HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Hilang Arah ke Air Terjun Pendung Kerinci

Senin, 28 September 2015, 06:43 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Kadang aku heran. Duluuu, pas masih sekolah, aku tuh kuper banget! Keluar rumah saja ogah-ogahan. Tapi kok ya, bertahun-tahun kemudian, aku malah keluyuran sendirian di Kerinci ya? Di pelosok hutan pula! Benar-benar seperti orang hilang dan kurang kerjaan deh. #hehehe

 

Eh iya, Kerinci yang aku maksud, ya kabupaten Kerinci yang ada di provinsi Jambi itu. Kabupaten yang meminjam nama gunung tertinggi se-Sumatra itu lho. Pada mudeng toh?

 


Dari Jambi jauh. Dari Padang jauh. Dari Bengkulu jauh.
Dari Jogja? ...

 

Berawal Ngojek dari Kota Sungai Penuh

Cerita blusukan di hari Jum'at (10/4/2015) itu dimulai saat langit masih gelap, sekitar pukul enam pagi, dengan menonton aksi pasukan pemadam kebakaran berjibaku memadamkan rumah yang terbakar di dekat simpang empat pasar kota Sungai Penuh.

 

Kurang kerjaan banget ya nonton orang kena musibah? Itu karena para tukang ojek di pasar lebih memilih nonton kebakaran daripada narik ojek! #payah #orakalap

 


Suatu pagi yang menegangkan di kota Sungai Penuh.

 

Singkat cerita, kesepakatan pun terjalin antara aku dan salah satu pak ojek pasar. Aku minta diantar dari kota Sungai Penuh menuju desa Pendung Mudik di kecamatan Air Hangat. Tarifnya Rp20.000 dengan jarak sekitar 10 km yang bisa ditempuh kurang lebih 20 menit.

 

Pemandangan sepanjang perjalanan indah banget! Di kanan-kiri terbentang hamparan sawah yang luaaas dan dikelilingi perbukitan. Duh, pemandangan sawah-sawah di Jawa kalah deh pokoknya.

 

Awalnya sih mau aku potret. Tapi nggak jadi, karena pas mau ngambil kamera ada insiden handphone-ku nggak sengaja terlempar ke aspal. Kualat karena nonton musibah kebakaran apa ya? >.<

 

Lagi-lagi Masuk Hutan... Sendirian

Sesampainya di desa Pendung Mudik, pak ojek berbaik hati nurunin aku di cabang jalan yang mengarah ke air terjun. Kalau dari tulisan di papan yang ada di dekat sana, katanya sih cuma 2 km doang buat sampai ke air terjun. Ckckck, 2 km itu sih deket dong? Biasanya, jarak segitu itu bisa aku tempuh sekitar 40 menit dengan jalan santai. #sombong

 


Nggg? Katon? Katon Bagaskara? #senyum.lebar

 


Batas pemisah area hutan dan desa.

 

Aku mulai deh blusukan di dalam hutan di perbukitan Kerinci. Waktu menunjukkan sekitar pukul tujuh pagi lewat sedikit. Suasananya sepiii. Hewan-hewan liar sepertinya masih pada bobok. Habis hawanya adem banget! Maklum, ini kan daerah lereng pegunungan.

 

Sepengetahuanku, hutan ini bukan bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat. Jadinya nggak dihuni sama suku anak dalam atau suku pendek yang misterius itu. Eh, kecuali kalau mereka nyasar sih. #hehehe

 


Suatu pagi yang sepi di pelosok hutan Kerinci.

 

Sepanjang jalan aku lihat ada banyak ladang warga. Tapi karena masih pagi, jadinya ya belum ada satu pun warga yang muncul. Seenggaknya ada harapan lah kalau daerah ini masih sering dijamah manusia.

 

Setelah menyebrang sungai untuk yang pertama kalinya, suasana pelan-pelan berubah. Ladang-ladang warga menghilang. Semak dan belukar mulai tambah lebat. Jalan juga semakin menyempit. Horornya mulai terasa.

 

Lha, siapa suruh blusukan sendirian di pelosok hutan di Sumatra!?

 


Sungai pertama.

 


Hampir bisa dipastikan kalau ke sini kaki pasti basah.

 

Selanjutnya aku nyebrang sungai lagi untuk yang kedua kalinya. Nah, setelah nyeberang sungai ini suasananya sudah terasa sangat hutan sekali. Satu-satunya hiburan, penyemangat, sekaligus kawan blusukan menuju Air Terjun Pendung hanyalah suara gemuruh aliran sungai.

 


Sungai kedua.

 


Ini baru namanya masuk hutan.

 

Nekat Karena Buntu

Pikirku, tinggal menyusuri sungai, nanti toh bakal ketemu sama air terjun. Eh, ternyata aku sampai di suatu tempat yang menurutku penerawanganku sih buntu. Habisnya, sama sekali nggak ada tanda-tanda jalan yang biasa dilalui orang. Doh!

 

Kalau aku perhatikan, di dekat sana ada kumpulan susunan bambu. Lalu ada cabang jalan kecil nyeberang sungai. Jadinya aku harus ke mana ya ini? Masak ya aku harus pindah rute nyemplung menyusuri aliran sungai buat sampai ke air terjun?

 


Ke kiri nyeberang sungai. Ke kanan manjat tebing.

 

Dalam kondisi tanpa petunjuk itu aku mengambil keputusan nekat. Aku mencoba manjat tebing di dekat susunan bambu. Samar-samar aku perhatikan. Ada satu bambu yang diikat kokoh sama tali rafia. Ini satu-satunya jejak manusia yang aku temukan. Sepertinya untuk membantu memanjat. Walaupun aku sangsi kalau jalan menuju air terjun harus pakai adegan panjat-memanjat tebing seperti ini.

 

Perlu usaha ekstra buat memanjat tebing. Yah, seenggaknya bagi petualang alam amatiran macamnya aku ini. #hehehe Batu-batu yang menjadi pegangan basah dan licin. Kemiringannya benar-benar vertikal! Nyaris mirip aksi rock climbing. Bedanya, tanpa ada alat pengaman. Ditambah lagi, waktu itu aku memanjat tebing sambil akrobat memanggul tas dan tripod. Begini ini lah resikonya kalau tukang potret jalan-jalan ke hutan.

 

Ujian hidup masih berlanjut selepas sampai dengan selamat di puncak tebing. Medannya ganti jadi jalan setapak yang sempit, licin, dan di pinggirnya jurang! KOMPLIT! Bener-bener 99.9% rawan bikin orang celaka deh.

 

Eh, celaka? Sepertinya lebih pantas disebut rawan bikin mati...

 


Pohon-pohon yang tumbang. Jejak perambah hutan kah?

 

Sepuluh menit berlalu dan aku tiba di suatu tempat di mana di sana ada banyak pohon tumbang. Menurut penerawanganku, pohon-pohon tumbang ini bukan karena faktor alam, dhemit, atau ulah binatang liar, tapi karena ulah manusia. Sepertinya memang sengaja ditebang. Apa ini juga termasuk merambah hutan ya? 

 

Sejenak aku perhatikan keadaan sekitar. Rasa-rasanya kok nggak ada jalan yang bisa dilewati ya? Apa tertutup oleh pohon tumbang ya? Tapi ya dari awal sebenarnya aku sudah ragu-ragu kalau jalan ke Air Terjun Pendung itu harus memanjat tebing. Kok seperti menyusahkan pengunjung saja? Kalau aku nekat lanjut menyusuri jalan ini, bisa-bisa nanti orang rumah pada yasinan. #hehehe #pulanghanyanama

 


Bilik yang sepertinya digunakan oleh warga setempat.

 

Yo wis lah aku nyerah. Jalan ke Air Terjun Pendung kayaknya nggak lewat sini. Tapi walau bagaimanapun, aku merasa wilayah ini juga dijamah oleh manusia. Meskipun ya hanya orang-orang tertentu. Terutama yang lihai dalam memanjat tebing. #hehehe

 

Nyasar Nyeberang Sungai

Alhamdulillah, bisa turun tebing dengan selamat dan sampai lagi di cabang jalan buntu. Nggak usah aku ceritakan lah gimana perjuangannya. Pokoknya sangat menguji nyali dan kalau disuruh lewat situ lagi, aku OGAH! #depresi

 

Pilihan yang tersisa berarti tinggal satu, yaitu cabang jalan yang nyebrang sungai. Habisnya mau pilih jalan yang mana lagi? Masak jalan ke hati kamu? #pret

 


Sungai ketiga. Istirahat sebentar sambil nyelow speed.

 

Pas habis nyebrang sungai (untuk yang ketiga kalinya) aku melihat ada titik terang! Ada sampah plastik!

 

Sampah di hutan itu ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi aku benci hutan kotor sama sampah. Tapi di sisi lain, eksistensi sampah bisa dijadikan indikator wilayah yang sering dijamah manusia. Duh, dilematis sekali wahai kau sampah.

 


Jejak peradaban manusia di dalam hutan.

 

Dari sini medannya nggak separah medan panjat tebing barusan. Tapi ya tetap tergolong parah juga karena mesti menerabas semak belukar lebat yang merintangi jalan setapak sempit. Mana semak-semaknya berduri dan bikin gatal pula. Duh! Kapan selesainya ini penderitaan? #sedih

 


Berjuang menerabas semak-semak.

 

Akhirnya, sampai juga di tempat yang bebas dari semak belukar. Fiuh! Tapi habis itu aku bingung (pokoknya dari tadi bingung terus), karena di sekitar sana aku nggak melihat adanya sampah plastik. Bisa jadi, aku ada di tempat yang jarang dijamah manusia. Lha, terus aku ke air terjunnya lewat mana ini!?

 

Samar-samar aku perhatikan, ada jalan setapak yang mengarah ke pinggir sungai. Karena nggak punya pilihan lain, jadilah aku mencoba mengikuti jalan setapak hingga sampai kei pinggir sungai.

 


Sungai yang dangkal. Apa masih harus menyusuri sungai lagi?

 

Di pinggir sungai yang dangkal itu aku celingak-celinguk mengamati suasana sekitar. Kok masih nggak ada tanda-tanda keberadaan air terjun ya? Aku juga nggak mendengar suara gemuruh khas air terjun. Aku yakin sudah jalan kaki lebih dari 2 km (yang manjat tebing nggak dihitung #hehehe). Apa jarak 2 km yang tertera di papan petunjuk itu salah ya? Atau mungkin ada cabang jalan yang terlewat? Apa aku mesti menyusuri sungai ini terus sampai ujung?

 

Duh, aku bener-bener bingung ... 

 

Haruskah Nyerah saat Bingung?

Jadi ingat pesannya Ibu, "Kalau bingung, salat saja Le". Tapi saat itu aku sama sekali nggak mood untuk salat di tengah hutan dalam kondisi seperti itu.

 

Terus terang di sini aku mulai putus asa. Apa mungkin belum rejekinya aku bisa bertemu air terjun? Tapi masak gagal sih? Sudah jauh-jauh dari Jawa ke Jambi tapi nggak ketemu air terjun? Antara jengkel, bingung, kecewa, semua campur aduk jadi satu.

 

Ya Allah, enaknya gimana ya ini...

 


Sulit sekali untuk bisa menemukanmu...

 

Ya sudah. Aku ikhlas. Aku memutuskan balik ke kota Sungai Penuh buat menuju ke air terjun "cadangan".

 

Di sepanjang perjalanan balik itu aku sering mendekat ke pinggir sungai. Sekadar mendokumentasikan suasana sekaligus mengamati siapa tahu air terjunnya itu ngumpet dan aku kelewatan. Tapi ya sama saja. Aku sama sekali nggak nemu tanda-tanda keberadaan Air Terjun Pendung.

 

Hmmm, akhir dari blusukan itu kadang ya susah ditebak toh? #sedih

NIMBRUNG DI SINI