HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Konflik di Balik Susur Selokan Van Der Wijck

Selasa, 19 April 2016, 12:17 WIB

Alkisah, pada suatu Jumat sore yang damai, aku mendapat kiriman message di Facebook. Isi pesannya singkat dan (menurutku) cukup intimidatif. Pengirimnya, seorang calon bapak yang rupa-rupanya sedang LDR-an lintas provinsi dengan sang istri tercinta.

 

“Pit ku wis ready”
(artinya, “Sepedaku sudah siap”)

 

Sebenarnya, aku bisa saja membalas cuek pesan si Paris itu dengan,

“Lha, njuk? Opo urusanku?”
(artinya, “Lha, terus kenapa? Apa urusanku?”)

 

Tapi, berhubung aku ingin dinominasikan sebagai lajang santun dan baik hati, yang menjadi balasanku adalah,

“Yo meh ng ndi?”
(artinya, “Ya mau ke mana?”)

 


Cowok yang sekarang sudah ganti domisili dan ganti status itu. #hehehe

 

Padahal, sebetulnya di besok Sabtu dan Minggu aku berencana menggelar kasur di Sarang Penyamun dalam rangka menambah panjang baris koding (kapan rampungnya proyekku cah!? #mumet). Eh, ternyata niat buat kerja bisa diobrak-abrik sama ajakan bersepeda. #hehehe

 

Payah tenan ik mentalku ....

 

Selokan Bersejarah di Yogyakarta

Sebagai seorang pria yang berusaha menjadi pengertian, mulanya aku pasrahkan rute bersepeda ke Paris. Sebab, saat ini kan dirinya yang lebih dibelit tanggung-jawab. Siapa tahu ada yang bakal muring-muring begitu ngerti suaminya aku culik buat bersepeda? #senyum.lebar

 

Tapi ya, ujung-ujungnya Paris hanya berujar “manut”. Khas orang Jawa banget.

 

Manut-manut-manut, gundulmu pret! #hehehe

 

Walaupun begitu, Paris masih berbaik hati memberi kisi-kisi. Ada 3 kata kunci yang ia sebutkan; ojo adoh-adoh, susur selokan ngulon, dan golek sarapan. Alhasil, setelah otakku diputar-putar sana-sini, aku rencanakan agenda bersepeda di hari Sabtu pagi (29/1/2016) itu adalah menyusuri Selokan Van Der Wijck.

 

Lha, bersepeda menyusuri Selokan Mataram kan sudah terlalu mainstream toh? #hehehe

 


Selokan Van Der Wijck, selokan bersejarah yang tertua di Yogyakarta.

 

Eh, buat Pembaca yang belum tahu, di wilayah Yogyakarta bagian barat itu terdapat 3 saluran irigasi yang umum disebut sebagai “selokan”, yaitu:

 

  1. Selokan Mataram,
  2. Selokan Van Der Wijck,
  3. Saluran Kalibawang.

 


Selokan Mataram yang dibangun pada masa penjajahan Jepang.

 


Eh, kalau Saluran Kalibawang dibangunnya tahun berapa ya? Pembaca tahu?

 

Dari ketiganya, Selokan Van Der Wijck adalah saluran irigasi yang paling tua. Sesuai namanya yang ke-Belanda-Belanda-an, Selokan Van Der Wijck dibangun pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1909. Fungsinya untuk mengairi ladang-ladang tebu.

 

Maklum, di masa-masa itu Pemerintah Belanda sedang getol-getolnya menggenjot industri gula. Nama Van der Wijck sendiri diduga adalah nama pemimpin pembangunan saluran irigasi ini.

 

Sumber: kotajogja.com

 

Di Mana Ujung Selokan Van Der Wijck?

Hulu dari Selokan Van Der Wijck ini berlokasi sama dengan hulu Selokan Mataram, yaitu di Bendungan Karang Talun yang airnya diambil langsung dari Kali Progo. Nah, sedangkan hilirnya? Hmmm... aku nggak tahu, hahaha. #senyum.lebar

 

Oleh sebab itu, pada kegiatan bersepeda kali ini, aku dan Paris bakal menyusuri Selokan Van Der Wijck sampai ke hilir alias sampai ke ujungnya. Kira-kira di ujung sana ada apa ya?

 

Eh iya, sesuai permintaan Paris di awal yang ojo adoh-adoh, karenanya titik awal susur Selokan van Der Wijck ini nggak bermula dari daerah hulu di Bendungan Karang Talun. Melainkan dari “tengah-tengah” di perempatan dekat Pasar Balangan di Kecamatan Seyegan, Sleman. Jadi ya, selama perjalanan bersepeda, kami nggak bersua dengan arsitektur klasik buk renteng seperti foto di bawah ini.

 


Buk renteng itu saluran air yang dibangun mirip jembatan.

 

Sekadar spoiler nih #hehehe. Sepertinya agenda susur Selokan van Der Wijck ini bakal melahirkan berbagai macam jilid-jilid petualangan lain karena... ternyata... Selokan Van Der Wijck ini lebih kompleks dari Selokan Mataram! #senyum.lebar

 

Ya kapan-kapan lagi lah kalau ada kesempatan aku bakal mengulang menyusuri Selokan Van der Wijck. Di awal tahun 2016 ini segini dulu sebagai pembuka. #senyum

 

Dari Pohon Beringin ke Pasar Balangan

Di hari Sabtu pagi itu, awalnya kami janjian bersepeda pukul setengah 7 pagi. Titik kumpulnya di pertigaan pohon beringin di utaranya Joglo Mlati. Tapi tahu sendiri lah. Berhubung aku telat bangun pagi (habis subuh ndilalah lanjut rapat intens lagi sama bantal-guling-kasur #hehehe) akhirnya kami baru mulai bersepeda nyaris pukul 8 pagi. #senyum.lebar

 

Dari pertigaan pohon beringin kami bersepeda santai menyusuri Jl. Kebonagung sampai ke Pasar Balangan. Jaraknya ada sekitar 10-an km. Waktu tempuhnya lumayan lama. Kira-kira 1 jam-an karena kami sering berhenti-berhenti buat motret pemandangan.

 


Ada juga pemandangan menarik. Horor lah kalau ada di belakang mobil beginian!

 

Sebetulnya sih pemandangan di sepanjang Jl. Kebonagung nggak berbeda jauh dengan pemandangan pas aku nyari mie ayam ke Samigaluh dulu itu. Tapi, namanya juga Sabtu Pagi Sepeda Santai jadi ya semuanya dibawa santai sajalah. Rute Susur Selokan Van Der Wijck ini kan juga nggak pakai tanjakan. #hehehe

 

Pukul 9 kurang 15 menit, sampailah kami di perempatan Pasar Balangan yang mana sudah terlihat Selokan Van Der Wijck. Di sini kami sempat istirahat sebentar di emperan toko kelontong. Tentu sambil mengisi perbekalan dengan roti serta air minum.

 


Mulai susur Selokan Van Der Wijck dari perempatan ini.

 

Pertanyaan di Perempatan

Di perempatan ini terjadi peristiwa yang kalau aku ingat-ingat kok malah bikin aku malu, hahaha. #senyum.lebar

 

Jadi ceritanya, pas aku dan Paris lagi istirahat di dekat perempatan itu, ada seorang ibu yang menghampiri kami dan bertanya,

 

“Mas, kalau arah ke Magelang lewatnya mana ya?”

 

Si Ibu ini cerita kalau dirinya beserta suaminya berencana pergi ke Magelang. Berhubung mereka buta arah, sembari si Ibu membeli bekal di toko kelontong, sang suami muter-muter nanya orang perihal arah ke Magelang.

 

 

Nggak tahu kenapa kok ya Ibu ini bertanya arah ke kami. Bukan ke pemilik toko kelontong atau warga di sekitar sana.

 

Kalau diingat-ingat, aku sering juga mengalami kejadian yang seperti ini. Pas sedang bersepeda, tiba-tiba ditanya orang perihal arah lokasi. Padahal aku warga setempat juga bukan. Aku kan hanya pesepeda yang kebetulan numpang lewat dan sering kesasar. #hehehe

 

Eh, apa karena pesepeda ya? Dikiranya kami sering keluyuran ke mana-mana sehingga tahu arah mana-mana ya?

 


Kalau mau ke arah Magelang pokoknya jangan ikuti jalan ini. #hehehe

 

Tapi, berhubung kasusnya si Ibu ini menurutku “gampang”, aku jawab saja.

Njenengan, ngikuti jalan yang ada selokan besar (Van Der Wijck) ini sampai ujungnya Bu! Kalau ke sana arah ke Kulon Progo. Kalau ke sana arah ke Bendungan Karang Talun. Kalau ke sana ke (Terminal) Jombor.”, kataku sambil menunjuk-nunjuk cabang arah di setiap perempatan

 

Tiba-tiba Paris ikut nimbrung,

“Eh, bukannya kalau ke Magelang itu nanti nyeberang Kali Progo ya? Ke arah Sendang Sono itu kan? Emangnya bisa kalau lewat cabang jalan ini?”

 

Modyar! Aku salah ngasih petunjuk jalan! Gyahahahaha. #senyum.lebar

 

Terpaksa deh aku koreksi sambil improvisasi, #hehehe

“Eh, kalau mau cepat bisa lewat Kulon Progo Bu! Nanti ini lurus terus saja. Habis lewat selokan ini bakal ketemu pertigaan arah ke Kulon Progo dekat Pasar Kebonagung. Nanti nyebrang Kali Progo, masuk Kulon Progo. Habis itu ketemu perempatan dan belok kanan arah ke Sendang Sono. Lurus terus nanti sampai Magelang.”

 

Inti dari subcerita ini adalah di suatu tempat yang asing disarankan untuk TIDAK bertanya arah ke pesepeda! #hehehe

 

Cabang Selokan yang Menarik

Balik lagi ke cerita utama. Dari perempatan Pasar Balongan ini kami menyusuri jalan raya, mengikuti arah air yang mengalir di Selokan Van Der Wijck. Pemandangan Selokan Van Der Wijck yang mirip sungai yang mengalir di dasar lembah memberi kesan unik. #senyum.lebar

 


Seperti sungai yang mengalir di dasar lembah. Padahal selokan. #senyum.lebar

 

Di dekat Pemakaman Sido Rukun kegalauan yang pertama timbul. Bukan karena para penghuninya nggak pada rukun lho! Melainkan karena Selokan Van Der Wijck mendadak bercabang jadi dua! Waduh....

 

Kalau di Selokan Mataram kan nggak ada cabangnya. Nah ini, yang bikin beda Selokan Van Der Wijck. Cabangnya banyak!

 


Mari mendekat! Siapa tahu ada sesuatu yang menarik.

 

Daripada makin mumet, aku dan Paris lantas menghampiri pintu air di dekat Pemakaman Sido Rukun. Siapa tahu di sana ada petunjuk yang menarik. Seenggaknya ya jadi tempat menarik buat foto-foto lah. #hehehe

 


Foto dulu! #senyum.lebar

 

Seperti yang bisa Pembaca saksikan. Di lokasi ini terdapat 2 pintu air. Sayang, tulisan di papan keterangan informasi pintu air ini sudah sulit dibaca. Padahal, mungkin saja papan ini bisa memberikan informasi krusial bagi manusia-manusia penasaran macam kami.

 


Sudah tulisannya nggak jelas terbaca, dicorat-coret pula, hadeh....

 

Tapi, dari cetak kasar tulisan yang ada di salah satu dinding selokan, kami agaknya menemukan informasi yang menarik.

 

“Sal. Sek. Sendang Pitu Luas 1.099,50 Ha”

“Sal. Sek. Sedayu Rewulu Luas 3.588,81 Ha”

 

Sal. Sek. itu sepertinya singkatan dari saluran sekunder.

 


Hmmm... Sendang Pitu? Sedayu Rewulu? Sik, sik, sik....

 

Pas mendengar nama Sendang Pitu, yang terbayang adalah mata air (sendang) yang jumlahnya ada 7 (pitu). Hmmm... menarik....

 

Sementara, kalau Sedayu Rewulu, hmm... yang terbayang malah depot BBM-nya Pertamina. Eh, mendadak kok ya malah terbayang juga markas besar FPI cabang Yogyakarta. Duh! Nggak oke banget ini Sedayu Rewulu. #hehehe

 

Alhasil, aku bilang ke Paris,

“Kita ikutin yang ke arah Sendang Pitu. Kayaknya lebih menarik daripada arah Rewulu.” #senyum.lebar

 


Apakah saluran ini bakal bermata air di suatu sendang? Let's see....

 

Nasib Botol Plastik di Saluran Sekunder

Perjalanan menyusuri Saluran Sekunder Sendang Pitu ini menjadi berbeda dari perjalanan semula karena suasananya berganti. Dari jalan raya besar kami masuk perkampungan. Tentu di sepanjang jalan masih terbentang saluran sekunder Selokan Van Der Wijck seperti foto-foto di bawah ini.

 


Pokoknya mengikuti arah aliran selokan saja. Masak nyasar sih? #senyum.lebar

 

Ada kejadian juga pas menyusuri suasana pedesaan ini. Kami sempat berhenti di salah satu pintu air dan “menyelamatkan” botol plastik yang mengambang di saluran sekunder.

 

Soalnya, aku kasihan sama botol plastik ini. Dia nggak bisa melewati pintu air. Tenggelam, menyembul, tenggelam, menyembul, gitu. Kan yang lihat jadi capek juga. #eh

 


Duh, kasihan banget kamu botol....

 

Eh, kalau bicara tentang sampah sih sebenarnya di pintu-pintu air ini ya masih kelihatan ada banyak sampah yang ngumpul terbawa arus. Untung sih sampahnya nggak terlalu banyak. Mungkin karena saluran sekunder ini rutin dirawat.

 

Ah, bedebah lah yang masih suka buang sampah sembarangan! #emosi

 


Dikumpulkan, dimasukkan kantong plastik, kemudian dibuang di tempat sampah terdekat.

 

Susur Selokan di Pinggir Sawah

Semula kami kan menyusuri jalan aspal di pinggir saluran sekunder. Tapi, entah di cabang pintu air yang mana (terus terang memang cabang pintu airnya mendadak jadi banyak banget) medan jalannya berubah jadi jalan tanah persis di pinggir sawah! Hooo…

 

Offroad deh ini! #senyum.lebar

 


Kalau menyusuri Selokan Mataram nggak ada medan yang kayak gini. #senyum.lebar

 

Pemandangan pas menyusuri saluran sekunder Selokan Van Der Wijck di pinggir sawah ini jelas lebih menarik daripada pemandangan di jalan aspal. Secara otomatis di otak jadi terputar soundtrack,

 

I see skies of blue and clouds of white.
The bright blessed day, the dark sacred night.

And I think to myself what a wonderful world.

 


Pemandangannya lebih alami dan lebih banyak hijau-hijaunya. #senyum.lebar

 

Pas lagi asyik-asyiknya mendendangkan lagu What a Wonderful World-nya Loius Armstrong itu mendadak aku jadi ingat. Kok Sendang Pitu-nya belum ketemu-ketemu ya? Pas ketemu pintu air lagi, aku lihat ada cetak kasar tulisan di dinding selokan.

 

Hah? Saluran Sekunder Kergan? Waduh! Nyasar ini?

 


Kok tahu-tahu sudah pindah saluran sekunder saja sih? Percabangannya di mana tadi?

 

Padahal sepanjang perjalanan menyusuri saluran sekunder Sendang Pitu tadi aku berpedoman pada pakem menyusuri cabang saluran yang paling besar. Kok tahu-tahunya malah meleset? Wew...

 

Berhubung, sudah bersepeda jauh sampai sini kami bablaskan saja sampai ujung saluran sekunder ini. Tahu-tahu... lho!? Ujungnya malah Jl. Kebonagung di km 24! Persis di depan tugu Padukuhan Bandan.

 


... ternyata...

 

Zonk tenan! Ketemunya jalan raya....

 

Balik Arah, eh, Ketemu Masalah

Jarum jam menunjukkan pukul setengah 10 siang lewat sedikit. Hitungannya masih kepagian kalau hanya untuk balik pulang dari Jl. Kebonagung. Alhasil, aku kasih komando ke Paris.

 

“Puter balik! Kita ambil cabang selokan yang satunya.”

“Cabang yang mana?”

“Ya, cabang yang ketemu sebelum ini.”

 

Kemudian berbaliklah kami mencari pintu air di mana saluran sekunder bercabang. Kalau nggak salah sih di pintu air yang ada tulisan Saluran Sekunder Kergan tadi.

 


Kalian tahu nggak lokasi yang menarik di sekitar sini? #hehehe

 

Dari sini kami menyusuri saluran sekunder yang ukurannya mulai mengecil. Sepertinya memang Selokan Van Der Wijck ini ujungnya mirip serabut. Cabangnya kecil-kecil dan banyak banget!

 

Meski sepertinya gagal ketemu Sendang Pitu, semoga kali ini bisa dapat sesuatu yang menarik lah. Alhamdulillah sih pemandangan di sepanjang saluran irigasi ini masih sedap dipandang mata.

 


Lanjut lagi bersepeda menyusuri pinggir sawah! Semoga nggak nyasar. #senyum.lebar

 


Pemandangan sawah selalu sedap dipandang mata ya?
Tanjakan Perbukitan Menoreh yang di sana itu juga sedap. #eh

 


Dibalik bulir-bulir nasi yang kita santap terkandung jernih payah ibu-ibu petani ini.
Ingat! Kalau makan nasi harus dihabiskan!

 

Hingga akhirnya, di suatu tempat di area persawahan, aku lihat ada pintu air lagi (udahlah, dari tadi memang pintu airnya banyak banget!). Pas aku mendekat ke pintu air buat motret, aku dihampiri oleh seorang bapak yang kebetulan ada di sekitar lokasi.

 

Ngobrol ngobrol ngobrol. Eh, kok malah akhirnya aku diajak curhat, hahaha #senyum.lebar. Beliau ada masalah rupanya.

 

Konflik Panas Pengairan Sawah

Nama beliau Pak Dwi. Salah seorang warga setempat yang juga berprofesi sebagai petani. Pak Dwi ini cerita kalau akhir-akhir ini pengairan di pintu air ini sedang “memanas” (mungkin itu sebabnya, mengapa beliau terlihat “berjaga-jaga” di sekitar lokasi).

 


Pak Dwi yang curhat panjang lebar perihal konflik irigasi di siang hari itu.

 

Yang bikin panas itu bukan karena cuaca di penghujung bulan Januari yang terasa masih seperti musim kemarau lho! Melainkan karena percabangan saluran sekunder di persawahan ini dinilai tidak adil oleh sejumlah warga.

 

Pembaca pasti tahu dong ya, kalau saluran air dicabang, tentu debit airnya juga bakal terbagi kan? Nah, itu dia! Akibat percabangan ini, ada sawah-sawah yang pasokan airnya jadi berkurang.

 


Sebelum dibangun saluran yang besar ini, saluran yang kecil itu ukurannya jauh lebih besar.

 

Kata Pak Dwi, pas musim kemarau debit airnya bisa jadi sedikit banget. Untung Januari ini masih musim hujan. Jadi, masih banyak air. Meskipun ya akhir-akhir ini memang jarang hujan.

 

Yang bikin ngeri, kata Pak Dwi konflik ini sudah mulai merembet ke ranah kekerasan. Apalagi wilayah yang tercangkup lumayan luas, meliputi Dusun Cirebonan, Badran, dan Kalikotak yang masih berada di lingkup Desa Sendangsari di Kecamatan Minggir, Sleman.

 


Beberapa cabang saluran akhirnya dibuat buntu supaya aliran airnya jadi besar.

 

Aku sebetulnya kurang paham. Konflik saluran irigasi yang seperti ini sebetulnya karena salah perencanaan atau gimana ya? Yang merencanakan pembangunan cabang saluran irigasi ini mestinya kan sudah melalui persetujuan pemerintah desa toh? Apakah mungkin pengerjaan konstruksinya dari Pemerintah?

 

Sekiranya ada Pembaca yang paham perihal konflik saluran irigasi, ke mana ya harus diadukan?

 


Kalau di ujung sawah sebelah sana masih dicabang lagi, jelas aliran airnya bakal lebih kecil lagi.

 

Jadinya, saat Pak Dwi bertanya,

“Ini masnya asalnya dari mana?”

 

Aku jawab saja, “Dari UGM Pak.”

Semoga dengan demikian kegelisahan Pak Dwi bisa sedikit terobati.

 

Meskipun Paris yang mendengar omonganku itu protes,

“Kok dari UGM sih?”

“Lha, kita kan dulunya mahasiswa UGM? Lagipula dirimu kan kerja di UGM?”

“Tapi kan aku nggak ngurusin yang kayak beginian.”

“Eh? Iya ya?”

 

Ya begitulah. Kadang-kadang blusukan turba (turun ke bawah) semacam ini berujung dapat “titipan” yang diamanahkan oleh rakyat kecil yang tertindas. Tapi harus disampaikan ke mana titipan semacam ini? Beban moral buat blogger tukang keluyuran juga ini, hahaha. #senyum.lebar

 


 

Berhubung mood jadi kacau setelah mendengar cerita konflik semacam ini, akhirnya kami memutuskan mengakhiri susur Selokan Van Der Wijck dan balik ke Jl. Kebonagung dan pulang ke kediaman masing-masing. Eh, sebelumnya sarapan soto dulu di seputaran Pasar Kebonagung.

 

Oh iya, tentang Sendang Pitu itu. Setelah aku googling di internet, Sendang Pitu yang merupakan kumpulan dari 7 mata air itu ternyata memang ada. Kapan-kapan lah kalau aku kurang kerjaan bakal aku sambangi ke-7 mata air itu. Atau mungkin ada Pembaca yang berniat turun ke lapangan? Hehehe. #senyum.lebar

 

Jadi Pembaca, dibalik indahnya pemandangan hamparan sawah nan hijau, tersembunyi konflik yang kita sendiri mungkin tak pernah menduganya.

 

Benar demikian kan?

NIMBRUNG DI SINI