HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Cerita di Ruang Tunggu Bandara Adisucipto

Kamis, 10 Maret 2016, 07:02 WIB

Tatapan mata wanita muda itu, aku tangkap sebagai suatu isyarat yang harus segera aku laksanakan. Sebagai pria yang tergolong tidak kurang peka #hehehe, aku cukup terbantu oleh gestur tangannya yang seakan-akan menginginkan benda yang terselip dalam jepitan jemariku. Jadinya, aku nggak perlu menjamah lebih lanjut dunia perkodean wanita yang cenderung multi tafsir itu. #hehehe

 

“Mas”

 

Meskipun aku dan dirinya masih terpaut tubuh 2 calon penumpang lain, secarik kartu identitas dan selembar boarding pass pun lantas berpindah tangan. Agaknya, padatnya antrian mesin sinar-X ia manfaatkan seefektif mungkin untuk memeriksa identitas calon penumpang, sebagaimana SOP petugas yang berjaga di muka ruang tunggu Bandara Adisucipto, Yogyakarta.

 


Ilustrasi mesin pemindai sinar-X sebelum masuk ruang tunggu (boarding room).
Foto dipinjam dari: http://www.tanjungpinangpos.co.id/2015/114179/rhf-tak-mampu-deteksi-narkoba/

 

Dalam pemeriksaan identitasku ini, aku merasa ada hal yang sedikit janggal. Bila dibandingkan dengan kedua calon penumpang di depanku, wanita ini sepertinya meluangkan waktu lebih lama. Apa jangan-jangan aku termasuk ke dalam daftar hitam calon penumpang ya? Duh...

 

Ketika akhirnya posisi kami terpaut jarak kurang dari setengah meter, wanita ini lantas mengembalikan kartu identitas dan boarding pass kepadaku sambil diiringi ucapan singkat dari wajah tanpa senyum.

 

“Masih inget aku Mas?”

 

Ditodong oleh pertanyaan singkat itu, mau nggak mau membuat harddisk ingatanku berputar dengan RPM yang lebih cepat dari biasanya. Siapa gerangan wanita muda ini? Gebetan? Mantan? Blogger? Pembaca? Kawan sepeda? Teman kuliah?

 

“Siapa ya?”

 

Aku nyerah. Ah, semoga dirinya berkenan memberi petunjuk.

 

“Yang pas dulu ke Dieng itu lho.”

 

Holadala!

 


Seandainya berpapasan di jalan mungkin aku bakal lupa dengan wajah-wajah mereka ini. #hehehe

 

Ingatan pun melayang ke bulan Agustus 2014 silam kala aku hadir di acara Dieng Culture Festival dan berkenalan dengan 5 kawan baru. Ternyata, waktu sudah berlalu sedemikian lamanya dan si wanita muda ini masih mengingat rupaku sementara aku melupakan wajahnya. Payah. #hehehe

 

Aku mengenal wanita muda ini dengan nama Unda. Entah apakah nama yang melekat di ingatan (dan yang tercantum di artikel yang aku tulis #hehehe) itu benar atau tidak. Soalnya, ya dari kelima kawan baru, aku paling jarang ngobrol dengan dirinya. Maklum, dulu itu aku mengendus aroma romansa dirinya dengan kawan yang lain. Kalau aku mendekat, nanti tambah ricuh, hahaha. #senyum.lebar

 

Sempat juga aku melirik nama yang tertera di name tag seragam bandara. Tapi sayangnya, nama lengkapnya panjang, rumit, dan susah diingat. Beuh! Gagal sudah langkah pertama teori stalking. #hehehe

 

Interaksi kami hanya berlangsung kurang dari semenit. Antrian calon penumpang di belakangku sudah mengular. Sementara, aku sendiri harus memeriksakan tas ransel ke dalam mesin sinar-X. Toh, aku juga kurang suka berbasa-basi.

 


 

Eh, bicara tentang basa-basi. Apa jadinya kalau nasib mengharuskan untuk bersabar menanti keberangkatan pesawat yang di-delay? Tentu, salah satu pilihannya adalah berbasa-basi dengan calon penumpang yang duduk di bangku sebelah. Terlebih saat koneksi WiFi gratisan mendadak drop pas dipakai blog walking. #hehehe

 


Bengong, tidur, dan memandang layar smartphone adalah salah satu cara membunuh waktu. #hehehe

 

“Mau ke mana Mas?”, tanya calon penumpang di sebelahku

“Ke Jakarta. Masnya mau ke mana?”, balasku ke pria berusia pertengahan 20-an itu

“Ke Banjarmasin. Masuknya nanti lewat gate mana ya Mas? Kok nggak ada tulisannya.”

“Nanti dipanggil kok Mas. Lha wong di Adisucipto ini keluar gate mana pun parkir pesawatnya tetap sama kok.”

 

“Oh iya Mas. Baru sekali ini saya ke sini.”

“Hoo, di Jogja sudah ke mana saja Mas?”

“Saya nggak ke Jogja Mas. Tapi ke Cilacap. Ada kawan di sana. Liburan ceritanya.”

“Masnya asli Banjarmasin?”

“Nggak Mas. Saya kerja di Banjarmasin. Aslinya Padang.”

“Di Banjarmasin kerja apa?”

“Di tambang batu bara Mas. Masnya kerja apa?”

“Oh saya sih kerja di bidang TI Mas. Komputer-komputer gitu.”, jawaban yang selama ini terbukti ampuh meredam pertanyaan lanjutan yang rawan memicu jawaban dengan istilah-istilah asing #hehehe

 

“Oh. Usianya berapa Mas? Sudah nikah?”

 

Modyaro! Kok pertanyaan lanjutannya serupa dengan todongan pertanyaan di lebaran hari pertama gini? Welalalah...

 

Supaya obrolan basa-basi nggak meluas ke topik-topik yang rawan menyayat hati dan mengorek luka di masa lalu #halah, aku alihkan saja obrolan ke topik keahlianku, blusukan!

 


Sayang, belum sempat nanya namanya, apalagi nomor kontaknya. Hilang sudah peluang dapat tumpangan gratis di Kalsel. #hehehe

 

“Dirimu kerja di Banjarmasin di daerah mana Mas?”

“Bukan di Banjarmasinnya sih Mas. Kalau dari bandara masih sekitar 3 jam naik travel.”

“Hoo, jauh ya? Nama daerahnya apa?”

“Tabalong Mas. Pusatnya di Kota Tanjung.”

 


Letaknya di ujung utaranya Kalimantan Selatan. Jauh juga.

 

Berhubung koneksi WiFi gratisan agaknya sudah mulai membaik, aku mencoba-coba mencari informasi perihal Tabalong. Apa ya kiranya yang menarik di Tabalong ini?

 

“Berbatasan sama Kalimantan Tengah ya Mas?”

“Iya, sama Kalimantan Timur juga.”

“Dulu itu pas kabut asap apa ya kena dampaknya?”

“Nggak, yang parah itu kan di Kalimantan Tengah.”

“Hmmm...”

 

Kalau menilik Wikipedia sih, lambang kabupatennya sudah menandakan bahwa Tabalong ini identik dengan wilayah tambang. Tambang yang dominan jelas batu bara dan minyak bumi.

 

Scroll scroll halaman Wikipedia ke bawah.

Muncul topik sejarah Tabalong (ya ya ya).

Muncul topik sejarah birokrasi kabupaten (nggak menarik #hehehe).

Muncul topik kondisi alam (okay).   

Muncul topik tokoh kelahiran Tabalong (eh, Titiek Puspa lahirnya di Tabalong toh?)

 

Mendekati buntut halaman, mendadak pandangan mataku tertuju ke satu kalimat menarik.

 


HAH?

 

“Katanya di Tabalong banyak air terjun ya?”

“Iya kah? mana?”, Mas tetangga dudukku itu ikut melirik ke sabak digital

“Sudah pernah ke air terjun mana saja Mas di Tabalong?”

“Wah saya juga baru tahu di Tabalong ada air terjun.”

 

Weladalah...

 

“Lha Masnya kalau pas weekend nggak jalan-jalan po? Masak di mess doang?”

“Ya gitu Mas, hehehe.”

 

Wew...

 

Oke.Dari obrolan basa-basi dengan Mas pekerja tambang ini, aku dapat info menarik yang siapa tahuuu bakal jadi target petualangan berikutnya, hahaha #senyum.lebar. Tapi ya nggak juga dink. Soalnya, dalam beberapa waktu ke depan aku berencana istirahat keluyuran, hehehe #hehehe. Mau nyelengin uang sambil merencanakan masa depan #ceilah.

 

Sebenarnya, keluyuran ke Tabalong itu termasuk menarik ya karena ada penerbangan langsung dari Jogja. Yang mesti dipertimbangkan adalah biaya akomodasi dan transportasi. Karena dari ceritanya si Mas itu, seporsi nasi goreng dan minum di warung pinggir jalan di Tabalong umumnya berkisar Rp20.000. Belum lagi transportasinya.

 

Tapi, semisal Pembaca budget­-nya turah-turah dan doyan blusukan di pedalaman, mungkin Kabupaten Tabalong di Kalimantan Selatan bisa dilirik sebagai destinasi. Ya, sekali-kali bikin rame Kalimantan lah. #senyum.lebar

 


 

Lagi-lagi, obrolan dengan si Mas pekerja tambang ini harus terhenti karena mendadak aku mendapat “sinyal” untuk segera merapat ke bilik toilet #hehehe. Pas balik, eh, bangku yang tadi aku duduki sudah ditempati calon penumpang lain.

 

Terpaksalah aku duduk di bangku lain yang masih kosong. Kali ini di depanku adalah seorang ibu muda. Beliau sepertinya mau terbang ke Banjarmasin juga. Tapi, aku nggak bercakap-cakap dengannya karena geli-geli sendiri mendengar obrolannya dengan sang suami via telepon genggam.

 

“Pa, akhirnya aku kesampaian juga makan nasi kucing lho!”

 


Ceritanya penuh semangat dan berapi-api. #senyum.lebar

 

Jadi, nasi kucing favoritnya Pembaca ada di angkringan mana? Kalau aku sih di dekat sarang penyamun masih dapet sebungkus nasi kucing Rp1.500. #senyum.lebar #eh

NIMBRUNG DI SINI