HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Blusukan Sampai Pucuknya Turi

Kamis, 21 Januari 2016, 08:52 WIB

Dengan enam keping uang koin Rp500, aku membeli tiga potong roti dari Ibu penjual jajanan pagi di utaranya Pasar Rejodani, Sleman. Satu potong roti langsung aku santap sambil duduk istirahat di salah satu emperan toko yang tutup. Itu artinya, tinggal tersisa 2 potong roti sebagai bekal bersepedaku di hari Minggu siang (30/8/2015) itu.  

 

Eh, Minggu siang?

 

Nggg... lebih tepatnya sih jam sembilan pagi. Yang mana, jam segitu itu bukan waktu yang lumrah untuk start bersepeda jauh. Biasanya aku berangkat bersepeda itu paling telat ya paling jam 8 pagi.

 

Aneh kan? Ya memang aneh sih. Namanya juga aku. #hehehe

 


Duduk-duduk makan roti sambil memandangi Pasar Rejodani.

 

Gara-Gara Koneksi Internet Mati

Cuaca di hari Minggu itu ya juga aneh sih! Langit mendung. Hawanya dingin. Jadinya kan sehabis salat Subuh cucok sekali buat melanjutkan mimpi indah yang tertunda. Bangun-bangun, eh jam setengah delapan! Rusak sudah deh mood buat bersepeda pagi. Lha wong bangunnya saja kesiangan? #hehehe

 

Mood tambah rusak pas melihat lampu indikator ADSL dan internet modem yang byar-pet-byar-pet. Doh! Pagi-pagi koneksi internet rumah sudah amburadul! Gimana nasibnya ini jadwalku ngoding sama streaming-an anime? >.<

 

Mau mengemis koneksi internet di "sarang penyamun" juga dilema. Masalahnya, kemarin Isya ada sripahan di dekat markas. Jalan-jalan ditutup buat memfasilitasi para pelayat. Jadinya, nggak kondusif juga kalau siang ini aku ke sana.

 

Akhirnya ya bersepeda saja deh. Sekalian nyari sarapan gitu. Kebetulan, belakangan ini Jl. Palagan Tentara Pelajar seakan melambai-lambai minta dihampiri. Kalau diingat-ingat, sudah lama banget aku nggak bersepeda lewat sana.

 

Menuntaskan Mimpi Misi yang Tertunda

Jadi, hanya sarapan roti di Pasar Rejodani terus pulang ke rumah?

 

Ya nggak! #hehehe

 

Karena sudah terlanjur nanjak lumayan jauh (sekitar 9 km dari rumah), kenapa nggak sekalian saja menunaikan misi yang sejak dulu bikin aku penasaran:

 

Mencari jalan penghubung Sleman – Magelang di lereng Merapi

Khususnya yang melintasi Kali Putih

 

Selama ini, aku tahunya jalan yang menghubungkan Sleman, DI Yogyakarta dengan Magelang, Jawa Tengah hanya jembatan Tempel – Salam yang ada di Jl. Raya Yogyakarta – Magelang thok. Padahal, mungkin saja di Kali Putih ada jembatan lain. Mungkin letaknya juga ada di pelosok.

 

Sebenarnya rasa penasaran ini sudah terpendam bertahun-tahun lamanya, semenjak PEKOK keliling Merapi yang memaksa kami “turun” ke Jl. Raya Yogyakarta – Magelang selepas sampai Ketep. Semestinya kan seru kalau bisa (bersepeda) mengelilingi Merapi tanpa harus lewat Jl. Raya Yogyakarta – Magelang. #senyum.lebar

 

Demi misi mencari jalan penghubung Sleman – Magelang itu, aku lanjut deh bersepeda sepanjang Jl. Palagan Tentara Pelajar. Kontur jalannya jelas bertipe “naik-naik ke puncak gunung”. Sebabnya, ini kan jalan raya di lereng Merapi.

 

Cabang Jalan di Dusun Pulowatu

Setelah bersepeda sambil bernostalgia #hoeks, sampailah aku di Jl. Palagan Tentara Pelajar km 16. Tepatnya di wilayah desa Pulowatu yang mana terdapat pertigaan jembatan Kali Boyong arah ke Warung Ijo, Pakem, dan Jl. Kaliurang. Di sini banyak pesepeda yang turun lewat Jl. Palagan Tentara Pelajar. Lha mereka pada turun, sementara aku sendiri masih kukuh nanjak, hehehe. #senyum.lebar

 


Ambil jalan yang ke arah Magelang.

 

Naik sedikit dan jalan bercabang jadi dua. Lurus nanjak (utara) ke arah Turgo. Sementara yang ke kiri datar (barat) ke arah Magelang. Karena niatnya nyari jalan tembus dari Sleman ke Magelang ya milihnya yang ke arah Magelang dong?

 

Alhamdulillah! Akhirnya ketemu jalan datar juga. Walaupun sebenarnya... ujung-ujungnya pasti nanjak lagi. Ya nggak apa-apa lah buat camilan selingan dengkul dan betis. #hehehe

 


Weh! Baru tahu kalau jembatannya rusak.

 

Selepas nyeberang jembatan rusak arah ke Joglo Plawang, kontur jalannya berubah jadi turunan. Wuih asyik! Tadi datar, sekarang turunan. #senyum.lebar

 

Lha terus kapan nanjak laginya ini?

 

Teori dan Sarapan Mie Ayam

Sebelum keasyikan turun sampai jauh (dan malah akhirnya nyasar #hehehe), aku berhenti buat sarapan di warung mie ayam “Gawe Rejo”. Kalau biasanya sarapannya nasi soto, sekali-kali sarapan mie ayam lah. Hitung-hitung pemerataan rezeki buat warung mie ayam, hehehe. #hehehe

 

Eh, aku punya teori, semakin jauh dari pusat kota Jogja, semestinya harga makanan bakal jauh lebih murah. Tapi ternyata mie ayam di sini Rp7.000 per porsi. Sama seperti harga mie ayam di kota Jogja. Selisih jarak 18 km ternyata nggak ngaruh ke harga mie ayam. #sedih

 


Harga-harganya naik. Mungkin karena ekonomi kian sulit...

 

Teoriku itu hanya berlaku untuk bakso yang di sini dihargai Rp8.000 per porsi. Di kota Jogja, harga bakso sekarang sudah Rp10.000 per porsi. Tapi ya buatku bakso kurang nendang sebagai pengisi perut. Apalagi habis ini agendanya kan masih nanjak panjang.

 

Mampir Lewat di Embung Turi

Nggg, kalau aku nggak salah ingat, di daerah Turi ini katanya ada embung. Dulu pernah ada rencana bersepeda ke embung di Turi ini tapi kok ya nggak jadi-jadi. Mumpung sekarang sudah sampai Turi, dicoba mampir sajalah. Siapa tahu lokasi embungnya searah.

 

“Mas, sanjange teng Turi mriki wonten embung nggih? Arah e pundi ngge niku?”, tanyaku ke mas pelayan

“Niki lurus mandap mawon Mas. Mangke wonten pertigaan, njenengan ambil kanan. Niku mpun cerak.”

“Oh nggih Mas. Suwun.” 

 

Buat Pembaca yang kurang paham bahasa Jawa. Intinya percakapan di atas itu ya seputar tanya arah ke embung di Turi. #hehehe

 


Semacam pemancingan umum gratis bagi warga Turi dan sekitarnya.

 

Berbekal petunjuk singkat-jelas-padat dari mas pelayan akhirnya sampai juga deh di Embung Turi. Embungnya lumayan besar. Berhubung hari Minggu dan sudah siang, banyak pengunjung yang mancing di sana.

 

Aku sengaja nggak menginspeksi Embung Turi ini lebih dekat. Kan masih punya misi utama yang perlu dintuntaskan. Kapan-kapan lagi lah mampir ke sini. Sepertinya bagus juga embung Turi ini dipotret pas pagi-pagi.

 

Perumahan Gama Asri yang Agak Spooky

Dari sini aku bersepeda dengan rute blusukan dengan panduan insting “ke barat dan ke utara”. Tahu-tahu, sampailah di kompleks perumahan. Di gapura masuknya sih tertulis, “Perumahan Gama Asri”.

 

Nggg?
Apa ini perumahannya karyawan Universitas Gadjah Mada ya?
Gama itu singkatan dari Gadjah Mada kan?
Kok lokasi jauh banget dari UGM?

 

Sekilas kompleks perumahan ini mirip kompleks “rumah hantu”. Sebab, banyak rumah-rumah yang (sepertinya) nggak berpenghuni dan terlihat nggak terawat.

 


Serasa jalan-jalan di kompleks rumah hantu. Pas kelihatan ada orang, eh tahu-tahunya malah zombie... #hehehe

 

Salah satu objek yang bikin kesan horor semakin semarak adalah incenirator alias tobong sampah. Lokasinya terletak beberapa puluh meter di belakang sebuah warung. Kalau menilik kondisinya, sepertinya sudah lama nggak digunakan untuk membakar sampah.

 


Cerobong yang mengundang perhatian untuk didekati.

 

Yang bikin seru adalah ketika mendongakkan kepala ke lubang cerobong pembakaran yang tingginya puluhan meter. Aku serasa berada di dasar jurang yang dalaaam banget hingga secercah cahaya mentari menjadi tumpuan harapan. #drama

 


Secercah cahaya matahari terasa sangat... jauh... #lebay

 

Haisy! Kok jadi drama? Kalau settingan-nya cerita horor, paling ya di dalam cerobong ini adalah tempat persembunyiannya makhluk-makhluk yang meneror si tokoh utama. Atau mungkin, pas mendongakkan kepala bakal terlihat kawan-kawan si tokoh utama sudah tergantung di dalam tobong dalam kondisi mengenaskan. Tentu dengan kepala berada di posisi bawah... Hiii!

 

Eh, kok malah aku jadi ngomongin horor-horor begini? >.<

 

Antara Bersepeda Nanjak dan Kesabaran

Anyway, lanjut bersepeda nanjak lagi dan sampailah di dusun Puntuk. Hmmm, kalau denger kata Puntuk malah teringat bukit Punthuk Setumbu. Eh, apa ini berarti sudah sampai puncak? Sayangnya belum. Sebab di depan, jalan masih terlihat panjang dan menanjak.

 


Meski terlihat rata, tapi jalannya masih nanjak ini!

 

Menurutku, bersepeda nanjak itu bukan ajang “kuat-kuatan” seperti “dibanding kamu, aku kuat bersepeda nanjak sampai situ”. Buatku, bersepeda nanjak itu semacam uji kesabaran. Bahwasanya “aku dengan sabar bisa melalui segala macam rintangan dan sampai dengan selamat di puncak tanjakan”. Perkara di tengah tanjakan mau berhenti kek, mau nuntun kek, itu urusan lain. #hehehe

 

Kalau katanya Ibu sih, orang sabar itu hidupnya bahagia. Lha kalau dipikir-pikir ya memang betul toh? Buat orang yang nggak sabaran itu apa saja bisa jadi masalah. Dari mulai perkara kecil, perkara besar, sampai perkaranya orang lain yang sama sekali nggak ada sangkut-paut sama dirinya.

 

Yah, hidup ini kan intinya hanya perkara “sabar-sabaran”.

 


Sesabar apa dirimu bersepeda menuntaskan jalan tanjakan ini seorang diri?

 

Jadi, marilah kita berusaha menjadi orang yang penyabar. Caranya gampang kok. Cobalah sekali-kali bersepeda nanjak. #hehehe #promosi

 

Sampai di Wonokerto dan Masih Nanjak

Ujung dari tanjakan panjang ini adalah pos ronda dengan tulisan “Banyuurip”. Yes! Welcome to dusun Banyuurip di desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta! #senyum.lebar

 


Istirahat di pos ronda setelah tanjakan panjang.

 

Ah, mendengar kata Banyuurip, aku jadi teringat petualangan bertahun-tahun yang lampau ke sendang Banyu Urip di Gunungkidul sana. Untungnya, medan jalan menuju Banyuurip di Turi ini nggak seganas versi Gunungkidul. #senyum.lebar

 

Nah, apa di sini ada mata air yang menjadi penghidupan? Kurang tahu! Sebab aku hanya numpang mengistirahatkan dengkul di pos ronda sambil mengunyah sepotong roti yang aku beli tadi dari Pasar Rejodani. Bekalku hanya tinggal tersisa satu roti. Semoga cukup.

 


Desa Wonokerto itu posisinya di mana pula? Sampai rumah sajalah nanti lihat di Google Map.

 

Dari sini masih nanjak lagi dan sampailah di Kantor Kepala Desa Wonokerto. Di dekat sana aku lihat seperti ada semarak suatu acara. Aku dekati dan bertanya ke mbak-mbak yang kebetulan lewat.

 

“Niki wonten acara nopo nggih Mbak?”

“Jathilan Mas. Mung dereng mulai.”

“Hooo ngoten. Lha marginipun mboten ditutup toh Mbak?”

“Mboten Mas. Tasih saget lewat. Lha njenengan ajeng teng pundi? Pundi rencang-rencange?”

“Ajeng nyobi minggah mawon Mbak. Rencang-rencang mboten tumut, nembe katah acara.”

“Nggih monggo Mas. Hati-hati. Mangke niki mentok-mentok dusun Tunggul Arum, ingkang wonten bunker Merapi niku.”

“Nggih mbak. Matur Nuwun. Pareng-pareng.”

 

Buat Pembaca yang kurang paham bahasa Jawa. Percakapan di atas itu... diterjemahkan pakai Google Translate saja ya. #hehehe

 

Hmmm, kok ya aku malah jadi penasaran sama objek bunker Merapi yang sepertinya menarik. Boleh juga ini dicoba mampir ke bunker Merapi. Aku terakhir lihat bunker ya bunker Kaliadem pas motret naik jeep itu. Ternyata di Turi ini ada bunker juga toh. Baru tahu aku.

 


Okey! Sip! #senyum.lebar

 

Selepas itu ya jalannya masih nanjak. Pemandangan kanan-kiri adalah kebun salak yang buahnya masih kecil-kecil. Nggak enak dimaling deh. #ups

 

Ya inilah trademark-nya bersepeda di daerah Turi yang bikin lirik lagu “Naik-Naik ke Puncak Gunung” menjadi nggak valid. Sebab semestinya:

 

Naik-naik ke puncak gunung. Tinggi-tinggi sekali.
Kiri-kanan kulihat saja. Banyak pohon salaaak.
Kiri-kanan kulihat saja. Banyak pohon salaaak.

 

Gituh. #hehehe

 


Di kanan-kiri jalan sekarang banyak kebun salak.

 

Selepas blusukan nanjak nggak jelas lewat rimbunnya kebun-kebun salak, akhirnya njedul juga di jalan raya. Dari mana aku tahu itu jalan raya? Karena di aspalnya ada cat putih putus-putus pembatas ruas. Kalau jalan desa kan hanya aspal polos tanpa cat pembatas ruas.

 

Agak di luar ekspektasi juga sih kok tembusnya malah di jalan raya. Kan lebih enak bersepeda lewat jalan desa. Tapi ya senang, karena di luar ekspektasi akhirnya ketemu juga sama toko kelontong.

 

Di toko kelontong ini aku berhenti sebentar mengistirahatkan dengkul sambil menyantap sepotong roti yang tersisa. Aku juga beli air minum 600 ml seharga Rp2.000 yang terasa dingin padahal sama sekali nggak disimpan di lemari pendingin. Orang-orang yang tinggal di Turi sini sepertinya nggak butuh kulkas ya untuk mendinginkan bahan makanan. #senyum.lebar

 


Seandainya kalau minum ini bisa bikin bersepeda lebih nge-gas....

 

Untuk memastikan bahwa aku berada di jalan yang benar, bertanyalah aku ke seorang bapak di pinggir jalan raya.

 

“Pak, njenengan ngertos bunker Merapi Pak? Pundi nggih arah e?”

“Niki tasih minggah Mas. Bunker-e mangke cerak gardu pandang.”

 

He? Gardu pandang!? Sudah nanjak setinggi apa aku ini? >.<

 

Desa di Pucuk Barat Yogyakarta Dekat Merapi

Akhirnya, setelah nanjak kira-kira 3 km dari toko kelontong sampai juga di dusun Tunggul Arum. Ini adalah dusun di pucuk barat Jogja seperti yang dibilang oleh bapak-bapak yang lagi pada ngobrol di dekat gardu pandang.

 


Weladala... malah sampai ke desa wisata nun jauh di pucuk tanjakan.

 

“Niki pucuk barat e Jogja Mas. Seberang niku sampun Magelang.”

“Lha nek ngoten njenengan ngertos jembatan nopo jalan penghubung Sleman – Magelang mboten Pak?”

“Niki wau njenengan medal pundi?”

“Kula wau saking pertigaan kidul nipun minimarket Pak.”

“Woo, niku njenengan tasih mandap Mas. Mangke wonten patung salak. Njenengan ambil kanan arah Srumbung.”

 

Yes! Akhirnya dapat titik terang juga! Blusukan nanjak-nanjak nggak berakhir nyasar. Hahaha, senangnya! #senyum.lebar 

 


Pemandangan dari dusun Tunggul Arum. Kalau langitnya cerah, yang tertutup awan itu gunung Merapi.

 


Gardu pandang yang disebut-sebut. Cocok menikmati panorama gunung Merapi dari sini.

 

Sebelum aku turun menghampiri patung salak, ada baiknya foto-foto dulu di sekitar dusun Tunggul Arum. Ternyata, dusun Tunggul Arum ini menyimpan potensi wisata yang menarik. Terutama “wisata wingit #hehehe, karena ada beberapa lokasi menarik semacam Gua Semar, Sendang Pancuran, Benteng Celeng, dan Watu Tunggang.

 


Peta persebaran objek-objek menarik di dusun Tunggul Arum.

 


Panduan untuk membunyikan kenthongan. Kira-kira kalau aku bunyikan warga keluar rumah semua nggak ya? #hehehe

 

Kapan-kapan mampir ke dusun Tunggul Arum lagi deh. Dengar-dengar dari bapak yang ngobrol sama aku tadi jalan dusun Tunggul Arum ini tembus ke arah Turgo. Kebetulan, aku juga belum pernah bersepeda ke Turgo. Pernahnya bersepeda ke Bebeng dan itu medannya sangat gila, hahaha. #senyum.lebar

 

 


Hampir lupa! Ini penampakan bunker Merapi.

 

Provinsi Jawa Tengah Tinggal Sejengkal

Dari dusun Tunggul Arum, meluncur turun lewat jalan raya. Sekitar 4 km nanti ada pertigaan dengan patung salak. Eh, lebih tepatnya sih patung pak tani yang mengangkat salak. Ini sebagai perlambang bahwa kecamatan Turi adalah sentra penghasil salak pondoh.

 


Patung bapak petani telanjang dada yang mengangkat salak itu. Coba warnanya bukan hitam.

 

Sekitar pukul 12 siang lebih 15 menit, akhirnya ketemu juga dengan jembatan batas wilayah Yogyakarta (Sleman) – Jawa Tengah (Magelang) yang aku cari-cari.

 

Misi selesai! #senyum.lebar

 


Alhamdulillah! Selepas lewat sini resmi masuk provinsi Jawa Tengah! #senyum.lebar

 

Dengan ini rasa penasaranku malah jadi ganti. Kira-kira, ada nggak ya jalan tembus dari Srumbung sampai arah Ketep (Sawangan)? Hmmm, episode berikutnya berarti bersepeda melanjutkan petualangan dari Srumbung ke arah barat.

 

Oke lah kalau begitu!

 


Jembatan yang melintasi Kali Putih itu wujudnya adalah dam lahar dingin.

 

Sekarang, berhubung sudah siang dan terik, mari pulang dulu. Semoga koneksi internet rumah sudah beres. Ya, beginilah kalau hidup tanpa koneksi internet. Yang ada malah blusukan nggak jelas sampai pucuknya Jogja. #senyum.lebar

 

Pembaca kalau koneksi internet mati ngapain? #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI