Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Salah satu hal yang bikin aku seneng ngurusin blog Maw Mblusuk? ini adalah pas membaca komentar-komentar dari para Pembaca sekalian yang aku sayangi #hoeks. Terutama pas ada pembaca yang cerita kalau mereka berusaha menapak tilas perjalananku, tapi eh malah akhirnya nyasar! Hahaha. #senyum.lebar
Meskipun ujung-ujungnya nyasar, kan bisa jadi di sana malah ketemu “sesuatu” yang menarik. Ya nggak? Misalnya saja seperti yang dialami sama mbak Patriza Gavynda. Dia niat awalnya mau ke Curug Kembar Wukirharjo tapi malah nyasar dan menemukan tempat tersembunyi yang nggak kalah menarik.
Penasaran? Silakan baca laporannya di bawah ini.
http://hobbyjalanjalan.blogspot.com/2014/12/niatnya-mau-ke-curug-kembar-wukirharjo.html
Didorong rasa penasaran sama laporan di atas, aku, Paklik Turtlix, Pakdhe Timin, dan Saktya berencana menyelidiki penemuan tersebut di hari Sabtu pagi (3/1/2015). Tentu saja kami ke sananya bersepeda. Lha wong pas ke Curug Kembar Wukirharjo saja bersepeda kok. #hehehe
Setengah Tanjakan ke Curug Kembar Wukirharjo
Awalnya sih rencananya ngumpul jam 6 pagi. Tapi malah molor, sebab hujan deras yang turun selepas subuh baru reda menjelang jam 7. Imbasnya, titik kumpul pun berubah. Aku dan Paklik Turtlix bersepeda bareng dari Stasiun Tugu. Di perempatan Blok O, Saktya datang nimbrung. Disusul sama Pakdhe Timin di pertigaan Berbah.
Rute kami selanjutnya adalah menuju Curug Kembar Wukirharjo. Dari Berbah kami bersepeda menuju Candi Abang dan kemudian menuju Desa Nglepen yang tersohor dengan “Rumah Dome Teletubbies”-nya itu. Menjelang jam 9 pagi, tanjakan beringas nan ganas menyambut hangat kami saat memasuki wilayah Desa Wukirharjo. Paklik Turtlix dan Saktya sudah bablas di depan. Sedangkan Pakdhe Timin nuntun di belakang sambil termelet-melet seperti biasa. #hehehe
Balik lagi ke tanjakan beringas yang menguras emosi. Sebelum Paklik Turtlix dan Saktya kebablasan nanjak sampai puncak, aku teriak,
“Nanjaknya berhenti pas di belokan!”
“Hah? Aku pikir di atasnya curug kembar yang dulu itu?” Paklik Turtlix berhenti bersepeda.
“Nggak. Kalau dari foto di blog-nya itu patokannya ada patok putih terus nanti masuk hutan.”
Lewat smartphone-nya, Paklik Turtlix pun lantas mencocokkan foto di blog-nya Mbak Patriza dengan kondisi di belokan. Termasuk patok putihnya itu.
“Bener! Patok putih ini yang ada di foto Wis.”, Paklik Turtlix yakin.
“Eh, tapi mungkin saja di sepanjang jalan ini ada banyak patok putih kayak gini Paklik?”, aku mulai ragu.
“Nggak, patoknya itu bener yang ini. Lha itu sama-sama ada tulisan ILHAM?”
Sebenernya sih aku sih nggak seneng sama aksi vandalisme kayak gini. Bikin kotor saja! Kayak benda ini punyamu sendiri. Huh! Eh, tapi ya harus diakui. Berkat si Ilham ini kami jadi nggak nyasar #hehehe.
Suara Sungai dari Arah Bawah
Setelah istirahat sebentar, kami melanjutkan petualangan masuk hutan. Eh, ndilalah jalannya bercabang dua! Yang satu naik dan yang satunya lagi turun. Di dalam hutan juga nggak ada orang yang bisa ditanyain. Jadinya, kami bingung deh.
“Ini jalannya yang mana Wis?”, tanya Paklik Turtlix.
“Wah, aku nggak tahu Paklik. Di blog-nya nggak ada cerita yang kayak gini.”
“Dicoba jalan yang ke bawah dulu deh. Itu udah kedengeran ada suara sungai.”, ajaknya.
Kami pun menyusuri cabang jalan ke arah bawah dengan harapan bisa semakin dekat ke gemuruh suara sungai. Lama-kelamaan kondisi medan semakin penuh sama semak yang menyulitkan lewatnya sepeda. Eh, mentok-mentoknya ketemu jurang. Ya sudah. Mau nggak mau sepedanya diparkir dan dilanjut jalan kaki deh.
Setelah bersusah-payah melewati jalan berlumpur dan menyibak semak, akhirnya sampai juga di tepi sungai. Tapi, kok sungainya nggak mirip sama yang ada di fotonya Mbak Patriza ya?
Kami berhenti buat berunding. Apa ini nyasar ya? Atau masih harus menerabas hutan lagi? Hmmm...
Yang jelas di sana nyamuknya banyak banget! Pada haus darah semua lagi! Duh, semoga saja bukan nyamuk demam berdarah. Kalau begini situasinya, keputusan harus cepat diambil.
“Ini kayaknya kita salah jalan deh. Mestinya ngambil cabang jalan yang ke atas.”
“Waduh ini nyasar dong berarti?”
“Lha ya namanya blog-mu saja mblusuk.com. Kalau blusukan ya pasti ada nyasarnya. Kalau nggak ada nyasarnya ya blog-mu ganti nama saja jadi jalanlurus.com, hahaha.”, canda Paklik Turtlix
Tragedi di Dalam Hutan
Singkat cerita kami pun balik lagi ke tempat sepeda diparkir. Pas mau ngambil sepeda, Paklik Turtlix menyadari ada sesuatu yang janggal.
“Kok toolkit-ku nggak ada ya? Apa jatuh ya?”
“Nggak ditaruh di tas ransel Paklik?”
“Nggak. Toolkit-nya aku taruh di tas kecil di sepeda bareng sama ban dalam. Ini tasnya kok terbuka ya?”
“Heh? Masak?”
Aku pun nyari-nyari di semak-semak di sekitar tempat sepeda Paklik terparkir. Nggak nemu ada toolkit yang jatuh. Kok aneh ya... apa jangan-jangan...
“Sak, pannier-mu kondisinya gimana? Toolkit-mu ada nggak?”, tanyaku ke Saktya yang sepedanya dilengkapi dua pannier.
“Aman. Toolkit-ku kan aku bungkus pakai kaos kaki.”, ujar Saktya sambil memamerkan toolkit-nya yang masih terbungkus kaos kaki.
Tapi sejenak Saktya terdiam dan mengamati pannier belakangnya yang sedari tadi tertutup cover bag.
“Kok posisi cover bag-nya berubah ya? Merknya jadi menghadap ke bawah? Padahal tadi aku pasang merknya menghadap ke atas?”
Nah lho! Ternyata memarkir sepeda di tengah hutan pun nggak aman. Yah... mungkin ada yang mencari “rejeki” di awal tahun. Who knows?
Alhamdulillah waktu itu semua sepeda digembok. Kalau nggak, mungkin saja ada sepeda yang lenyap...
Ganti Cabang Jalan ke Atas
Kami pun balik ke percabangan jalan dan mengambil jalan yang ke atas. Setelah diterawang, cabang jalan ke atas itu juga nggak terlalu ramah untuk dilalui sepeda. Yah, terpaksa deh sepeda kami parkir lagi di dekat sana. Semoga saja kali ini nggak ada yang “usil”.
Cabang jalan ke atas ini beda wujudnya dengan cabang jalan di bawah tadi, yaitu berwujud jalan konblok yang tertutup rumput liar. Dugaan kami, jalan ini bakal mengarah ke semacam petilasan atau makam, sebab kami lihat ada bangunan kecil di ujung jalan. Ternyata, bangunan kecil itu semacam rumah penampungan air, donasi dari Rotary International.
Dari rumah penampungan air itu kami lihat ada pipa air yang ujungnya entah ada di mana. Kami pun berinisiatif menembus hutan mencari ujung dari pipa air itu. Siapa tahu nanti ujungnya sungai yang dicari-cari, hehehe.
“Ini dia!” seru Paklik Turtlix.
“Ini dia apaan Paklik?”
“Ini pemandangan yang ada di foto blog-nya itu kan Pakdhe?”
“Ho oh betul. Ini persis sama di foto blog-nya itu.”, balas Pakdhe Timin yang sedari tadi asyik merekam video.
Kami jadi semangat pas tahu sudah berada di jalan yang pernah dilalui sama Mbak Patriza. Hanya saja, jalan tanahnya kondisinya berlumpur dan licin karena beberapa jam yang lalu kan baru diguyur hujan. Kaki sudah pasti belepotan lumpur. Ada baiknya lewat sini beralaskan sepatu atau malah nyeker saja sekalian, hahaha.
Betul juga, beberapa menit kemudian kami sampai di sebuah sungai yang kami yakini sebagai penemuan pertamanya Mbak Patriza. Kalau sudah di sini, lokasi penemuan kedua seharusnya sih sudah dekat. Kami nggak tahu jalan mana yang ditempuh sama Mbak Patriza selepas ini, sebab jalan setapaknya susah untuk ditebak. Ya, pokoknya dicoba naik ke bukit di atas sungai dulu lah.
Dua Penemuan Menarik Dari Dekat
Begitu sampai di bagian atas sungai, kami disambut sama perbukitan batu yang luaaas banget! Bukit batu ini bisa didaki lho. Struktur batuannya mirip sama yang ada di Nglanggeran. Yang bikin unik, di antara celah-celah batu ada sawahnya. Warga sekitar sepertinya sudah menjamah lokasi ini sebagai tempat bercocok-tanam.
Objek kedua yang nggak kalah menarik adalah air terjun kecil yang lumayan fotogenik. Alhamdulillah kondisi di sekitarnya masih bersih. Mungkin karena belum terjamah sama manusia-manusia 4l4y yang senangnya bikin kotor. Eh iya, kami ini bukan termasuk golongan 4l4y lho! Hanya sekumpulan manusia yang kebablasan seneng bersepeda sampai mana-mana...
Pas mau pulang kami dikagetkan sama kedatangan truk yang mengangkut batu-batu gamping. Woh! Ternyata akses ke sini bisa dilalui sama truk juga toh? Tapi nggak tahu deh cabang jalan raya mana yang mengarah ke sini. Jalan hutan yang kami lalui barusan itu sebenernya jalan pintas. Kalau dipikir-pikir, ampuh juga ya Mbak Patriza sudi menerabas hutan untuk sampai ke sini. Ini kan medan yang rawan bikin cewek jadi kucel, hahaha. #senyum.lebar
Akhir kata, aku mengucapkan terima kasih buat Mbak Patriza karena sudah bikin kami tambah akrab sama Prambanan yang ternyata nggak hanya dihuni oleh candi-candi eksotis saja. Ah, Jogja sepertinya nggak pernah kekurangan tempat-tempat menarik ya?
Gimana? Apa Pembaca punya laporan menarik lagi? #senyum.lebar
aku jadi makin nge-fans sama mas wijna ya. Aksi
nyepeda mblusuknya bikin ngiri.
informasi :D Senang berkunjung.
trabasan :D :D :D
menysuri sungai manjatin batu trus kukur2 gathel. Mblusukkk!
Mawi..seruuu...pa lagi klo udah nemu curugnya....
Kapan2 aku mo napak tilas juga ah :)
ini medannya penuh lumpur yak.. hahahaha, aku mnding kakiku rada basah kena air, drpd kena lumpur kalo oleh milih p suka bayangin lintah kalo kena lumpur gt p
Untung pas waktu itu nggak ada lintahnya mbak. Yang ada cuma nyamuk banyak banget. Lebih khawatir pulang dari sana nanti kena demam berdarah, hahaha :D
dong mas, tempat kknku dulu itu. deketnya goa kiskendo.. apik tempatnyaaa
mas haha ternyata smeakin banyak saja korban dari mas wijna hehe pizz...
eh berarti ada jalan lain yg tdk mblusuk hutan ya...
di hutan juga ada maling ya ... makanya kata orang tua juga .. hati2 dijalan dan di ..
hutan .. he he ...
batu besar itu . unik dan keren ya ... pengen blusukan kesini juga ,,,