HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Eh, Ketemu Grojogan Banyunibo Ngliseng!

Minggu, 6 Desember 2015, 05:09 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Pukul 6 pagi pada hari Minggu (29/3/2015) yang cerah, bersepedalah diriku tanpa tujuan di Jl. Kusumanegara. Awalnya sih cuma mau muter-muter mencari sarapan. Tapi, coba iseng-iseng meng-SMS Mbah Gundul ah. Siapa tahu dirinya punya "agenda menarik" pada pagi hari ini. #hehehe

 

“ngepit ngidul seko joglo.”

(artinya: bersepeda ke selatan dari joglo)

 

Balasan singkat 4 kata dari Mbah Gundul di atas menggiringku ke Padepokan Joglo Pit di Jl. Gedong Kuning. Tiba di sana sekitar pukul setengah 7 pagi. Setelah menggoyang-goyangkan pagar rumah tanpa bel, muncullah sang empunya rumah yang baru saja selesai mandi.

 

“Aku baru tidur jam 3. Semalam ngopi-ngopi.”

 


Alhamdulillah, belum ada yang sudi mencuri sepeda kuning yang menggantung di tembok itu. #senyum.lebar

 

Sambil menunggu Mbah Gundul menyiapkan sepeda, aku menyapukan pandangan ke seisi joglo antik. Masih berantakan sebagaimana rumah yang dihuni pria lajang (pada umumnya). #eh #senyum.lebar

 

“Wah, parkitku mati!”

 

Mbah Gundul diam termenung menatap isi sangkar. Katanya, kemarin parkitnya masih lincah. Padahal, beberapa hari yang lalu 3 hamsternya hilang tak berbekas. Duh, kok ya banyak kemalangan yang menimpamu Mbah?

 

Yang sabar ya Mbah! Semoga dirimu lekas mendapat penggantinya. Aamiin. #senyum

 


Tragedi di pagi hari. Semoga dirimu tenang di alam sana ya....

 

“Jadi mau bersepeda ke mana ini?” tanya si Mbah.

 

“Kalau sarapan “Terong” gimana Mbah?”

 

“Wah, aku pas bawa sepeda dengan gir belakang kecil e. Berat kalau dibawa nanjak.”

 

Dirinya pun berpikir sejenak.

 

“Gimana kalau nyari jalan baru yang tembus arah Mangunan?”

 

“Yoh! Aku manut dirimu lah Mbah!”  

 

Sepeda pun lalu dikayuh menuju ke selatan. Lewat Kotagede. Lewat Pasar Ngipik. Mampir sebentar membeli jajanan pukis dan molen. Lanjut lewat Pleret. Lewat Segoroyoso. Setelah itu berbelok ke jalan yang mengarah ke Srumbung.

 

Eh, ternyata di Jogja juga ada daerah yang bernama Srumbung lho! Srumbung rupanya nggak hanya di Magelang thok, hehehe. #hehehe

 


Semoga di tahun-tahun ke depan pemandangan seperti ini masih bisa disaksikan,
nggak berubah jadi perumahan atau pertokoan.

 

Pas di Dusun Srumbung kami sempat melewati kios pengepul burung di pinggir jalan. Wuih! Burungnya banyak banget! Bulunya warna-warni. Kicauannya ramai-ramai. Jenisnya pun bermacam-macam.

 

Di kios burung itu kami berhenti sebentar. Selain mencuci mata, di sana Mbah Gundul memberi tahu aku bedanya jalak kebo, jalak suren, jalak malaysia, dan jenis-jenis burung lainnya.

 

Aku nggak tega motret burung-burung ini. Gemas rasanya ingin membebaskan mereka semua dari kurungan sangkar. Aku yakin aksiku ini bakal diapresiasi sama para pecinta satwa.

 

Eh, tapi nanti bisa-bisa aku malah diantemi sama yang punya kios burung, hahaha. #senyum.lebar

 

Seenggaknya, semoga di sini rasa sedih Mbah Gundul ditinggal mati parkitnya bisa sedikit terobati.

 


Ternyata harga burung itu mahal juga ya?
Eh, katanya salah satu indikator suksesnya orang Jawa itu punya peliharaan burung?

 

Lanjut lagi bersepeda dan tahu-tahu sudah masuk wilayah Desa Wukirsari. Kami sempat melewati jalan yang dahulu dilalui pas ke Curug Seribu Batu. Tapi, kali ini kami mengambil cabang jalan arah ke Dusun Jatirejo.

 

Dari sini medan sudah mulai menanjak. Nggak begitu terjal sih. Tapi yang pasti, pemandangan sawahnya indah!

 

Subhanallah! Ini di Jogja lho! #takjub #senyum.lebar

 


Jadi inget pemandangan di Ubud, Bali. Kalau di sana ngeliatnya Gunung Agung, di sini Gunung Merapi.

 

“Aku buang air dulu Wis,” kata Mbah Gundul yang memarkirkan sepedanya dan bergegas menyusup ke semak-semak.

 

“Yo Mbah, aku duluan ya,” balasku sambil lanjut bersepeda nanjak.

 

Belum ada 10 meter aku meninggalkan Mbah Gundul pipis, pemandangan istimewa yang aku lihat di tanjakan membuat aku berteriak-teriak histeris seperti orang kesurupan dhemit.

 

“MBAH! MBAH! SINI MBAH!”

 

Mbah Gundul kaget dan tergopoh-gopoh menghampiri kawannya yang lebay ini. Untung dirinya belum sempat membuka "keran". #hehehe

 


Waw, ada penampakan! Jelas yang ini bukan semacam pipa air yang bocor. #hehehe

 

Nggg... gimana ya caranya sampai ke sana?

 

“Ini ikutin jalannya saja Mas. Nanti ketemu pertigaan yang ada penampungan airnya. Itu masih ke atas sedikit lagi nanti ketemu rumah. Dari situ belok kanan lewat jalan kecil,” jelas sepasang warga di pinggir jalan.

 


Menerjang kilau cahaya menuju ke alam lain... eh ke air terjun maksudnya. #hehehe

 

Dari tadi medan jalan makin terasa lebih miring alias lebih nanjak. Aku baru ngeh. Saat ini kami sudah pindah wilayah ke Dusun Ngliseng yang masuk wilayah Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.

 

Eh, Desa Muntuk? Bukannya itu desanya Curug Banyunibo Sanggrahan ya?

 

Sepuluh menit kemudian kami tiba di pertigaan dekat penampungan air. Sebetulnya, yang menarik bukan penampungan airnya, tapi keberadaan air terjun kecil di pinggir jalan. #senyum.lebar

 

Jadi ya berhenti dulu deh di sini. Foto-foto sambil mengistirahatkan dengkul yang sudah berjuang keras melahap tanjakan. #hehehe

 


Pas musim hujan mendadak banyak air terjun muncul. Asal jangan jadi tenar saja. #senyum.lebar

 

Beberapa menit setelah itu barulah ketemu rumah di pinggir jalan. Di seberangnya ada jalan tanah kecil. Kata bapak penghuni rumah, ikuti saja jalan tanahnya sampai mentok. Oke deh Pak! #senyum.lebar

 

Sepanjang perjalanan lagi-lagi kami disuguhi pemandangan indah. Kota Jogja terlihat mungil dari ketinggian! Eh, ternyata sudah bersepeda nanjak tinggi juga ya?

 


Wah, sayang Gunung Merapinya tertutup awan. Jadi inget pemandangan di seberang rumahnya Pak Riyadi.

 

Jalan tanah itu berujung di sekumpulan rumah warga. Aku kaget, karena pada pagi hari ini nggak hanya kami yang bersepeda ke sini.

 

Di serambi salah satu rumah, dua pesepeda yang bernama Antok dan Icha sedang leyeh-leyeh sambil minum teh. Ternyata mereka mampir ke sini juga karena melihat air terjun pas bersepeda di tanjakan. Weh.... 

 

Kata Antok dan Icha, untuk ke ke air terjun harus berjalan kaki masuk hutan. Sepedanya diparkir di pekarangan rumah warga.

 


Pesepeda merangkap tabib. Terima panggilan juga lho! Apalagi panggilan cinta. #senyum.lebar #promosi

 

Akan tetapi, aku dan Mbah Gundul nggak langsung berangkat menyambangi air terjun. Aku menunggu Mbah Gundul merampungkan praktik pijat guna mengobati Mbah Sul yang kakinya keseleo dan penglihatannya terganggu glaukoma.

 

Sambil menunggu Mbah Gundul selesai praktik, aku mengoceh mempromosikan kemampuan “super”-nya. Dari mulai ahli pijat, pawang gaib, sampai meracik kopi. Sorry ya Mbah kalau namamu jadi tercemar, wekekeke. #senyum.lebar

 

Oh iya, di dekat rumah Mbah Sul juga ada air terjun lho! Sepertinya air terjun itu turunan dari air terjun besar yang bakal kami sambangi.

 


Enak banget kalau punya rumah dekat air terjun begini. Kalau mau ngadem nggak perlu jauh-jauh.

 

Kami baru berangkat ke air terjun sekitar pukul setengah 11 siang. Ya masuk hutan. Ya lewat jalan setapak. Jalannya menanjak dan licin banget karena semalam wilayah ini sempat diguyur hujan deras.

 

Yang paling seru itu ya pas lewat jalan dari pijakan dua kayu. Sudah kayunya licin, nggak seimbang, di pinggirnya jurang pula! Ngeri-ngeri sedap toh? Untung berbatasan dengan tebing. Jadi, lumayan lah bisa berpegangan pada batu tebing yang kokoh.

 


Masuk-masuk ke dalam hutan, tinggi-tinggi sekali. #nyanyi

 

Eh, itu sih sebelum Mbah Gundul mendadak bilang.

 

“Hati-hati Wis. Di tebing ada ularnya!”

 

...mampus guwe...

 


... dan masih sempet-sempetnya motret si ular! #senyum.lebar Kelihatan nggak ularnya?

 

Setelah 10 menit berjalan kaki menembus hutan, akhirnya kami tiba juga di lokasi air terjun yang tadi terlihat dari tanjakan itu. Warga setempat menamainya Air Terjun Banyunibo atau Grojogan Banyunibo.

 

Weh, penamaan yang kurang kreatif. Jadi, sudah berapa air terjun di Jogja yang diberi nama Banyunibo? #senyum.lebar

 

Di mana-mana air terjun itu ya selalu banyu (air) nibo (jatuh) toh ya?

 


Penampakan Grojogan Banyunibo setelah didekati. Spektakuler!

 

Aku terkendala dua hal ketika memotret Air Terjun Banyunibo Ngliseng:

 

  1. Airnya deras banget sampai bikin kamera basah kuyup! Untung bukan air laut. #hehehe 
  2. Hari itu aku nggak bawa tripod! Lha, niat awalnya kan cuma bersepeda mencari sarapan. #hehehe

 

Alhasil, pada siang hari itu nggak ada acara motret slow speed sampai sekian detik lamanya, hahaha. #senyum.lebar 

 

Tapi yakin, Air Terjun Banyunibo Ngliseng ini sangat fotogenik. Eh, tapi itu jika ada airnya thok lho! #hehehe 

 

Kata warga tadi, Air Terjun Banyunibo Ngliseng ini tergolong air terjun musiman. Eksisnya hanya pada saat musim hujan thok dan hanya jika semalam diguyur hujan lebat thok.

 

Jika dibandingkan dengan Grojogan Kali Bulan, Air Terjun Banyunibo Ngliseng ini “sedikit” lebih pendek, tetapi lebih deras dan memukau.

 

Sekali lagi, Subhanallah! #senyum.lebar

 


Walau tanpa filter dan tripod, tukang foto berpengalaman punya segudang cara biar hasil fotonya tetap terlihat ciamik. #hehehe

 

Medan jalan ke Air Terjun Banyunibo Ngliseng masih liar. Tapi ya nggak apa-apa. Supaya air terjunnya tetap alami. Supaya hanya sedikit orang yang sudi kemari.

 

Jika bukan pecinta alam atau orang yang kurang kerjaan, sepertinya nggak mungkin deh manusia-manusia gaul nan 4l4y yang hobi selfie itu blusukan sampai ke sini, hehehe. #hehehe

 


Yang termasuk manusia-manusia kurang kerjaan ya duet men in black ini barangkali ya. #senyum.lebar

 

Di perjalanan pulang dari Air Terjun Banyunibo Ngliseng, Mbah Gundul mengajak berhenti sebentar. Dirinya mengajak aku untuk memperhatikan riuh suara serangga yang bersahut-sahutan.

 

“Wis, suara serangga apaan itu?” tanya si Mbah.

 

“Itu suara tonggeret kan Mbah?” jawabku.

 

“Kalau bahasa Jawanya itu garengpung atau kinjeng tangis. Mereka keluar mendekati akhir musim hujan. Tandanya tiga bulan dari sekarang masuk musim kemarau.”

 


Pembaca mungkin sering mendengar suaranya, tapi belum pernah lihat wujudnya kan?

 

Garengpung yang kami temui ini punya nama ilmiah Tibicen linnei. Mereka hidup beberapa tahun dalam wujud larva kemudian bermetamorfosis menjadi wujud dewasa pada awal musim hujan.

 

Akhir musim penghujan adalah musim kawin mereka yang ditandai dengan suara-suara nyaring itu. Yang jantan mati beberapa saat setelah kawin. Sedangkan yang betina menyusul mati setelah bertelur. Sedih ya? #sedih

 

Nggak hanya garengpung yang kawin di hari itu. Aku menangkap adegan mesra sejumlah pasangan belalang. Duh nikmatnya memadu kasih di tengah hutan yang sepi seperti ini. #eh

 


Kalau urusan yang saru-saru, mendadak indera penglihatan menjadi sangat jeli.... #hehehe

 

Pada pukul setengah 1 siang kami berpamitan pulang dengan Mbah Sul sekeluarga. Balik lagi ke jalan raya dan bingung antara mau lanjut bersepeda nanjak ke arah Mangunan atau turun langsung ke Pleret.

 

“Lanjut nanjak aja Mbah. Nanti turunnya lewat Cinomati,” saranku.

 

Khilaf aku! Bisa-bisanya semangat lanjut bersepeda nanjak di bawah terik matahari siang bolong. Apa mungkin karena doktrin, “Rute pulang nggak boleh sama dengan rute pergi”? Atau karena puncak tanjakan terlihat sudah dekat?

 


Jalan pada foto ini tidak serata yang dibayangkan.

 

Apa pun itu, ternyata ruas jalan lanjutannya tergolong tanjakan jahanam! Kalau aku sih sudah jelas mengibarkan bendera putih alias menuntun sepeda. Mau dikayuh pun percuma karena ban sepeda depan pasti terangkat. Sepertinya, tanjakan ini sama terjalnya dengan Tanjakan Cinomati.

 

Nasib... nasib....

 

Tanjakan jahanam berangsur-angsur sirna saat memasuki zona hutan pinus. Glek! Jadi ini ketinggian sudah setara Mangunan? Apa jangan-jangan ini sudah nyasar sampai Mangunan?

 


Mirip hutan pinus Mangunan tapi bukan. Semoga nggak jadi ramai sama orang-orang gaul kekinian.

 

“Ini kalau mau ke Mangunan masih lurus ke sana. Kalau ke Cinomati arahnya ke sana,” kata seorang Bapak di perempatan.

 

Oh oh oh, ternyata jalan tanjakan yang kami lalui sepanjang Jatirejo – Ngliseng ini tembus di ruas jalan Cinomati – Mangunan. Ya sudah, kami belok saja ke arah Cinomati.

 

Ah, jadi nostalgia deh. Dulu pada tahun 2010, untuk pertama kalinya aku dengan kawan-kawan yang lain bersepeda pulang dari Mangunan bareng Mbah Gundul ya lewat jalan ini.

 


Akhirnya sampai juga di tempat yang sudah familiar.

 

Singkat cerita, tiba di perempatan beringin Terong sekitar pukul setengah 2 siang. Sebelum turun lewat Cinomati, kami mampir makan mie ayam dulu di dekat “pos ronda super komplit” seharga Rp6.000 per porsi. Aku tiba di rumah sekitar pukul 3 sore.

 

Selesai sudah cerita panjang di hari ini! #senyum.lebar

 


Warung Soto Wisuda has returned?

 

Akibat agenda bersepeda dadakan pada hari ini aku jadi tahu ada alternatif jalan ke Mangunan dan juga tahu ada air terjun di Dusun Ngliseng.

 

Oh iya, ternyata ada banyak blogger yang nulis tentang Air Terjun Banyunibo Ngliseng seperti Samin dan Mari Kita Dolan. Hanya saja mereka salah nulis nama dusun Ngliseng jadi Nglingseng, hehehe. #hehehe

 

Jogja ternyata masih memiliki tempat-tempat menarik yang menanti untuk dijelajahi. Semoga saja masih tetap alami sampai selama-lamanya. #senyum

NIMBRUNG DI SINI