HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Jelajah Kuliner Malam di Padang

Jumat, 8 Mei 2015, 10:00 WIB

Baru kepikiran ini. Walaupun perginya naik pesawat, ternyata perjalanan Jogja ke Padang itu lama juga ya?

 

Kalau dihitung-hitung, lamanya perjalanan ada lah sekitar 8 jam lebih. Selama itu pula, aku dan mas ArtHarry belum sempat makan besar. Jadinya, sepulang dari nonton sunset di Pantai Padang kami berdua pun sangat tergugah untuk nyari makan, hahaha. #senyum.lebar

 

Dengan demikian, dimulailah cerita petualangan kuliner malam hari di kota Padang!

 

Rendang di Lamun Ombak

Berbekal 4 lembar uang bergambar Pangeran Antasari, di hari Kamis malam (11/12/2014) itu kami memberanikan diri nyegat angkot putih, di pinggir jalan raya di dekat Pantai Padang. Asyiknya Padang, sampai malam pun angkot-angkot masih berkeliaran. Mau ke mana-mana jadinya enak deh! #senyum.lebar

 

Tapi terus terang, baru sekali ini aku naik angkot TEGANG BANGET! Bukan hanya karena teknik menyetirnya si Uda supir mirip pembalap Formula 1. Bukan pula karena alunan musik angkot yang mirip diskotek. Tapi karena petuah dari Icha beberapa waktu yang lalu itu bikin aku siaga satu.  

 

“Kalau naik angkot selalu bayar pakai uang pas Bang! Biar nggak dimahalin!”

 

Aku sih percaya sama Icha bahwasanya angkot putih ini bakal membawa kami berdua (yang semakin kelaparan) menuju ke tempat makan populer se-kota Padang dalam hitungan menit. Semoga nggak pakai acara nyasar. #hehehe

 

Singkat cerita, sekitar pukul setengah 7 malam, "ambulans" putih itu pun menurunkan kami dengan selamat di pinggir Jl. Kapten Sulaiman. Tepat di seberangnya tempat makan populer se-kota Padang yaitu ... eng ing eng ...

 

Rumah Makan Padang!

 

... what the ...

 


Ya rumah makan Padang lah! Masak iya rumah makan Sunda? #hehehe

 

Hooo! Jadi ini toh, tempat makan populer se-kota Padang yang namanya Lamun Ombak itu? Eh, apa artinya itu melamun sambil lihat ombak ya?

 

Hmmm... Apa pun itu, aku sudah mempersiapkan menu apa yang bakal aku pesan beserta cara memesannya seperti yang sore tadi dicontohkan Icha.

 

“Samba randang, Da!”

 


Sebagaimana tampilan rumah makan Padang pada umumnya.

 

Pesanan pun terhidang di meja makan. Nasi lauk rendang berkawan pelengkap yang cukup meriah. Komposisi semacam ini nggak pernah aku jumpai sebelumnya di rumah makan Padang di Jawa. Senang saja melihat piring penuh dengan lauk pauk beraneka bentuk. #senyum.lebar

 

Tunggu apa lagi? Mari disantap! #senyum.lebar

 


Hari pertama di Padang makannya nasi rendang! #senyum.lebar

 

Rendangnya berwarna hitam, bukan cokelat seperti umumnya di Jawa. Rasanya pedas, gurih, dan bikin nagih! Singkat kata, lamak bana! Nasi dengan lauk rendang + tambah nasi satu dihargai Rp17.000.

 

Sate Pariaman khas Dunia Laweh

Jum’at malam (12/12/2014), dengan kondisi fisik yang kian nge-drop karena flu, aku butuh kuliner spesial khas Padang yang sekiranya bisa bikin ingusku berhenti meler. Pinginnya sih yang pedes-pedes dan hangat-hangat gitu.

 

Oleh sebab itu, jalan kaki lah kami berdua dari penginapan ke arah Pasar Raya. Niat awalnya sih hanya nyari makan di sekitar pasar thok.

 

Kami lewat di depannya Restoran Kubang Hayuda. Aku berinisiatif ngajak mas ArtHarry mampir ke sana. Tapi dirinya bilang, martabak itu bukan kuliner khas Padang. Ya sudah. Jadilah kami masih lanjut jalan kaki ke arah timur. #sedih

 

Pas ngerti di Jl. M. Yamin ada warung sate, kesepakatan dua orang laki-laki pun terjalin. Masak jauh-jauh ke Padang tapi belum ngicipin sate Padang sih? Alhasil, pesanan pun dilayangkan ke Uda warung sate Dunia Laweh.

 

“Da, satenyo duo!”

 


Pas makan di sini, seperti ada pengunjung yang mabuk di meja kiri.

 

Dalam bayanganku, sate padang itu ya wujudnya seperti sate padang yang biasa aku santap, yaitu sate daging sapi dilengkapi ketupat dan disiram kuah kuning. Akan tetapi, kok yang terhidang di meja makan sedikit berbeda ya? Warna kuah sate padangnya bukan kuning tapi merah.

 

Nggg?

 


Sate Padang dengan kuah merah sesuai rasanya.

 

Selidik punya selidik, sate yang kami santap ini termasuk varian sate Padang yang asalnya dari daerah Pariaman. Ciri khasnya ya kuahnya yang berwarna merah ini.

 

Sudah bisa ditebak, rasanya memang pedas. Tapi pedasnya nggak menghujam lidah alias terakumulasi sedikit demi sedikit seiring dengan jumlah sate yang disantap. Ah, orang Padang memang senangnya itu “menyiksa” mulut pelan-pelan, hehehe #hehehe.

 

Seiring keringat mengucur, ingus pun berhenti meler #hehehe. Untuk bisa mengicip sensasi Sate Dunia Laweh khas Pariaman ini cukup dengan merogoh kocek Rp16.000.

 

Soto Padang Gaul di Tee Box

Sabtu malam (13/12/2014) adalah malam terakhir kami di Padang. Usai menukarkan uang dengan oleh-oleh di Toko Christine Hakim, perut yang kelaparan memaksa kami untuk kembali merapat ke rumah makan terdekat. Kali ini, nyasarnya di ujung Jl. Diponegoro, di sebuah tempat gaul anak muda bernama Tee Box.

 


Tempat terbaik untuk menukar uang menjadi oleh-oleh. #senyum.lebar

 

Sebagai penutup rangkaian kuliner malam di Padang, pesananku soto Padang seharga Rp20.000 per porsi. Lumayan mahal ya? Mungkin karena lokasinya jadi satu sama tempat nongkrong, hahaha. #senyum.lebar

 

Tapi memang rata-rata makanan di Padang itu lebih mahal daripada di Jawa. Lha, kalau di Jawa telur satu kilogram boleh Rp18.000, di Padang bisa jadi Rp20.000-an kok.

 


Nggak pedes sih tapi mujarab buat membekukan ingus.

 

Balik lagi ke soto Padang yang aku pesan barusan. Yang menarik dari penyajian soto ini adalah remah-remah dendeng sapi. Kuah soto yang segar dan hangat mujarab sebagai obat untuk meredakan ingus yang sedari tadi meler tanpa henti (jangan dibayangkan lho, #hehehe).

 

Sayangnya, minuman teh tarik pesananku membawa efek buruk buat perut. Manis banget sampai bikin aku mual. Pas sampai di hotel aku nyaris muntah.

 

Tobat...

 

Pelajaran Tiga Hari Makan di Padang

Nah, berikut ini beberapa pelajaran yang aku petik dari petualangan kuliner tiga malam di kota Padang.

 

  1. Harga makanan di Padang jauh lebih mahal dari di Jawa (apalagi di Jogja #hehehe)
  2. Di warung makan kaki lima atau warung tanpa ada daftar menu disertai harga, usahakan memesan pakai bahasa Minang untuk mendapatkan best-price.
  3. Kalau mau ngirit jangan pesan minum karena air putih umumnya disajikan gratis.
  4. Kalau pesan minuman manis, siap-siap saja kemanisan #hehehe

 

Eh, Pembaca pernah kulineran di kota Padang juga?

NIMBRUNG DI SINI