyakarta
Sebagai seorang pria yang berusaha menjadi pengertian, mulanya aku pasrahkan rute bersepeda ke Paris. Sebab, saat ini kan dirinya yang lebih dibelit tanggung-jawab. Siapa tahu ada yang bakal muring-muring begitu ngerti suaminya aku culik buat bersepeda? #senyum.lebar
Tapi ya, ujung-ujungnya Paris hanya berujar “manut”. Khas orang Jawa banget.
Manut-manut-manut, gundulmu pret! #hehehe
Walaupun begitu, Paris masih berbaik hati memberi kisi-kisi. Ada 3 kata kunci yang ia sebutkan; “ojo adoh-adoh”, “susur selokan ngulon”, dan “golek sarapan”. Alhasil, setelah otakku diputar-putar sana-sini, aku rencanakan agenda bersepeda di hari Sabtu pagi (29/1/2016) itu adalah menyusuri Selokan Van Der Wijck.
Lha, bersepeda menyusuri Selokan Mataram kan sudah terlalu mainstream toh? #hehehe
Eh, buat Pembaca yang belum tahu, di wilayah Yogyakarta bagian barat itu terdapat 3 saluran irigasi yang umum disebut sebagai “selokan”, yaitu:
- Selokan Mataram,
- Selokan Van Der Wijck,
- Saluran Kalibawang.
Dari ketiganya, Selokan Van Der Wijck adalah saluran irigasi yang paling tua. Sesuai namanya yang ke-Belanda-Belanda-an, Selokan Van Der Wijck dibangun pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1909. Fungsinya untuk mengairi ladang-ladang tebu.
Maklum, di masa-masa itu Pemerintah Belanda sedang getol-getolnya menggenjot industri gula. Nama Van der Wijck sendiri diduga adalah nama pemimpin pembangunan saluran irigasi ini.
Sumber: kotajogja.com
Di Mana Ujung Selokan Van Der Wijck?
Hulu dari Selokan Van Der Wijck ini berlokasi sama dengan hulu Selokan Mataram, yaitu di Bendungan Karang Talun yang airnya diambil langsung dari Kali Progo. Nah, sedangkan hilirnya? Hmmm... aku nggak tahu, hahaha. #senyum.lebar
Oleh sebab itu, pada kegiatan bersepeda kali ini, aku dan Paris bakal menyusuri Selokan Van Der Wijck sampai ke hilir alias sampai ke ujungnya. Kira-kira di ujung sana ada apa ya?
Eh iya, sesuai permintaan Paris di awal yang “ojo adoh-adoh”, karenanya titik awal susur Selokan van Der Wijck ini nggak bermula dari daerah hulu di Bendungan Karang Talun. Melainkan dari “tengah-tengah” di perempatan dekat Pasar Balangan di Kecamatan Seyegan, Sleman. Jadi ya, selama perjalanan bersepeda, kami nggak bersua dengan arsitektur klasik buk renteng seperti foto di bawah ini.
Sekadar spoiler nih #hehehe. Sepertinya agenda susur Selokan van Der Wijck ini bakal melahirkan berbagai macam jilid-jilid petualangan lain karena... ternyata... Selokan Van Der Wijck ini lebih kompleks dari Selokan Mataram! #senyum.lebar
Ya kapan-kapan lagi lah kalau ada kesempatan aku bakal mengulang menyusuri Selokan Van der Wijck. Di awal tahun 2016 ini segini dulu sebagai pembuka. #senyum
Dari Pohon Beringin ke Pasar Balangan
Di hari Sabtu pagi itu, awalnya kami janjian bersepeda pukul setengah 7 pagi. Titik kumpulnya di pertigaan pohon beringin di utaranya Joglo Mlati. Tapi tahu sendiri lah. Berhubung aku telat bangun pagi (habis subuh ndilalah lanjut rapat intens lagi sama bantal-guling-kasur #hehehe) akhirnya kami baru mulai bersepeda nyaris pukul 8 pagi. #senyum.lebar
Dari pertigaan pohon beringin kami bersepeda santai menyusuri Jl. Kebonagung sampai ke Pasar Balangan. Jaraknya ada sekitar 10-an km. Waktu tempuhnya lumayan lama. Kira-kira 1 jam-an karena kami sering berhenti-berhenti buat motret pemandangan.
Sebetulnya sih pemandangan di sepanjang Jl. Kebonagung nggak berbeda jauh dengan pemandangan pas aku nyari mie ayam ke Samigaluh dulu itu. Tapi, namanya juga Sabtu Pagi Sepeda Santai jadi ya semuanya dibawa santai sajalah. Rute Susur Selokan Van Der Wijck ini kan juga nggak pakai tanjakan. #hehehe
Pukul 9 kurang 15 menit, sampailah kami di perempatan Pasar Balangan yang mana sudah terlihat Selokan Van Der Wijck. Di sini kami sempat istirahat sebentar di emperan toko kelontong. Tentu sambil mengisi perbekalan dengan roti serta air minum.
Pertanyaan di Perempatan
Di perempatan ini terjadi peristiwa yang kalau aku ingat-ingat kok malah bikin aku malu, hahaha. #senyum.lebar
Jadi ceritanya, pas aku dan Paris lagi istirahat di dekat perempatan itu, ada seorang ibu yang menghampiri kami dan bertanya,
“Mas, kalau arah ke Magelang lewatnya mana ya?”
Si Ibu ini cerita kalau dirinya beserta suaminya berencana pergi ke Magelang. Berhubung mereka buta arah, sembari si Ibu membeli bekal di toko kelontong, sang suami muter-muter nanya orang perihal arah ke Magelang.
Nggak tahu kenapa kok ya Ibu ini bertanya arah ke kami. Bukan ke pemilik toko kelontong atau warga di sekitar sana.
Kalau diingat-ingat, aku sering juga mengalami kejadian yang seperti ini. Pas sedang bersepeda, tiba-tiba ditanya orang perihal arah lokasi. Padahal aku warga setempat juga bukan. Aku kan hanya pesepeda yang kebetulan numpang lewat dan sering kesasar. #hehehe
Eh, apa karena pesepeda ya? Dikiranya kami sering keluyuran ke mana-mana sehingga tahu arah mana-mana ya?
Tapi, berhubung kasusnya si Ibu ini menurutku “gampang”, aku jawab saja.
“Njenengan, ngikuti jalan yang ada selokan besar (Van Der Wijck) ini sampai ujungnya Bu! Kalau ke sana arah ke Kulon Progo. Kalau ke sana arah ke Bendungan Karang Talun. Kalau ke sana ke (Terminal) Jombor.”, kataku sambil menunjuk-nunjuk cabang arah di setiap perempatan
Tiba-tiba Paris ikut nimbrung,
“Eh, bukannya kalau ke Magelang itu nanti nyeberang Kali Progo ya? Ke arah Sendang Sono itu kan? Emangnya bisa kalau lewat cabang jalan ini?”
Modyar! Aku salah ngasih petunjuk jalan! Gyahahahaha. #senyum.lebar
Terpaksa deh aku koreksi sambil improvisasi, #hehehe
“Eh, kalau mau cepat bisa lewat Kulon Progo Bu! Nanti ini lurus terus saja. Habis lewat selokan ini bakal ketemu pertigaan arah ke Kulon Progo dekat Pasar Kebonagung. Nanti nyebrang Kali Progo, masuk Kulon Progo. Habis itu ketemu perempatan dan belok kanan arah ke Sendang Sono. Lurus terus nanti sampai Magelang.”
Inti dari subcerita ini adalah di suatu tempat yang asing disarankan untuk TIDAK bertanya arah ke pesepeda! #hehehe
Cabang Selokan yang Menarik
Balik lagi ke cerita utama. Dari perempatan Pasar Balongan ini kami menyusuri jalan raya, mengikuti arah air yang mengalir di Selokan Van Der Wijck. Pemandangan Selokan Van Der Wijck yang mirip sungai yang mengalir di dasar lembah memberi kesan unik. #senyum.lebar
Di dekat Pemakaman Sido Rukun kegalauan yang pertama timbul. Bukan karena para penghuninya nggak pada rukun lho! Melainkan karena Selokan Van Der Wijck mendadak bercabang jadi dua! Waduh....
Kalau di Selokan Mataram kan nggak ada cabangnya. Nah ini, yang bikin beda Selokan Van Der Wijck. Cabangnya banyak!
Daripada makin mumet, aku dan Paris lantas menghampiri pintu air di dekat Pemakaman Sido Rukun. Siapa tahu di sana ada petunjuk yang menarik. Seenggaknya ya jadi tempat menarik buat foto-foto lah. #hehehe
Seperti yang bisa Pembaca saksikan. Di lokasi ini terdapat 2 pintu air. Sayang, tulisan di papan keterangan informasi pintu air ini sudah sulit dibaca. Padahal, mungkin saja papan ini bisa memberikan informasi krusial bagi manusia-manusia penasaran macam kami.
Tapi, dari cetak kasar tulisan yang ada di salah satu dinding selokan, kami agaknya menemukan informasi yang menarik.
“Sal. Sek. Sendang Pitu Luas 1.099,50 Ha”
“Sal. Sek. Sedayu Rewulu Luas 3.588,81 Ha”
Sal. Sek. itu sepertinya singkatan dari saluran sekunder.
Pas mendengar nama Sendang Pitu, yang terbayang adalah mata air (sendang) yang jumlahnya ada 7 (pitu). Hmmm... menarik....
Sementara, kalau Sedayu Rewulu, hmm... yang terbayang malah depot BBM-nya Pertamina. Eh, mendadak kok ya malah terbayang juga markas besar FPI cabang Yogyakarta. Duh! Nggak oke banget ini Sedayu Rewulu. #hehehe
Alhasil, aku bilang ke Paris,
“Kita ikutin yang ke arah Sendang Pitu. Kayaknya lebih menarik daripada arah Rewulu.” #senyum.lebar
Nasib Botol Plastik di Saluran Sekunder
Perjalanan menyusuri Saluran Sekunder Sendang Pitu ini menjadi berbeda dari perjalanan semula karena suasananya berganti. Dari jalan raya besar kami masuk perkampungan. Tentu di sepanjang jalan masih terbentang saluran sekunder Selokan Van Der Wijck seperti foto-foto di bawah ini.
Ada kejadian juga pas menyusuri suasana pedesaan ini. Kami sempat berhenti di salah satu pintu air dan “menyelamatkan” botol plastik yang mengambang di saluran sekunder.
Soalnya, aku kasihan sama botol plastik ini. Dia nggak bisa melewati pintu air. Tenggelam, menyembul, tenggelam, menyembul, gitu. Kan yang lihat jadi capek juga. #eh
Eh, kalau bicara tentang sampah sih sebenarnya di pintu-pintu air ini ya masih kelihatan ada banyak sampah yang ngumpul terbawa arus. Untung sih sampahnya nggak terlalu banyak. Mungkin karena saluran sekunder ini rutin dirawat.
Ah, bedebah lah yang masih suka buang sampah sembarangan! #emosi
Susur Selokan di Pinggir Sawah
Semula kami kan menyusuri jalan aspal di pinggir saluran sekunder. Tapi, entah di cabang pintu air yang mana (terus terang memang cabang pintu airnya mendadak jadi banyak banget) medan jalannya berubah jadi jalan tanah persis di pinggir sawah! Hooo…
Offroad deh ini! #senyum.lebar
Pemandangan pas menyusuri saluran sekunder Selokan Van Der Wijck di pinggir sawah ini jelas lebih menarik daripada pemandangan di jalan aspal. Secara otomatis di otak jadi terputar soundtrack,
I see skies of blue and clouds of white.
The bright blessed day, the dark sacred night.
And I think to myself what a wonderful world.
Pas lagi asyik-asyiknya mendendangkan lagu What a Wonderful World-nya Loius Armstrong itu mendadak aku jadi ingat. Kok Sendang Pitu-nya belum ketemu-ketemu ya? Pas ketemu pintu air lagi, aku lihat ada cetak kasar tulisan di dinding selokan.
Hah? Saluran Sekunder Kergan? Waduh! Nyasar ini?
Padahal sepanjang perjalanan menyusuri saluran sekunder Sendang Pitu tadi aku berpedoman pada pakem menyusuri cabang saluran yang paling besar. Kok tahu-tahunya malah meleset? Wew...
Berhubung, sudah bersepeda jauh sampai sini kami bablaskan saja sampai ujung saluran sekunder ini. Tahu-tahu... lho!? Ujungnya malah Jl. Kebonagung di km 24! Persis di depan tugu Padukuhan Bandan.
Zonk tenan! Ketemunya jalan raya....
Balik Arah, eh, Ketemu Masalah
Jarum jam menunjukkan pukul setengah 10 siang lewat sedikit. Hitungannya masih kepagian kalau hanya untuk balik pulang dari Jl. Kebonagung. Alhasil, aku kasih komando ke Paris.
“Puter balik! Kita ambil cabang selokan yang satunya.”
“Cabang yang mana?”
“Ya, cabang yang ketemu sebelum ini.”
Kemudian berbaliklah kami mencari pintu air di mana saluran sekunder bercabang. Kalau nggak salah sih di pintu air yang ada tulisan Saluran Sekunder Kergan tadi.
Dari sini kami menyusuri saluran sekunder yang ukurannya mulai mengecil. Sepertinya memang Selokan Van Der Wijck ini ujungnya mirip serabut. Cabangnya kecil-kecil dan banyak banget!
Meski sepertinya gagal ketemu Sendang Pitu, semoga kali ini bisa dapat sesuatu yang menarik lah. Alhamdulillah sih pemandangan di sepanjang saluran irigasi ini masih sedap dipandang mata.
Hingga akhirnya, di suatu tempat di area persawahan, aku lihat ada pintu air lagi (udahlah, dari tadi memang pintu airnya banyak banget!). Pas aku mendekat ke pintu air buat motret, aku dihampiri oleh seorang bapak yang kebetulan ada di sekitar lokasi.
Ngobrol ngobrol ngobrol. Eh, kok malah akhirnya aku diajak curhat, hahaha #senyum.lebar. Beliau ada masalah rupanya.
Konflik Panas Pengairan Sawah
Nama beliau Pak Dwi. Salah seorang warga setempat yang juga berprofesi sebagai petani. Pak Dwi ini cerita kalau akhir-akhir ini pengairan di pintu air ini sedang “memanas” (mungkin itu sebabnya, mengapa beliau terlihat “berjaga-jaga” di sekitar lokasi).
Yang bikin panas itu bukan karena cuaca di penghujung bulan Januari yang terasa masih seperti musim kemarau lho! Melainkan karena percabangan saluran sekunder di persawahan ini dinilai tidak adil oleh sejumlah warga.
Pembaca pasti tahu dong ya, kalau saluran air dicabang, tentu debit airnya juga bakal terbagi kan? Nah, itu dia! Akibat percabangan ini, ada sawah-sawah yang pasokan airnya jadi berkurang.
Kata Pak Dwi, pas musim kemarau debit airnya bisa jadi sedikit banget. Untung Januari ini masih musim hujan. Jadi, masih banyak air. Meskipun ya akhir-akhir ini memang jarang hujan.
Yang bikin ngeri, kata Pak Dwi konflik ini sudah mulai merembet ke ranah kekerasan. Apalagi wilayah yang tercangkup lumayan luas, meliputi Dusun Cirebonan, Badran, dan Kalikotak yang masih berada di lingkup Desa Sendangsari di Kecamatan Minggir, Sleman.
Aku sebetulnya kurang paham. Konflik saluran irigasi yang seperti ini sebetulnya karena salah perencanaan atau gimana ya? Yang merencanakan pembangunan cabang saluran irigasi ini mestinya kan sudah melalui persetujuan pemerintah desa toh? Apakah mungkin pengerjaan konstruksinya dari Pemerintah?
Sekiranya ada Pembaca yang paham perihal konflik saluran irigasi, ke mana ya harus diadukan?
Jadinya, saat Pak Dwi bertanya,
“Ini masnya asalnya dari mana?”
Aku jawab saja, “Dari UGM Pak.”
Semoga dengan demikian kegelisahan Pak Dwi bisa sedikit terobati.
Meskipun Paris yang mendengar omonganku itu protes,
“Kok dari UGM sih?”
“Lha, kita kan dulunya mahasiswa UGM? Lagipula dirimu kan kerja di UGM?”
“Tapi kan aku nggak ngurusin yang kayak beginian.”
“Eh? Iya ya?”
Ya begitulah. Kadang-kadang blusukan turba (turun ke bawah) semacam ini berujung dapat “titipan” yang diamanahkan oleh rakyat kecil yang tertindas. Tapi harus disampaikan ke mana titipan semacam ini? Beban moral buat blogger tukang keluyuran juga ini, hahaha. #senyum.lebar
Berhubung mood jadi kacau setelah mendengar cerita konflik semacam ini, akhirnya kami memutuskan mengakhiri susur Selokan Van Der Wijck dan balik ke Jl. Kebonagung dan pulang ke kediaman masing-masing. Eh, sebelumnya sarapan soto dulu di seputaran Pasar Kebonagung.
Oh iya, tentang Sendang Pitu itu. Setelah aku googling di internet, Sendang Pitu yang merupakan kumpulan dari 7 mata air itu ternyata memang ada. Kapan-kapan lah kalau aku kurang kerjaan bakal aku sambangi ke-7 mata air itu. Atau mungkin ada Pembaca yang berniat turun ke lapangan? Hehehe. #senyum.lebar
Jadi Pembaca, dibalik indahnya pemandangan hamparan sawah nan hijau, tersembunyi konflik yang kita sendiri mungkin tak pernah menduganya.
Benar demikian kan?
buku loh
Zaman Belanda aja sudah buat seperti ini ... sekarang kita lagi sedang memulai lagi membuat saluran-saluran irigasi .. jadi bisa dijadikan target untuk susur selokan lagi. :)
Awalnya aku liat, mikirnya itu sungai dan yang kecil-kecil got :D..
Ga kebayang di Jakarta kalau sampe ngikutin jalur irigasi :D.. Ga yakin ada juga sih. :p
Di Jakarta ada juga dulu saluran irigasi. Buatan Belanda. Kanal banjir barat dan timur itu salah satunya.
Di Pakis, Malang, penentuan lahan sawah dibagi beberapa blok sesuai aliran selokan irigasi yang memisahkan lahan sawah. Di sana, dibuat kesepakatan dalam gabungan kelompok tani untuk mengatur giliran irigasi. Mufakat. Mereka juga rutin melakukan pertemuan, duduk bersama jika ada masalah.
Wah, rumah mertua njenengan di Seyegan toh. Enak suasananya, masih asri, banyak sawah, sungai, dan bukit. :D
Wah sampe pada gumun sudah disuguhi macam-macam lagi dan akhirnya ke manakah pada DPR yang harusnya mendengar aspirasi mereka??
Berarti pesepeda blusukan juga bisa mengemban tugas mulia penyalur aspirasi rakyat ya Seenggaknya dengan dipublikasikan di blog yang ramai pengunjung kayak gini semoga dibaca orang pemerintahan yang bisa membantu atau yang bisa menyampaikan ke pihak yang berwenang.
Semoga artikel ini dibaca pihak yang berwenang yaa.
Perlu di coba ini nyusurin Selokan van Der Wijk
Ditunggu petualangan selanjutnya sob.
Kemudian begitulah, saluran primer jadi sekunder, dari sekunder bisa jadi sekunder lagi kalo tetep gedhe atau jadi tersier dan masuk sawah.
Soal konflik rebutan, emm, begitulah kalo udah urusan perut. Jadi serba salah. Mending jadi pendengar saja. Hitung-hitung mendengar suara akar rumput dan dituliskan.
Siapa tau ada pihak berwenang yang baca dan mau menindaklanjuti. :D
Iyo, cen konflik rebutan air iki lumayan pelik. Yo semoga wae ke depan ada solusi yang terbaik.