Dengan enam keping uang koin Rp500, aku membeli tiga potong roti dari Ibu penjual jajanan pagi di utaranya Pasar Rejodani, Sleman. Satu potong roti langsung aku santap sambil duduk istirahat di salah satu emperan toko yang tutup. Itu artinya, tinggal tersisa 2 potong roti sebagai bekal bersepedaku di hari Minggu siang (30/8/2015) itu.
Eh, Minggu siang?
Nggg... lebih tepatnya sih jam sembilan pagi. Yang mana, jam segitu itu bukan waktu yang lumrah untuk start bersepeda jauh. Biasanya aku berangkat bersepeda itu paling telat ya paling jam 8 pagi.
Aneh kan? Ya memang aneh sih. Namanya juga aku. #hehehe
Gara-Gara Koneksi Internet Mati
Cuaca di hari Minggu itu ya juga aneh sih! Langit mendung. Hawanya dingin. Jadinya kan sehabis salat Subuh cucok sekali buat melanjutkan mimpi indah yang tertunda. Bangun-bangun, eh jam setengah delapan! Rusak sudah deh mood buat bersepeda pagi. Lha wong bangunnya saja kesiangan? #hehehe
Mood tambah rusak pas melihat lampu indikator ADSL dan internet modem yang byar-pet-byar-pet. Doh! Pagi-pagi koneksi internet rumah sudah amburadul! Gimana nasibnya ini jadwalku ngoding sama streaming-an anime? >.<
Mau mengemis koneksi internet di "sarang penyamun" juga dilema. Masalahnya, kemarin Isya ada sripahan di dekat markas. Jalan-jalan ditutup buat memfasilitasi para pelayat. Jadinya, nggak kondusif juga kalau siang ini aku ke sana.
Akhirnya ya bersepeda saja deh. Sekalian nyari sarapan gitu. Kebetulan, belakangan ini Jl. Palagan Tentara Pelajar seakan melambai-lambai minta dihampiri. Kalau diingat-ingat, sudah lama banget aku nggak bersepeda lewat sana.
Menuntaskan Mimpi Misi yang Tertunda
Jadi, hanya sarapan roti di Pasar Rejodani terus pulang ke rumah?
Ya nggak! #hehehe
Karena sudah terlanjur nanjak lumayan jauh (sekitar 9 km dari rumah), kenapa nggak sekalian saja menunaikan misi yang sejak dulu bikin aku penasaran:
Mencari jalan penghubung Sleman – Magelang di lereng Merapi
Khususnya yang melintasi Kali Putih
Selama ini, aku tahunya jalan yang menghubungkan Sleman, DI Yogyakarta dengan Magelang, Jawa Tengah hanya jembatan Tempel – Salam yang ada di Jl. Raya Yogyakarta – Magelang thok. Padahal, mungkin saja di Kali Putih ada jembatan lain. Mungkin letaknya juga ada di pelosok.
Sebenarnya rasa penasaran ini sudah terpendam bertahun-tahun lamanya, semenjak PEKOK keliling Merapi yang memaksa kami “turun” ke Jl. Raya Yogyakarta – Magelang selepas sampai Ketep. Semestinya kan seru kalau bisa (bersepeda) mengelilingi Merapi tanpa harus lewat Jl. Raya Yogyakarta – Magelang. #senyum.lebar
Demi misi mencari jalan penghubung Sleman – Magelang itu, aku lanjut deh bersepeda sepanjang Jl. Palagan Tentara Pelajar. Kontur jalannya jelas bertipe “naik-naik ke puncak gunung”. Sebabnya, ini kan jalan raya di lereng Merapi.
Cabang Jalan di Dusun Pulowatu
Setelah bersepeda sambil bernostalgia #hoeks, sampailah aku di Jl. Palagan Tentara Pelajar km 16. Tepatnya di wilayah desa Pulowatu yang mana terdapat pertigaan jembatan Kali Boyong arah ke Warung Ijo, Pakem, dan Jl. Kaliurang. Di sini banyak pesepeda yang turun lewat Jl. Palagan Tentara Pelajar. Lha mereka pada turun, sementara aku sendiri masih kukuh nanjak, hehehe. #senyum.lebar
Naik sedikit dan jalan bercabang jadi dua. Lurus nanjak (utara) ke arah Turgo. Sementara yang ke kiri datar (barat) ke arah Magelang. Karena niatnya nyari jalan tembus dari Sleman ke Magelang ya milihnya yang ke arah Magelang dong?
Alhamdulillah! Akhirnya ketemu jalan datar juga. Walaupun sebenarnya... ujung-ujungnya pasti nanjak lagi. Ya nggak apa-apa lah buat camilan selingan dengkul dan betis. #hehehe
Selepas nyeberang jembatan rusak arah ke Joglo Plawang, kontur jalannya berubah jadi turunan. Wuih asyik! Tadi datar, sekarang turunan. #senyum.lebar
Lha terus kapan nanjak laginya ini?
Teori dan Sarapan Mie Ayam
Sebelum keasyikan turun sampai jauh (dan malah akhirnya nyasar #hehehe), aku berhenti buat sarapan di warung mie ayam “Gawe Rejo”. Kalau biasanya sarapannya nasi soto, sekali-kali sarapan mie ayam lah. Hitung-hitung pemerataan rezeki buat warung mie ayam, hehehe. #hehehe
Eh, aku punya teori, semakin jauh dari pusat kota Jogja, semestinya harga makanan bakal jauh lebih murah. Tapi ternyata mie ayam di sini Rp7.000 per porsi. Sama seperti harga mie ayam di kota Jogja. Selisih jarak 18 km ternyata nggak ngaruh ke harga mie ayam. #sedih
Teoriku itu hanya berlaku untuk bakso yang di sini dihargai Rp8.000 per porsi. Di kota Jogja, harga bakso sekarang sudah Rp10.000 per porsi. Tapi ya buatku bakso kurang nendang sebagai pengisi perut. Apalagi habis ini agendanya kan masih nanjak panjang.
Mampir Lewat di Embung Turi
Nggg, kalau aku nggak salah ingat, di daerah Turi ini katanya ada embung. Dulu pernah ada rencana bersepeda ke embung di Turi ini tapi kok ya nggak jadi-jadi. Mumpung sekarang sudah sampai Turi, dicoba mampir sajalah. Siapa tahu lokasi embungnya searah.
“Mas, sanjange teng Turi mriki wonten embung nggih? Arah e pundi ngge niku?”, tanyaku ke mas pelayan
“Niki lurus mandap mawon Mas. Mangke wonten pertigaan, njenengan ambil kanan. Niku mpun cerak.”
“Oh nggih Mas. Suwun.”
Buat Pembaca yang kurang paham bahasa Jawa. Intinya percakapan di atas itu ya seputar tanya arah ke embung di Turi. #hehehe
Berbekal petunjuk singkat-jelas-padat dari mas pelayan akhirnya sampai juga deh di Embung Turi. Embungnya lumayan besar. Berhubung hari Minggu dan sudah siang, banyak pengunjung yang mancing di sana.
Aku sengaja nggak menginspeksi Embung Turi ini lebih dekat. Kan masih punya misi utama yang perlu dintuntaskan. Kapan-kapan lagi lah mampir ke sini. Sepertinya bagus juga embung Turi ini dipotret pas pagi-pagi.
Perumahan Gama Asri yang Agak Spooky
Dari sini aku bersepeda dengan rute blusukan dengan panduan insting “ke barat dan ke utara”. Tahu-tahu, sampailah di kompleks perumahan. Di gapura masuknya sih tertulis, “Perumahan Gama Asri”.
Nggg?
Apa ini perumahannya karyawan Universitas Gadjah Mada ya?
Gama itu singkatan dari Gadjah Mada kan?
Kok lokasi jauh banget dari UGM?
Sekilas kompleks perumahan ini mirip kompleks “rumah hantu”. Sebab, banyak rumah-rumah yang (sepertinya) nggak berpenghuni dan terlihat nggak terawat.
Salah satu objek yang bikin kesan horor semakin semarak adalah incenirator alias tobong sampah. Lokasinya terletak beberapa puluh meter di belakang sebuah warung. Kalau menilik kondisinya, sepertinya sudah lama nggak digunakan untuk membakar sampah.
Yang bikin seru adalah ketika mendongakkan kepala ke lubang cerobong pembakaran yang tingginya puluhan meter. Aku serasa berada di dasar jurang yang dalaaam banget hingga secercah cahaya mentari menjadi tumpuan harapan. #drama
Haisy! Kok jadi drama? Kalau settingan-nya cerita horor, paling ya di dalam cerobong ini adalah tempat persembunyiannya makhluk-makhluk yang meneror si tokoh utama. Atau mungkin, pas mendongakkan kepala bakal terlihat kawan-kawan si tokoh utama sudah tergantung di dalam tobong dalam kondisi mengenaskan. Tentu dengan kepala berada di posisi bawah... Hiii!
Eh, kok malah aku jadi ngomongin horor-horor begini? >.<
Antara Bersepeda Nanjak dan Kesabaran
Anyway, lanjut bersepeda nanjak lagi dan sampailah di dusun Puntuk. Hmmm, kalau denger kata Puntuk malah teringat bukit Punthuk Setumbu. Eh, apa ini berarti sudah sampai puncak? Sayangnya belum. Sebab di depan, jalan masih terlihat panjang dan menanjak.
Menurutku, bersepeda nanjak itu bukan ajang “kuat-kuatan” seperti “dibanding kamu, aku kuat bersepeda nanjak sampai situ”. Buatku, bersepeda nanjak itu semacam uji kesabaran. Bahwasanya “aku dengan sabar bisa melalui segala macam rintangan dan sampai dengan selamat di puncak tanjakan”. Perkara di tengah tanjakan mau berhenti kek, mau nuntun kek, itu urusan lain. #hehehe
Kalau katanya Ibu sih, orang sabar itu hidupnya bahagia. Lha kalau dipikir-pikir ya memang betul toh? Buat orang yang nggak sabaran itu apa saja bisa jadi masalah. Dari mulai perkara kecil, perkara besar, sampai perkaranya orang lain yang sama sekali nggak ada sangkut-paut sama dirinya.
Yah, hidup ini kan intinya hanya perkara “sabar-sabaran”.
Jadi, marilah kita berusaha menjadi orang yang penyabar. Caranya gampang kok. Cobalah sekali-kali bersepeda nanjak. #hehehe #promosi
Sampai di Wonokerto dan Masih Nanjak
Ujung dari tanjakan panjang ini adalah pos ronda dengan tulisan “Banyuurip”. Yes! Welcome to dusun Banyuurip di desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta! #senyum.lebar
Ah, mendengar kata Banyuurip, aku jadi teringat petualangan bertahun-tahun yang lampau ke sendang Banyu Urip di Gunungkidul sana. Untungnya, medan jalan menuju Banyuurip di Turi ini nggak seganas versi Gunungkidul. #senyum.lebar
Nah, apa di sini ada mata air yang menjadi penghidupan? Kurang tahu! Sebab aku hanya numpang mengistirahatkan dengkul di pos ronda sambil mengunyah sepotong roti yang aku beli tadi dari Pasar Rejodani. Bekalku hanya tinggal tersisa satu roti. Semoga cukup.
Dari sini masih nanjak lagi dan sampailah di Kantor Kepala Desa Wonokerto. Di dekat sana aku lihat seperti ada semarak suatu acara. Aku dekati dan bertanya ke mbak-mbak yang kebetulan lewat.
“Niki wonten acara nopo nggih Mbak?”
“Jathilan Mas. Mung dereng mulai.”
“Hooo ngoten. Lha marginipun mboten ditutup toh Mbak?”
“Mboten Mas. Tasih saget lewat. Lha njenengan ajeng teng pundi? Pundi rencang-rencange?”
“Ajeng nyobi minggah mawon Mbak. Rencang-rencang mboten tumut, nembe katah acara.”
“Nggih monggo Mas. Hati-hati. Mangke niki mentok-mentok dusun Tunggul Arum, ingkang wonten bunker Merapi niku.”
“Nggih mbak. Matur Nuwun. Pareng-pareng.”
Buat Pembaca yang kurang paham bahasa Jawa. Percakapan di atas itu... diterjemahkan pakai Google Translate saja ya. #hehehe
Hmmm, kok ya aku malah jadi penasaran sama objek bunker Merapi yang sepertinya menarik. Boleh juga ini dicoba mampir ke bunker Merapi. Aku terakhir lihat bunker ya bunker Kaliadem pas motret naik jeep itu. Ternyata di Turi ini ada bunker juga toh. Baru tahu aku.
Selepas itu ya jalannya masih nanjak. Pemandangan kanan-kiri adalah kebun salak yang buahnya masih kecil-kecil. Nggak enak dimaling deh. #ups
Ya inilah trademark-nya bersepeda di daerah Turi yang bikin lirik lagu “Naik-Naik ke Puncak Gunung” menjadi nggak valid. Sebab semestinya:
Naik-naik ke puncak gunung. Tinggi-tinggi sekali.
Kiri-kanan kulihat saja. Banyak pohon salaaak.
Kiri-kanan kulihat saja. Banyak pohon salaaak.
Gituh. #hehehe
Selepas blusukan nanjak nggak jelas lewat rimbunnya kebun-kebun salak, akhirnya njedul juga di jalan raya. Dari mana aku tahu itu jalan raya? Karena di aspalnya ada cat putih putus-putus pembatas ruas. Kalau jalan desa kan hanya aspal polos tanpa cat pembatas ruas.
Agak di luar ekspektasi juga sih kok tembusnya malah di jalan raya. Kan lebih enak bersepeda lewat jalan desa. Tapi ya senang, karena di luar ekspektasi akhirnya ketemu juga sama toko kelontong.
Di toko kelontong ini aku berhenti sebentar mengistirahatkan dengkul sambil menyantap sepotong roti yang tersisa. Aku juga beli air minum 600 ml seharga Rp2.000 yang terasa dingin padahal sama sekali nggak disimpan di lemari pendingin. Orang-orang yang tinggal di Turi sini sepertinya nggak butuh kulkas ya untuk mendinginkan bahan makanan. #senyum.lebar
Untuk memastikan bahwa aku berada di jalan yang benar, bertanyalah aku ke seorang bapak di pinggir jalan raya.
“Pak, njenengan ngertos bunker Merapi Pak? Pundi nggih arah e?”
“Niki tasih minggah Mas. Bunker-e mangke cerak gardu pandang.”
He? Gardu pandang!? Sudah nanjak setinggi apa aku ini? >.<
Desa di Pucuk Barat Yogyakarta Dekat Merapi
Akhirnya, setelah nanjak kira-kira 3 km dari toko kelontong sampai juga di dusun Tunggul Arum. Ini adalah dusun di pucuk barat Jogja seperti yang dibilang oleh bapak-bapak yang lagi pada ngobrol di dekat gardu pandang.
“Niki pucuk barat e Jogja Mas. Seberang niku sampun Magelang.”
“Lha nek ngoten njenengan ngertos jembatan nopo jalan penghubung Sleman – Magelang mboten Pak?”
“Niki wau njenengan medal pundi?”
“Kula wau saking pertigaan kidul nipun minimarket Pak.”
“Woo, niku njenengan tasih mandap Mas. Mangke wonten patung salak. Njenengan ambil kanan arah Srumbung.”
Yes! Akhirnya dapat titik terang juga! Blusukan nanjak-nanjak nggak berakhir nyasar. Hahaha, senangnya! #senyum.lebar
Sebelum aku turun menghampiri patung salak, ada baiknya foto-foto dulu di sekitar dusun Tunggul Arum. Ternyata, dusun Tunggul Arum ini menyimpan potensi wisata yang menarik. Terutama “wisata wingit” #hehehe, karena ada beberapa lokasi menarik semacam Gua Semar, Sendang Pancuran, Benteng Celeng, dan Watu Tunggang.
Kapan-kapan mampir ke dusun Tunggul Arum lagi deh. Dengar-dengar dari bapak yang ngobrol sama aku tadi jalan dusun Tunggul Arum ini tembus ke arah Turgo. Kebetulan, aku juga belum pernah bersepeda ke Turgo. Pernahnya bersepeda ke Bebeng dan itu medannya sangat gila, hahaha. #senyum.lebar
Provinsi Jawa Tengah Tinggal Sejengkal
Dari dusun Tunggul Arum, meluncur turun lewat jalan raya. Sekitar 4 km nanti ada pertigaan dengan patung salak. Eh, lebih tepatnya sih patung pak tani yang mengangkat salak. Ini sebagai perlambang bahwa kecamatan Turi adalah sentra penghasil salak pondoh.
Sekitar pukul 12 siang lebih 15 menit, akhirnya ketemu juga dengan jembatan batas wilayah Yogyakarta (Sleman) – Jawa Tengah (Magelang) yang aku cari-cari.
Misi selesai! #senyum.lebar
Dengan ini rasa penasaranku malah jadi ganti. Kira-kira, ada nggak ya jalan tembus dari Srumbung sampai arah Ketep (Sawangan)? Hmmm, episode berikutnya berarti bersepeda melanjutkan petualangan dari Srumbung ke arah barat.
Oke lah kalau begitu!
Sekarang, berhubung sudah siang dan terik, mari pulang dulu. Semoga koneksi internet rumah sudah beres. Ya, beginilah kalau hidup tanpa koneksi internet. Yang ada malah blusukan nggak jelas sampai pucuknya Jogja. #senyum.lebar
Pembaca kalau koneksi internet mati ngapain? #senyum.lebar
Ho oh, cakep buat prewed, mana jalannya sepi pula. :D
Eh, tapi kalo ke bunker Merapi ini berarti harus naik kendaraan roda 2 ya?
ra enek kesel e tekan ngendi ngendi.. :p
btw tentang rumah di perumahan yang kosong itu.. err.. kemaren diskusi dengan
beberapa teman.. banyak orang kaya (banget) yang beli rumah disitu cuma biar besok
kalo di jual harganya (tanah lebih tepatnya) semakin mahal.. biasanya nggak cuma
punya 1 lokasi.. jadi rusak ya dibiarkan saja.. imbasnya yang belum punya rumah
semakin susah, lha rumah terjangkau sudah dibeli orang kaya untuk ditelantarkan.. .
Lha, jadinya itu bukan perumahan UGM toh? Tapi ya orang-orang berduit emang gitu kelakuannya. Kalau nggak dijual, seenggaknya buat tempat hunian anak-anaknya.
org yg hobi nyepeda, pasti org yg sabar ) ..itu pulangnya bakal enak ya mas, nurun terus,
jd ga capek :)
terlaksana mas hehe... pizzzz mantap dah mas wijna entah setan apa ayg bikin dengkul
tetep kekeuh.... mantap mas.,... serasa withmanish ala Jogja Indonesia hehe... wah kalo
koneksi internet mati aku mending ngedit mas hehe... enak yah kalo internet itu kerjaan
jadi kerjaannya gk teralihkan ya mas hehe... kalo yg internet hanya selingan waduhhh
repot... gak kelar\" jadinya dipentungi yg mesen hehe
hiy .. saya sih sudah malas kalau siang2 baru berangkat sepedaan ... apalagi mengarah
ke tanjakan tanjakan .... tapi banyak tempat2 menarik yang dapat dilihat ,, kayaknya di
daerah sana selalu ada tempat unik untuk di tengok ...
Asalkan cuaca nggak panas, aku sih masih semangat maju.