Ini sudah hari ke-10 dari 62 hari kami KKN di Desa Kebondalem Kidul. Dari hari pertama penerjunan KKN sampai kemarin, aku masih menganggap KKN ini merupakan semacam piknik, yaitu bersenang-senang dan menambah ilmu baru. Sampai pada akhirnya di hari Rabu (9/7/2008) aku mengalami suatu peristiwa yang memicu konflik batin di dalam diriku.
Sore hari itu aku sedang menghabiskan waktu bersama Teguh di rumahnya. Kami mengutak-atik komputer Ayu, memain-mainkan aplikasi flash. Kemudian Bu Tini, ibunda Teguh, datang dan menawariku untuk makan sore lebih awal karena beliau baru saja selesai memasak tumis pepaya muda. Karena aku merasa nggak enak jika menyantap makanan mendahului anggota subunit yang lain, maka aku tolak tawaran beliau dengan halus.
Selang beberapa menit kemudian, Bu Tini datang kembali dan menyodorkan seporsi siomay kepadaku. Aku kaget dengan sikap beliau. Aku lantas berdalih bahwa aku masih kenyang dan menyarankan agar siomay itu diberikan pada Teguh atau Anggi, adiknya. Akan tetapi Teguh pada hari itu puasa. Bu Tini juga bilang kalau jatah untuk mereka berdua sudah ada. Teguh pun menyuruhku untuk menyantap saja siomay itu.
Sebelum Ibunya Teguh menghilang di balik pintu, aku mendengar beliau mengucapkan suatu kalimat yang sering beliau ucapkan namun baru kali ini aku menghayati maknanya.
"Nggak apa-apa Mas Wisna, seperti yang baru ketemu saja!"
Aku menelan suapan pertama siomay itu dengan mengingat kembali perjumpaanku dengan Bu Tini. Tepatnya tiga hari setelah gempa 27 Mei 2006. Suapan demi suapan seakan mengulang kembali memori di masa lalu. Sampai pada akhirnya, di suapan terakhir itu, penggalan kalimat “seperti baru ketemu saja”, terngiang-ngiang di kepalaku.
Aku merasa kami sudah berjumpa sejak cukup lama. Walau tidak terlalu akrab. Hanya sebatas bertegur sapa. Kalau aku ingat-ingat lagi, Bu Tini sering menyangka aku sebagai Winky. Mungkin beliau baru fasih mengenalku ketika aku KKN di tempatnya ini.
Aku memandang suasana sekitar. Hanya ada aku dan Teguh saat itu. Dalam beberapa jam lagi, mungkin anggota-anggota subunit yang lain akan berkumpul di rumah ini. Bagi Bu Tini, mungkin hanya aku dan Gunawan saja yang nggak dianggapnya sebagai orang asing. Karena kami berdua adalah teman kuliah Teguh. Sedangkan ke-20 anggota Unit 80 adalah orang asing baginya yang baru beliau kenal selama seminggu lebih.
Orang-orang asing itu kini mengambil alih wilayah beliau. Menempati kamar-kamar yang seharusnya ditempati oleh Teguh dan keluarganya.
Aku sedih ketika mendapati Bu Tini bercanda dengan bayi Aditya di selasar warung mie ayam dan bukan di dalam rumah. Apalagi saat di malam hari beliau tidur bersama Anggi di ruang makan dengan menggelar kasur. Aku sendiri juga nggak tahu kemanakah Pak Pardiman, bapaknya Teguh, menghabiskan waktu malamnya.
Menyaksikan yang seperti itu nggak jauh berbeda saat mereka masih tinggal di dalam tenda darurat pasca gempa bumi tahun 2006 silam. Aku merasa, kami, para mahasiswa KKN telah merenggut kenyamanan di rumahnya sendiri.
Sungguh, betapa besarnya pengorbanan Teguh dan keluarganya untuk kegiatan KKN ini. Dari semua itu, apakah harus dibayar dengan sikap, tingkah, dan perilaku kami yang semena-mena terhadap mereka? Menjadikan mereka terasing di rumahnya sendiri? Rumah yang dahulu kala sempat roboh karena gempa, kini berdiri kokoh namun kami kuasai?
Aku hanya bisa terbungkam dan menyadari bahwa nggak bergunanya aku di hadapan mereka. Akan kukaji kembali sikap, tingkah, dan perilakuku terhadap mereka. Mungkin aku terlalu berlebihan. Akan tetapi, ada juga beberapa orang yang berpikiran sama denganku.
Untuk saat ini, aku nggak bisa berbuat banyak untuk membalas segala kebaikan yang keluarga Teguh berikan kepadaku dan Unit 80. Aku hanya bisa berdoa, memohon kepada Allah SWT untuk membalas segala pengorbanan dan kebaikan mereka.
Aamiin
sana ke Bu Tini Mas..!!!
Apa dirimu masih di negeri Gajah yang dulu banjir itu?
Sekian wejangan dari saya.............