Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Pukul 12 siang di Kota Jogja umumnya berhawa panas dan sumuk. Lain ceritanya dengan di Desa Tulungrejo di Kota Batu, Jawa Timur. Pukul 12 siang di sana itu hawanya sejuk bikin ngantuk. Zzz... zzz...
Nah, daripada bablas ketiduran, pada Minggu siang (30/11/2014) itu aku berencana buat jalan-jalan siang mengenal Desa Tulungrejo. Hmmm, ada apa saja ya di sana?
Banyak Bunga, Banyak Buah
Desa Tulungrejo merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Letaknya yang berada di kaki Gunung Anjasmoro (2.277 meter dpl) membuat desa ini berhawa sejuk, baik siang maupun malam. Pantas saja kalau Wikipedia menyebutkan banyak warga di desa ini yang membudidayakan berbagai macam bunga.
Salah satu bunga yang umum dijumpai di sini adalah bunga hydrangea (Hydrangea sp.) yang punya nama lain bunga hortensia atau kembang tiga bulan. Ciri khas dari hydrangea adalah ukuran bunganya yang kecil, berkelompok, dan berwarna-warni. Kabarnya, warna dari hydrangea ini bisa berbeda-beda, tergantung kadar pH tanah tempat bunga ini tumbuh.
Hydrangea lumayan mudah dibudidayakan di wilayah berhawa sejuk. Makanya, kita jarang menemukan bunga ini tumbuh di wilayah panas macamnya kota Jogja. #sedih
Eh, sebetulnya bisa saja sih hydrangea dibudidayakan di wilayah panas. Tetapi ya harus dengan perlakuan spesial. Untuk lebih lengkapnya, Pembaca bisa menyimak eksperimennya mbak Agustya berikut ini.
Selain Hydrangea, ada warga yang membudidayakan tanaman murbei (Morus sp.). Umumnya, budidaya murbei itu untuk diambil daunnya sebagai makanan ulat sutera. Buahnya sendiri sih sebenarnya bisa dikonsumsi. Tapi entah kenapa kurang populer aja di Indonesia.
Karena hawa Desa Tulungrejo yang sejuk itulah berbagai macam tanaman bisa tumbuh subur di sini, termasuk juga tanaman buah. Sebut saja tanaman mangga (waktu itu pas musim mangga), alpukat, bahkan jeruk pun berbuah lebat di desa ini. Luar biasa ya karunia Gusti Allah SWT untuk desa ini? Mereka nggak perlu repot-repot beli buah. Cukup dipetik dari kebun.
Wisata Apel Murah Meriah
Nah, buah yang menjadi trademark dari Desa Tulungrejo (sekaligus Kota Batu) juga tumbuh subur di desa ini lho! Apalagi kalau bukan apel malang (Malus domestica) yang tersohor itu. Hampir di setiap pekarangan rumah tumbuh lebih dari satu pohon apel dan buahnya menjuntai-juntai keluar pagar rumah. Benar-benar merayu-rayu untuk dimaling dipetik! Aaargh!
Di Desa Tulungrejo juga ada kebun apel yang sejauh mata memandang... luaaas banget. Gilak! Isinya pohon apel semua dan berbuah semua lagi! Hohoho... makin besar lah rayuan untuk memetik buah berwarna hijau dan merah itu.
Kalau memang Pembaca sudah tidak tahan godaan, cobalah trik berikut. Beramah-tamahlah dengan pemetik apel. Biasanya sih diijinkan untuk bisa mencoba memetik (tapi apelnya jangan diminta!). Kalau mau ngicip apelnya minta saja yang ukurannya mungil-mungil (ini apel dijual Rp2.000 per kg). Biasanya sih kalau cuma 1 buah ya dikasih cuma-cuma. Jadi, nggak perlu mahal-mahal kan untuk beragrowisata di kebun apel? #hehehe
Oh iya, aku juga baru tahu kalau beberapa hari selepas pohon apel berbuah dan buahnya selesai dipetik itu daun-daunnya harus dirontokkan. Alhasil, pohon apelnya jadi kelihatan gundul gitu kayak lagi kekeringan. Ini dilakukan untuk mensimulasi kondisi musim gugur. Soalnya apel kan buah dari negeri empat musim.
Jejak Sejarah Diam Membisu
Pas sedang asyik-asyiknya menikmati suasana Desa Tulungrejo, aku mendadak “nyium” bau yang tidak asing. Semacam aroma mistis yang susah dijelaskan dengan kata-kata, hahaha. #senyum.lebar
Benar saja, ternyata ada benda purbakala di sini. Namanya Punden Watu Gambang. Yuk kita dekati Pembaca!
Begitu mendekat aku malah bingung. Ini aroma mistis yang tadi aku cium asalnya dari mana sih? Kok nggak ada benda-benda “menarik” yang memancarkan aura magis? #halah
Ada satu yang aku duga kuat yaitu seonggok batu yang dipagari. Di dekat batu ini ada arca yang kayaknya bukan termasuk benda purbakala.
Menilik dari sumber di jagat maya, Punden Watu Gambang ini semacam tempat berkumpulnya orang-orang pada zaman dahulu kala. Karena waktu itu saat berkumpul sering dimainkan alat musik Gambang, makanya disebut Watu Gambang. Begitu ternyata. Soalnya warga sekitar yang aku interogasi tidak bisa menceritakan detil tentang tempat bersejarah ini. Sayang ya...
Merajut Harmoni Kedamaian
Oh iya, pas aku ke sana itu sebagian besar jalan desa sedang ada proyek perbaikan jalan desa. Jadi, untuk dilalui kendaraan roda empat ya lumayan sulit. Semoga saja setelah proyek ini rampung dan jalan desa jadi mulus, banyak orang yang singgah berwisata di sini. Aku sendiri lebih bisa menikmati suasana desa dengan berjalan kaki. Kan bisa sekalian bertegur sapa dengan gadis warga desa yang kebetulan lewat, hahaha. #senyum.lebar
Entah kenapa aku memang lebih menikmati suasana di desa daripada di kota besar. Mungkin karena di tempat-tempat semacam ini ada harmoni kuat yang tidak aku rasakan di kota besar. Mungkin itu juga sebabnya kenapa aku yang ber-KTP DKI Jakarta ini tidak begitu betah tinggal di kota metropolitan itu. Mungkin memang sebenarnya aku ini ndeso... hahaha. #senyum.lebar
Sebelum Pulang
Demikianlah jalan-jalan di siang hari itu di Desa Tulungrejo. Jalan desa yang sedari tadi aku tapak bermuara di jalan raya di mana angkot-angkot oranye hilir mudik di sana-sini. Jarum jam menunjukkan pukul satu siang. Saatnya balik ke Kota Malang untuk kemudian ke Yogyakarta naik kereta api.
Oh iya, jangan lupa beli apel malang yang banyak dijajakan di sepanjang jalan. Percaya deh, harganya lebih murah daripada harga di supermarket Kota Jogja. Harga 1 kg sekitar Rp9.000 sampai dengan Rp12.000 tergantung ukuran dan kualitas apel. Tawar saja biar lebih murah. Ingat, apel yang merah itu rasanya asam sedangkan yang hijau itu manis.
Pembaca, pingin juga kah jalan-jalan di Desa Tulungrejo? Cobain deh kalau pas mampir di Kota Batu. Naik angkot oranye bisa sampai kok. OK?
😧😥😟
Tak kirain ada wisata petik buah murbei gitu. Susah
nyarinya padahal mau buat skripsi 😢😢
budidaya enggak ? Aku tadi muter muter batu tapi
gak nemu yang nanem murbey 😢😢
Itu pas kapan ya kemalangnya .. terimakasih
Btw, kenapa itu juragan Nganjuk disebut? HAHAHA.. aku koyok dodolan kembang wae loooh..
Kuwi apele colongable deh.. Awakmu wis nyolong pirang apel? eh
SUMBER BRANTAS dekat Jurang Kwali
justru apel yang manis warnanya hijau ya di sana :D
Masalah utamanya sama sih, jalannya jelek.
jadi kangen Malang ih :(
enggak malu minta sama pemiliknya. Buah kenangan masa kecil soalnya )
ditanam, bisa metik gratis sepuasnya, andai di Jogja bisa nemu hal yang serupa :3
tips metik apelnya boleh juga dah di coba hehe....