HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Pusaka Peninggalan di Sendang Banyutemumpang

Minggu, 8 November 2015, 08:58 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Habis lebaran, aku pingin banget bersepeda. Tapi ya berhubung baru selesai puasa bersepeda 1 bulan, ya jangan langsung yang menguras tenaga juga kali!

 

Maka dari itu, setelah memutar otak sambil ngendog, di hari Minggu pagi (2/8/2015) itu aku menyusun rencana buat bersepeda di sekitar Kecamatan Kasihan saja. Soalnya, Kasihan itu lumayan dekat dari rumah dan jalan ke sananya agak nanjak. Nanti di sana muter-muter nyari sarapan soto dan baru pulang.

 

Soto lagi. Soto lagi. Orang Jogja memang makanannya nggak jauh-jauh dari soto, gyahahaha. XD

 

Dari rumah aku lewat rute yang biasa dilalui kalau bersepeda ke Kasihan yaitu:

 

Stasiun Tugu → Keraton → SMK 1 Kasihan → Makam Gunung Sempu → Desa Kasongan → Kantor Desa Bangunjiwo.

 


Suasana medan bersepeda di seputaran Bangunjiwo.

 

Dari desa Kasongan sampai ke kantor Desa Bangunjiwo itu jalannya nanjak. Lumayan lah dapet tanjakan. Di sekitar Kantor Desa Bangunjiwo aku berhenti dulu buat istirahat sekalian nyetok perbekalan. Kemudian terjadilah percakapan berikut.

 

“Mau bersepeda ke mana Mas? Selarong?”

“Nggak Bu. Cuma muter-muter saja.”

“Apa ke Pulosari di Pajangan? Kalau hari minggu seperti ini banyak yang bersepeda ke sana.”

“Wah, musim kemarau seperti ini airnya ya kering toh Bu.”

“Kalau nyari yang ada airnya ke sendang saja Mas.”

“Sendang? Sendang apa Bu?”

“Duh lupa namanya. Dekat sama tugu gentong kok. Nanti di dekat sana tanya orang saja.”

“Tugu gentong? Yang pertigaan arah ke Pengilon itu Bu?”

“Ya itu Mas.”

 

Oke deh. Mendadak dapat target baru. Jadi, sarapan sotonya nanti sajalah setelah dari sendang. Lagipula cuma ke tugu gentong ini. Lumayan dekat kalau dari Kantor Desa Bangunjiwo. Walaupun ke sananya mesti lewat dua tanjakan lagi.

 

YOSH! Semangat!

 

Pas lewat tanjakan ke tugu gentong ini aku melihat ada rumah unik yang wujudnya mirip sama bangunan kastil di Eropa. Di depan rumah ada spanduk bertuliskan “Trah Wongsoparto”. Terus di halamannya ada patung Pangeran Diponegoro menunggangi kuda. Hmmm, apa yang punya bangunan ini keturunannya Pangeran Diponegoro yah?

 


Kayaknya semenit yang lalu masih di Jogja, tahu-tahu kok sudah nyasar sampai Eropa ya?

 

Anyway, akhirnya sampai juga di pertigaan tugu gentong yang mana wujudnya menurutku masih nggak mirip gentong. Di dekat sana aku tanya lagi ke warga.

 


Masih belum mirip sama gentong...

 

“Di dekatnya minimarket ini kan ada gapura Mas. Masuk ke situ. Ikutin jalannya. Nanti ketemu.”

 


Gapura dekat minimarket yang dimaksud.

 


Jalan desa selepas masuk gapura.

 

Sesuai petunjuk si Bapak. Aku masuk gapura terus mengikuti jalan desa yang menurun. Nggak ada semenit aku ketemu sama penampakan di bawah ini.

 

WAOW! Para ladies lagi mencuci pakaian di pinggir sendang!

 


Remaja-remaja putrinya pada ke mana ini? ...

 

Sepeda aku senderkan di pohon beringin besar. Aku duga dari pohon beringin inilah sumber mata airnya. Nggak tahu kenapa di setiap sendang biasanya “dijaga” sama pohon besar.

 


Katanya sih pohonnya nggak angker.

 

Seperti biasa, kalau mampir di sendang kan wajib buatku berbasah-basahan ala kadarnya semisal cuci tangan atau membasuh muka. Pas mendekat ke sendang aku perhatikan kok nggak ada semacam keran airnya. Lha ini ibu-ibu ngambil air buat nyucinya gimana?

 

“Ngambil airnya pakai ember ini Mas.”

 

Seorang ibu kemudian ngasih aku ember hitam yang ada tali rafianya. Hooo, ternyata airnya mesti ditimba gitu dari tembok di sisi sendang. Harus hati-hati ini. Soalnya kalau tali rafianya lepas, ngambil embernya mesti nyebur ke sendang, hahaha. #senyum.lebar

 


Untuk ngambil airnya harus pakai ember.

 

Obrolan pun terjadi antara aku dengan ibu-ibu yang lagi asyik nyuci sambil ngerumpi itu.

 

“Kalau pas musim hujan airnya malah sampai luber Mas. Kalau sekarang kan sudah masuk mangsa ketiga (kemarau) jadinya airnya sedikit.”

“Di rumah njenengan ya ada sumur Bu?”

“Ya ada Mas. Tapi di musim sekarang airnya sedikit. Jadinya kalau nyuci ya ke sini ini sambil ngobrol-ngobrol.”

“Hooo, di sini ini air susah nggak sih Bu? Ada drop-drop-an tangki air gitu dari Pemda?”

“Nggak pernah ada Mas. Beli tangki air gitu ya nggak juga kok.”

 

Kalau aku baca-baca dari referensi di internet, sendang ini bernama Sendang Banyutemumpang atau Sendang Banyu Tumpang. Sendang ini adalah petilasan peninggalannya Sultan Hamengkubuwono II. Lokasinya di Dusun Salakan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.

 

Referensi:

http://bangunjiwo-bantul.desa.id/wisata/sendang/sendang-banyutemumpang/

http://yogyakarta.panduanwisata.id/daerah-istimewa-yogyakarta/bantul/sendang-banyutemumpang-sendang-peninggalan-kraton-kasultanan-yogyakarta/

 

 


Semacam umpak. Untuk menancapkan tongkat payung apa ya?

 

Dahulu disebutkan ada tiga buah kolam di sini. Sekarang sih ya cuma satu ini saja. Dimensi kolam yang sekarang ini sekitar 6,9 meter x 4,5 meter dengan kedalaman 1,5 meter. Di satu sisi tembok ada semacam cerat yang bentuknya menurutku... agak menjurus ke... ah sudahlah. #hehehe

 


Cerat yang bentuknya mirip ... ah, tapi mungkin hanya perasaanku saja ... #berpikir.positif

 

Aku pikir dari cerat ini mengalir sumber airnya, tetapi malah dari pipa pralon kecil di sudut tembok. Pipa pralon ini sepertinya nyambung dengan sumur kecil di dekat kolam. Sumur kecil ini sepertinya sumber mata air dari Sendang Banyutemumpang.

 


Air sendang keluarnya dari sini.

 


Sepertinya ini asal mata airnya.

 

Oh iya, sesuai judul artikel ini, di Sendang Banyutemumpang ini juga ada pusaka peninggalan lho! Lha wong, namanya saja bangunan purbakala. Lokasinya ada di bangunan mirip kamar kecil yang kondisinya mengenaskan.

 


Sangat tidak representatif dipakai untuk ngendog!

 

Nih fotonya yang lebih jelas. #hehehe

 


Hmmm, jadi ini toh pusaka peninggalannya... ya ya ya...

 

Sampai di rumah lagi langsung terkapar tak berdaya di kasur. Kayaknya sih gara-gara tiga tanjakan yang aku lewati tadi.  Duh...

 

Semoga kalau pembaca ke sini masih bisa melihat peninggalan pusakanya ya... #hehehe

NIMBRUNG DI SINI