HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Menggapai Boro di Kulon Progo

Kamis, 17 Desember 2015, 09:37 WIB

Aku ingat, ada pepatah yang bunyinya begini.

 

“Tak ada kata terlambat untuk memulai.”

 

Aku kira, Pembaca juga pasti setuju dengan pepatah di atas. Suatu pepatah yang menyejukkan hati. Khususnya, bagi orang-orang pemalas yang selalu berlindung di balik pemikiran “ah, nanti dulu saja deh”.

 

Lha? Kok aku malah curhat? #hehehe

 

Kesiangan ke Kulon Progo

Setelah aku pikir-pikir lagi. Sepertinya mulai berangkat bersepeda pada pukul setengah 9 pagi itu hitungannya sudah terlambat deh. #hehehe

 

Biasanya, pada pukul setengah 9 pagi itu sebagian besar pesepeda sudah kembali ke kediaman masing-masing. Matahari juga sudah merangkak naik dan bikin cuaca menjadi panas.

 

Lha ini aku kok malah baru mulai berangkat bersepeda?

 

Sebenarnya pada Minggu (8/11/2015) itu aku nggak punya rencana untuk bersepeda. Kerjaan banyak dan aku sudah berencana untuk "bersemadi" di rumah guna menuntaskan tanggung-jawab tersebut.

 

Tapi kok ya, begitu melirik isi kulkas (ceritanya mau masak sarapan), terlihat nggak ada satu pun bahan yang bisa dimasak jadi lauk? Duh!

 

Jadi, ya sudah. Pada akhirnya aku putuskan saja untuk bersepeda mencari sarapan. #hehehe

 

Ya, sarapanku pukul setengah 9 pagi, karena aku tergolong manusia yang makan hanya dua kali dalam sehari, yaitu menjelang siang dan selepas magrib. #senyum.lebar #ngirit

 


Rute bersepeda pada hari ini...

 

Tahu-tahu, sewaktu melintas di Jl. Magelang aku seakan mendengar dengkulku merengek-rengek.

 

“Cari tanjakan lah ke Kulon Progo! Jangan cuma cari sarapan thok! Lama ini nggak nanjak!”

 

Racun... racun! Tanjakan mana di Kabupaten Kulon Progo yang bisa dilibas kalau aku berangkat bersepedanya sudah kesiangan seperti ini?

 

Kok ya cari perkara mau tersiksa panas-panas di tanjakan? Apalagi mayoritas tanjakan di Kulon Progo itu tergolong kelas jahanam. Sebut saja tanjakan Kiskendo dan tanjakan Samigaluh. Jarak Kota Jogja ke Kulon Progo itu sekitar 25 km pula.

 

Setelah berunding alot dengan dengkul, akhirnya aku turuti saja kemauannya. Dengan syarat, nanti kalau di pinggir jalan tanjakan ada masjid, berhenti, salat, habis itu balik turun pulang.

 

Deal!

 

Seakan-akan dengkulku bisa bicara ya... #halusinasi #kelaparan

 

Blusukan di Selokan dan Sawah

Ada banyak pilihan rute dari Kota Jogja menuju Kulon Progo. Berhubung posisiku saat itu ada di Jl. Magelang, aku memilih rute menyusuri Selokan Mataram sisi barat yang relatif sepi kendaraan bermotor.

 

Jadi, aku menyusuri Jl. Magelang ke arah utara. Sebelum gapura perbatasan Kota Jogja – Sleman, aku berbelok ke kiri (Jl. Jambon) melewati Sindu Kusuma Edupark, dan setelahnya menyebrangi ringroad untuk sampai ke Selokan Mataram.

 

Sepanjang perjalanan menyusuri jalan Selokan Mataram, aku perhatikan kondisi air Selokan Mataram di sisi barat ini lebih melimpah dibandingkan dengan air Selokan Mataram di sisi timur. Air yang mengalir berwarna cokelat. Bisa jadi karena Kali Progo sedang banjir. Maklum, November ini kan sudah masuk awal musim hujan. Sungai-sungai yang semula berair jernih, kini mulai berubah menjadi cokelat keruh.

 


Air Selokan Mataram mulai melimpah, tapi warnanya cokelat.

 

Sekitar pukul setengah 10 siang aku bertemu dengan simpang empat Selokan Mataram dengan jalan raya. Pikirku, ini adalah suatu kesempatan untuk mencari suasana yang lebih segar.

 

Jalan Selokan Mataram memang relatif sepi dari kendaraan bermotor. Tapi, pemandangannya bikin suntuk bin bosen. Apalagi jalan aspalnya bolong-bolong. Duh, jadi makin mendamba jalan aspal mulus nih. #derita

 

Alhasil, dari jalan Selokan Mataram aku berbelok menuju jalan raya. Jika dari tadi pemandangannya air sungai yang berwarna cokelat, sekarang berganti menjadi persawahan permai nan kehijauan. Asyik, asyik, asyik! #senyum.lebar

 


Kan enak kalau bersepeda dengan pemandangan sejuk seperti ini. #senyum.lebar

 

Aku perhatikan banyak burung kutul (Ardea sp) yang mengerumuni sawah-sawah. Hmmm, apa itu tandanya sekarang aku sudah masuk Kecamatan Seyegan ya? Atau malah Kecamatan Moyudan? Atau malah sudah masuk Kecamatan Minggir?

 

Ah, mbuh lah. Yang jelas masih di seputar Kabupaten Sleman dan belum ada acara nyasar. #hehehe

 

Ealah... tapi kok ya akhirnya kejadian juga! Aku nyasar! Hahaha. #senyum.lebar

 

Beruntung lah aku nyasarnya cuma sekali thok, yaitu di Dusun Kandangan di Kecamatan Seyegan. Awalnya sih karena penasaran sama nama dusunnya. Kok unik ya namanya “Kandangan”.

 

Eh, ternyata sepertinya Dusun Kandangan diberi nama demikian karena struktur dusunnya mirip kandang, yaitu hanya punya satu akses jalan untuk masuk dan keluar.

 


Terlepas dari acara nyasarku, Dusun Kandangan punya pemandangan sawah yang cantik.

 

Jikalau ada maling yang kabur ke Dusun Kandangan bakal gampang menangkapnya, hahaha. #senyum.lebar

 

Penampakan di Tengah Sawah

Di tengah perjalanan ada objek yang menurutku sensasional, yaitu arca yoni yang teronggok di tengah sawah. Sebetulnya, arca yoni di tengah sawah ini bukan sesuatu yang baru buatku. Dulu banget (sekitar tahun 2010 apa 2011 gitu) aku sudah pernah melihat arca yoni ini. Tapi, pada waktu itu aku nggak mendekat buat mengecek.

 


Wow, ada yoni tergeletak begitu saja di sawah!

 

Arca yoni ini terletak di persawahan di sekitar Kecamatan Seyegan atau Kecamatan Minggir. Lokasi persisnya aku nggak tahu karena aku bisa mblusuk sampai sini ini juga karena nggak sengaja. Ya tahu sendiri lah yang namanya sawah kan pemandangannya seragam, gampang bikin nyasar. #sedih

 

Seingatku, dulu arca yoni ini berada di tengah ladang sawah. Tapi, kok sekarang letaknya di pematang sawah ya? Apa dulu aku salah lihat? Atau mungkin arca tersebut pernah dipindah atau bagaimana?

 

Entahlah. Tapi yang jelas, mumpung menyambangi arca yoni ini, ada baiknya aku dokumentasikan lah. Siapa tahu, besok-besok aku lupa jalan untuk ke sini, hehehe. #hehehe

 


Apa di sekitar sini dahulunya ada candi?

 

Menurut dugaanku, dahulua arca yoni ini dilengkapi arca lingga. Sayang, sekarang arca lingganya tidak ada di tempat.

 

Arca yoni itu berhubungan erat dengan kesuburan. Bisa jadi, keberadaan arca yoni di tempat ini adalah sebagai pengharapan agar sawah-sawah di sekitarnya subur. Eh, tapi ya aku kurang tahu juga, apakah daerah di sekitar sini dahulunya adalah persawahan, hehehe. #hehehe

 

Aku juga nggak melihat adanya susunan batu-batu candi di sekitar arca yoni. Hmmm, apa mungkin batu-batunya sudah diambil warga ya? Hahaha. #senyum.lebar

 

Jika daerah di sekeliling arca yoni digali mungkin bisa ditemukan batu candi. Tapi ya, mungkin juga dulunya arca yoni ini eksis tanpa dinaungi bangunan candi.

 

Keliling Kampung yang Tidak Biasa

Akhirnya, sekitar pukul 11 siang kurang sedikit menit aku tiba di Kulon Progo. Berhubung di sekitar Pasar Dekso didominasi warung bakso dan mie ayam, jadilah aku sarapan siang dengan mie ayam, hahaha. #senyum.lebar

 

“Dicoba di sekitar Boro saja Mas, di situ jalannya nanjak,” ujar bapak warung mie ayam memberi pencerahan.

 


Sarapan siang mie ayam Kulon Progo yang murah meriah.

 

Adapun Boro yang dimaksud beliau adalah Desa Boro (dilafalkan Mboro sesuai lidahnya orang Jawa menyebut Bandung itu Mbandung #hehehe). Desa Boro terletak di lereng perbukitan Menoreh di Kecamatan Banjarasri, Kulon Progo.

 

Desa ini diberi nama Boro (artinya biara) karena di sana terdapat biara umat Katolik. Katanya, Desa Boro ini merupakan desa di mana generasi pertama orang Katolik di Jawa lahir.

 

Waktu hampir menunjukkan pukul setengah 12 siang. Sepertinya juga sudah kesiangan untuk melibas tanjakan kelas jahanam di Kulon Progo. Oleh sebab itu, bolehlah usul bapak warung mie ayam tadi menjadi pilihan. Hitung-hitung sekadar pemuas dengkul yang rewel meminta tanjakan. #hehehe

 

Jadi, dari warung mie ayam aku lanjut bersepeda menyusuri jalan raya dan berbelok di pertigaan menuju Desa Boro. Kemudian, tersajilah pemandangan cetar membahana yang menggugah rasa syukur, takjub, sekaligus penasaran.

 

“Bukit-bukit di sana itu bisa didaki nggak ya?”

 

 


Pemandangan indah yang hanya bisa dinikmati di desa Boro, Kulon Progo.
Apa di bukit-bukit itu juga ada air terjunnya ya? #eh

 

 

Demi mendekat ke kaki bukit terdekat, aku menyusuri Selokan Van Der Wijk alias Saluran Kalibawang untuk mencari jalan kampung yang sekiranya nanjak. Begitu aku melihat ada seorang ibu di pekarangan rumah, langsung saja aku sapa dan dekati.

 

“Bu, kalau jalan kampung yang nanjak ini tembusnya ke mana ya Bu?”

 

“Jalan ini cuma muter-muter kampung thok Mas”

 

“Lha, kalau jalan kampung yang tembusnya ke jalan raya arah Samigaluh ada Bu?”

 

“Nggak ada Mas. Jalan kampung sini ya hanya muter-muter thok.”

 


Selokan Van der Wijk yang nggak ada hubungannya dengan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.

 

Waduh, kok malah jalan nanjaknya nggak seperti yang aku harapkan, hahaha #senyum.lebar. Tapi nggak apa-apalah. Lha wong niat awalnya kan mencari tanjakan. Sudah untung dapat tanjakan kelas kampung. Lagipula sudah siang ini. Nanti sekiranya ada masjid di atas ya numpang salat, habis itu pulang, selesai.

 

Ternyata, walaupun “cuma” jalan nanjak keliling kampung, kemiringan jalannya dahsyat! Sekitar 500 meter pertama oke lah masih bisa dikayuh pelan-pelan pakai gir depan paling kecil dan gir belakang paling besar. Tapi setelah 500 meter pertama, saatnya mengibarkan bendera putih alias nuntun! Hahaha. #senyum.lebar

 

Nggak disangka, hanya tanjakan kelas kampung kok begini amat ceritanya. Beh!

 


Mencoba masuk jalan kampung untuk mengicip tanjakan.

 


Kok ya sudah nanjak tinggi juga...

 

Di daerah seputar puncak tanjakan itu adalah wilayah Dusun Kalijeruk. Sayangnya, hanya namanya thok yang Kalijeruk. Coba ada kali (sungai) yang mengalirkan air jeruk. Wuih, pasti seger dab! #mengkhayal

 

Di Desa Boro ini kebutuhan air untuk masing-masing rumah disuplai dengan selang-selang plastik. Sumbernya mungkin di sungai di lereng-lereng bukit sana. Tapi ya mbuh apa sungainya juga dilengkapi dengan air terjun, hahaha. #senyum.lebar

 


Selang-selang air yang bermuara ke rumah-rumah warga.

 


Motor cross nggak boleh lewat sini. Kalau sepeda boleh nggak ya?

 


Istirahat sebentar di pos kamling. Coba betulan ada air jeruk... #hehehe

 

Kalau mau mencari tanjakan singkat yang lumayan bikin dengkul pegal, sepertinya tanjakan  kampung di Desa Boro ini lumayan untuk dicoba. Atau mungkin kalau ada niat nanjak ke Puncak Suroloyo atau ke Air Terjun Sidoharjo boleh juga “pemanasan” dulu di tanjakan Boro ini, hehehe. #hehehe

 

Sayangnya, sepanjang perjalanan menanjak aku sama sekali nggak bertemu dengan masjid atau musala. Mungkin benar jika sebagian besar warga Desa Boro adalah umat kristiani.

 

Jadi, ya sudah deh. Aku akhirnya salat Zuhur di masjid dekat jembatan Kali Progo.

 

Menumpang Berteduh di Sendang Jangkang

Pada saat perjalanan pulang eh turun gerimis rintik-rintik. Posisiku masih di tengah persawahan antah berantah. Lupa bawa jas hujan pula. Doh!

 

Kalau begini situasinya mau berteduh di mana coba? Ya terpaksa maju terus toh? Untung karena masih awal musim hujan jadi gerimisnya terkesan agak “malas-malasan” alias datang dan pergi sesuka hati, hahaha. #senyum.lebar

 

Di tengah perjalanan menembus gerimis aku melihat ada plang kecil di tengah jalan sawah bertulisankan Sendang Jangkang. Beloklah aku masuk kampung sesuai arah petunjuk papan itu. Selain untuk memuaskan rasa penasaran, siapa tahu di sana aku bisa berteduh menunggu gerimis reda.

 


Mampir berteduh di Sendang Jangkang.

 

Nggak pakai acara nyasar karena Sendang Jangkang lokasinya persis di pinggir jalan kampung. Cocok juga buat tempat berteduh karena di lokasi dibangun semacam pendopo. Barangkali untuk tempat warga setempat menggelar hajat.

 

Kalau biasanya aku tergoda untuk membasuh diri dengan air sendang, tapi untuk kali ini... nggg... nggak dulu deh kalau melihat penampakan Sendang Jangkang yang seperti di bawah ini, hahaha. #senyum.lebar

 


Lebih mirip dengan sumur.

 

Mungkin karena ukuran sendang yang mungil seperti sumur sehingga kesannya “kotor” sampah alam. Kalau ingin dibersihkan mungkin harus menunggu ketika airnya meluap pas hujan.

 

Eh, apa jangan-jangan kalau hujan maka sendangnya jadi tambah kotor karena sampah yang terbawa air hujan mengendap di sini semua?

 

 


Ayo mbah kita pulang! #senyum.lebar

 

Akhirnya aku tiba di rumah lagi sekitar pukul 2 siang. Lewatnya Jl. Godean yang ramai kendaraan, tapi banyak tempat untuk berteduh jika hujan mendadak turun.

 

Besok-besok, kalau bisa bangun pagi sepertinya perlu melanjutkan eksplorasi jalur perbukitan Kulon Progo. Siapa tahu ketemu tempat-tempat menarik. #senyum.lebar

 

Sampai jumpa di cerita Kulon Progo Binangun selanjutnya! #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI