Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Dalam suatu perjalanan, ada kalanya sang pejalan butuh tempat untuk beristirahat. Kita tahu kalau perjalanan itu nggak selamanya mudah. Juga pantang hukumnya untuk berbalik mundur. Maka dari itu, satu-satunya jalan ya berhenti sejenak untuk istirahat, mengumpulkan tenaga untuk kembali melangkah maju. #sok.filsafat
Perjalanan bersepeda dari Kota Jogja menuju Cangkringan di hari Sabtu pagi (24/5/2014) itu pun melewati beberapa tempat peristirahatan. Warung Ijo Pakem yang kerap disesaki oleh para pesepeda di akhir pekan adalah titik peristirahatan pertama. Titik peristirahatan kedua adalah sebuah mata air yang konon berada tak jauh dari Kali Gendol.
Cangkringan beserta Kali Gendol ibarat dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk Pembaca yang belum tahu, Cangkringan itu nama suatu kecamatan di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta yang terletak persis di lereng Gunung Merapi. Kawasan wisata Kaliadem dan rumah almarhum Mbah Maridjan di Desa Kinahrejo terletak di kecamatan ini.
Sedangkan Kali Gendol adalah nama dari sebuah sungai yang melintasi wilayah Cangkringan. Kali Gendol bermuara berhulu di Merapi dan menjadi jalur lahar dingin bilamana ia kembali erupsi. Alhasil, yang kini bisa Pembaca saksikan di Kali Gendol hanyalah timbunan pasir yang tak pernah habis untuk ditambang.
Jarak dari Kota Jogja menuju Cangkringan kurang-lebih dari 25 km. Jarak 17 km yang pertama adalah menyusuri Jl. Kaliurang hingga pemberhentian pertama di Warung Ijo Pakem. Sisanya, dilanjut menyusuri Jl. Pakem – Cangkringan sampai ke Desa Wukirharjo. Medan jalannya sudah pasti tanjakan. Namun paduan semilir angin pegunungan dan hijaunya persawahan seakan mengaburkan beratnya beban di dengkul.
Hanya berdua dengan Paris, selepas melewati RM Moro Lejar, gapura arah Kaliadem, dan papan jalan menuju Goa Jepang dan Mata Air Bebeng, kami pun tiba di wilayah Dusun Geblok seperti yang bisa Pembaca lihat pada foto. Dari sini kami menyusuri jalan kecil perkampungan hingga tiba di Dusun Pandan.
Tak jauh dari prasasti selamat datang, ada sebuah pancuran yang letaknya cukup tersembunyi di bawah jembatan. Di sisi yang berlawanan, terdapat pula sendang yang kerap digunakan oleh ibu-ibu untuk mencuci dan mandi. Sayang nggak sempat aku foto karena kondisi di dalam sendang waktu itu tidak cukup representatif untuk dimasuki pria lajang. (if you know what I mean #hehehe)
Menurut penuturan warga setempat, di dekat wilayah Dusun Pandan ini terdapat satu sendang lagi. Namanya Sendang Srodokan, sesuai nama dusun di mana sendang ini berada. Ada sumber maya yang menyebut sendang ini sebagai Sendang Panguripan (sedang kehidupan). Ada juga menyebutnya Sendang Pandan, karena sendang ini terletak di pinggir jalan pemisah batas Dusun Pandan dan Dusun Srodokan.
Sepintas, penampilan sendang ini tak ubahnya genangan air di pinggir jalan yang muncul setelah hujan turun. Minim tanda keberadaan sendang. Tak ada papan petunjuk. Tak ada pagar pembatas. Tak ada pohon penanda. Pantas lah bilamana luput dari sapuan mata.
Seperti halnya sendang-sendang lain yang berlatar kisah mistis, keberadaan Sendang Srodokan ini terkait dengan kisah perjalanan Sunan Gunung Jati. Beliau kesulitan mendapati tempat beristirahat dan lantas menancapkan tongkatnya untuk menciptakan sendang ini sebagai tempat peristirahatannya.
Cerita lain menyebutkan, kemunculan ikan laut di sendang ini sempat membuat geger warga sekitar. Warga khawatir sendang ini berubah menjadi laut. Oleh karena itu mereka menyumbat mata air dengan peralatan dapur hingga ukuran sendang ini menyusut seperti sekarang.
Ah, wilayah di lereng Merapi sepertinya tak pernah kekurangan kisah-kisah sejarah beraroma mistis. Asal muasal Dusun Srodokan sendiri pun berangkat dari kisah yang tak kalah seru, mulai dari arena peperangan melawan Belanda (odok-odok) hingga arena favorit untuk adu domba (srudukan).
Oh iya, jangan lupakan juga kisah Kali Gendol yang kerap “menangis” di malam hari. Warga sekitar juga menambahi teori adanya kerajaan Hindu gaib yang berdiri di sekitar wilayah Pakem. Sebabnya di bawah tanah terpendam batu-batuan candi yang tertutup oleh lahar beku Merapi.
Walah, sepertinya ini aku bakal ngelantur kemana-mana kalau sudah berurusan dengan cerita mistis. Mungkin sudah saatnya cerita ini diakhiri dan kita kembali lagi ke Kota Jogja. Setelah lelah bersepeda mungkin bolehlah pulangnya menumpang si “Bokong Semok”? Ah, ini aku mulai ngelantur lagi. #hehehe
Pembaca pernah main air di sendang? Atau pembaca tahu sendang dengan kisah mistis? Ceritain dong! #senyum.lebar
barat arah jln magelang),
Ada sendang yg mistis juga mas. Ada 2
lele super besar warna hitam & putih.
Sendangnya bersebelahan lanang &
wadon.
Wukirsari
Cangkringan Sleman
beberapa waktu yang
lalu ditemukan
situs purbakala
semacam arca/patung
dan sudah diamankan
pihak berwenang,
mungkin bisa
ditelusuri lebih
lanjut.
Sendang Jalin di sebelah barat Pasar Balangan.
Arep di bijekke tho isine.... Hohohohohoooo...
Kalo kolor ijo itu mistis nya apa kak ????
Hahahaha... Menurutku kok kurnag menarik ya sendangnya. Biasa aja. Mungkin postingan ini harusnya membahas detail tentang mistisnya. Baru aku kasih jempol.
HAHAHAH
eh BTW yang namanya sungai itu bermuaranya ke pantai, ini kok bermuara di gunung merapi?