HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Ekspedisi Nyari Mata Air Bebeng

Minggu, 4 Januari 2015, 07:00 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Awalnya, aku pikir acara pada hari Sabtu pagi (25/10/2014) ini hanya sekadar “sesi latihan bersepeda biasa” berdua sama Mbah Gundul. Eh, ndilalah si Mbah malah ngajak-ajak yang lain. #hehehe

 

Ya sudah deh. Jadilah sepedaan kali ini mirip sama rombongannya orang "piknik". Maksudnya itu Piknik Edan Kelakuannya Orang Kurang-Kerjaan, yang kalau disingkat jadinya PEKOK2. #eh

 

Tujuan bersepeda kali ini adalah mencari Mata Air Bebeng yang konon berlokasi di Dusun Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Mata air ini adalah sumber air bersih bagi warga yang tinggal di lereng Gunung Merapi. Sayang, bencana erupsi di tahun 2010 silam membuat keberadaannya “lenyap”. #sedih

 

Maka dari itu, ayo kita cari Mata Air Bebeng! #senyum.lebar

 

Berangkat Berdelapan dari Jogja

Pukul 06.30 WIB sampailah aku di titik kumpul pertigaan flyover Janti. Selain Mbah Gundul, di sana sudah ngumpul Rizka, Jheje, dan Saktya yang notabene partner in love-nya Rizka #hehehe. Denmas Brindhil menyusul beberapa menit kemudian. Kami pun lantas bersepeda menyusuri Jl. Raya Jogja – Solo ke arah timur.

 


Whoolaa... party member-nya ada cewek...

 

Di dekat Bandara Adisucipto, bergabunglah Om RD yang akrab aku kenal sebagai Om Warm. Si Om ini blogger kawakan dari zaman Bioskop 21 belum masuk Jogja! Wuiiih... akhirnya nasib mempertemukan kami di dunia nyata sekaligus di atas sadel sepeda. Wekekeke. #senyum.lebar

 


Sepintas mirip kakak-adek nggak sih? #kelilipan

 

Rombongan pun genap berjumlah 8 orang dengan bergabungnya Pakdhe Timin di sekitar Kompleks AAU. Tanpa kelamaan njagong, kami pun lanjut bersepeda ke utara lewat Candi Sambisari sampai tembus di Kecamatan Ngemplak.

 

Di tengah-tengah perjalanan, kami sempat mampir di Embung Bimomartani yang sepertinya baru selesai dibangun. Kayaknya Jogja lagi seneng-senengnya bikin proyek embung deh. Pembaca sudah pernah ke embung-embung yang ada di Jogja belum ya? Tulis di kotak komentar dong! #maksa

 


Foto keluarga yang memakan korban sebuah... ah sudahlah... kalau diingat jadi sedih...

 

Sekitar pukul 09.00 WIB kami sampai di Pasar Bronggang yang terletak di Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan. Kalau sudah sampai sini artinya setengah perjalanan sudah terlewati. Supaya para ladies punya tambahan stamina untuk menghadapi medan yang “sesungguhnya”, kami sarapan soto dulu.

 

Pergi ke Gunung Serasa Pergi ke Gurun

Setelah perut terisi, perjalanan pun berlanjut dengan menyebrang dam Kali Gendol. Dari sini kami mengambil cabang jalan ke arah utara yang mentok-mentoknya adalah lokasi Mata Air Bebeng. Padahal, di arah utara itu kan berdiri gagah Gunung Merapi. Pembaca tentu sudah bisa menebak kalau wujud medan ke sana itu adalah...

 

GURUN PASIR!

 


Mau bersepeda di gurun sambil dikejar truk pasir? Di sini tempatnya...

 

Lha kok pasir? Lha emang jalannya nggak nanjak?

 

Jalannya ya nanjak sih. Tapi tanjakannya masih lebih mending dibanding lautan pasirnya! Ini jalan desa jadi mirip Gurun Sahara gini karena terlalu sering dilewatin sama truk-truk pasir! Suasana begini bikin aku terkenang masa-masa pas Jogja dapat kiriman debu dari Gunung Merapi dan Gunung Kelud. Klik aja tautan di bawah ini kalau Pembaca mau tau rasanya hidup di gurun pasir. #hehehe

 

 

Gara-gara semakin lama debu pasirnya semakin nggak bisa ditolerir, kawan-kawan pun mencari celah di antara celah guna menyiasati jalan penderitaan ini. Ide “cerdas” pun bermunculan seperti misalnya bersepeda lewat got! Kapan lagi coba bisa bersepeda lewat got? Pembaca pasti juga belum pernah kan? #hehehe

 


Mumpung baru saja dibikin dan masih bersih, mari diperawani! XD #bahasa.mesum

 

Setelah melibas jalan laknat sejauh 3 km, muncul kabar gembira. Ternyata ada jalan alternatif yang mana lebih manusiawi dan pastinya bebas pasir. Kami pun ganti haluan lewat jalan itu dan berpapasan dengan sebuah sumur desa. Kalau lewat tempat-tempat "mistik" kayak gini, pasti Mbah Gundul ngajak buat menepi.

 

Sumur ini dinamai belik (mata air) Jetis Sumur oleh warga setempat. Dulu kala, genangan mata airnya lumayan luas. Di tahun 2006 diperkokoh dengan cara dibentuk sumur. Kalau melihat antrian jerigen yang ada di sana, sepertinya sumur ini menjadi tumpuan sumber air bersih warga setempat.

 


Di lereng gunung kok antri air? Bukannya semestinya banyak sumber air ya?

 

Cukup lama kami antri giliran bersama warga untuk menimba air sumur. Tapi dipikir-pikir kok lama banget ya buat ngisi penuh satu jerigen? Eh ternyata, volume air dalam sekali timba itu sedikit banget Pembaca! Nggak ada 1/4 ember! Dusun ini kayaknya juga terkena bencana kekeringan deh. Semestinya dusun Jetis Sumur ini layak dapat dropping air bersih.

 


Ini nggak lebay lho! Sekali timba memang airnya sedikit banget!

 

Sedikit Lagi Sampai

Perjalanan berlanjut dari dusun Jetis Sumur menuju Jl. Raya Kemalang, batas pemisah provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tanjakan panjang masih menanti untuk ditaklukkan. Sejauh ini sih tanjakannya masih bisa dinalar dengkul. Apalagi semilirnya angin yang berpadu dengan hawa sejuk pegunungan membuat perjalanan ini nggak begitu berat... buatku #hehehe. Nggak tau deh dengan para kawan yang lain, hehehe. #hehehe

 


Berhenti dulu di warung buat ngisi perbekalan sekaligus narik napas.

 

Pukul 12.30 WIB aku sampai di Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Aku cuma sendirian, sedangkan kawan-kawan lain masih di belakang. Nggak beberapa lama, muncullah Om Warm. Aku pun lanjut bersepeda berdua bareng Om Warm menuju Mata Air Bebeng. Kata warga sih jaraknya tinggal 3 km lagi.

 

Yosh! Semangat! Semangaaat! #senyum.lebar

 


Tak disangka si Om Warm kuat juga ya...

 

Dari Jawa Tengah kami pindah provinsi lagi ke DI Yogyakarta. Tepatnya ke Dusun Kalitengah Kidul, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan. Nah, dusun ini nih yang dihuni sama tanjakan-tanjakan curam bin terjal. Demi menghemat stamina, aku sering nuntun sepeda #hehehe. Kalau Om Warm sih sudah melesat jauh di depan karena nggak nuntun. Tua-tua keladi juga dia...

 


Desa sunyi di mana banyak tanjakan terjal menanti...

 

Akhirnya, sampailah aku di ujung tanjakan, yaitu parkiran Bukit Glagahsari. Alhamdulillah! Inilah bukit yang punya julukan lain Klangon yang lumayan populer bagi pehobi sepeda downhill.

 


Parkiran bukit Glagahsari. Itu ada gardu pandang untuk mengamati Gunung Merapi.

 

Kami berdua mampir di sebuah warung sederhana buat istirahat sambil menunggu kawan-kawan lain datang. Berhubung tenaga sudah kelap-kelip merah, alhasil sepiring mie rebus (Rp4.000), segelas teh gula batu (Rp3.000), satu pisang (Rp4.000), dan empat gorengan (Rp2.000) aku gadang masuk perut. Ah, betul-betul surga di pelosok Jogja!

 


Bagaikan surga di ujung gunung.

 

Sekitar pukul 14.15 WIB, satu per satu kawan-kawan mulai berdatangan. Kami masih leyeh-leyeh sampai pukul 15.00 WIB sebelum melanjutkan perjalanan ke Mata Air Bebeng. Kalau katanya ibu pemilik warung, mata airnya itu ada di dasar jurang. Ke sananya itu jalan kaki masuk hutan.

 

Hmmm... oke deh Bu!

 

Menyibak Misteri di Dasar Jurang Merapi

Di dalam hutan kami berpisah jadi dua kelompok. Pakdhe Timin dan Denmas Brindhil mencari bak penampungan air, sementara aku dan yang lain menuruni jurang mencari mata air. Di dalam hutan ini sama sekali nggak ada petunjuk ke arah mata air lho Pembaca. Yang ada hanya jejak jalan setapak yang  mengarah ke dasar jurang.

 


Kalau habis bersepeda nanjak, kurang lengkap rasanya kalau nggak masuk hutan.

 

Sampai di dasar jurang, kami berpencar untuk menemukan tanda-tanda keberadaan mata air. Aku bareng Saktya blusukan ke segala penjuru. Aku nemu sisa-sisa kembang mawar sesajen #mistis. Sementara Saktya nemu curug yang airnya kering. Tapi kami nggak nemu air mengalir. Paling banter ya cuma suara gemuruh air yang asalnya dari pipa mirip saluran udara septitank.

 


Di tempat kayak gini ada septitank? Ada tempat ngendog dong? #eh

 

Di mana sih Mata Air Bebeng itu? Kabarnya kan sedang digali untuk diperdalam? Jejak alat berat sih kelihatan. Tapi mata airnya itu ada di mana?

 

Setelah mencermati keadaan sekeliling, kami lihat ada benda yang terkamuflase oleh warna pasir, yaitu sebuah lubang dengan tiang besi melintang di atasnya.

 


Benda mencurigakan yang dikelilingi oleh orang-orang yang mencurigakan...

 

“Mata airnya ada di bawah situ! Itu tutupnya bisa diangkat!” kata Mbah Gundul mendekat.

“Nggak kuat Om kalau cuma diangkat dua orang!” balas Saktya yang sudah mencoba mengangkatnya bareng aku.

“Diangkat empat orang bisa itu. Dhe! Turun Dhe! Bantuin ngangkat!” sahut Mbah Gundul ke Padkhe Timin yang baru saja sampai di dasar jurang

 

Satu, dua, tiga. HUP!

 

Tutup pun terangkat oleh kami berempat. Kami melongok ke dalam celah lubang dan ternyata... ada mata air di dalamnya! Waow! Ini toh Mata Air Bebeng itu?

 


Kok jadinya malah mirip sumur? Untung nggak nongol dhemit dari dalam...

 

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, gimana cara kami ngambil airnya ya? Sumurnya ini kan lumayan dalam.

 

“Siapa yang bawa botol plastik?” tanya Mbah Gundul.

“Aku bawa Om! Tapi masih ada isinya dihabiskan dulu,” jawab Om Warm yang turut mendekat ke sumur bersama Denmas Brindhil.

 


Misi belum sukses kalau belum bisa ngambil airnya!

 

Berbekal botol plastik, tali rafia, dan batu, Mbah Gundul pun membuat prakarya sederhana yang jelas tidak diajarkan di jenjang kuliah. Bener-bener cerdas idenya simbah. Mirip Mc Gyver lah.

 

Setelah mencoba-coba beberapa kali, akhirnya dapat juga itu air dari Mata Air Bebeng. Horeee! #senyum.lebar

 


Acquired Rare Item: Bebeng Spring Water.
Mission Accomplished!

 

Sebagai penutup perjalanan panjang yang melalahkan ini, kami pun tidak lupa melakukan ritual rutin, yakni foto bareng di TKP dengan delapan anggota keluarga. Betul-betul dibutuhkan teamwork untuk bisa mengambil air dari mata air Bebeng ini. Terima kasih atas jernih payahnya kawan-kawan! Love u all banget lah! #senyum.lebar

 


Anak-anak muda dan orang-orang tua (berjiwa muda) yang menempuh perjalanan panjang ke Bebeng naik sepeda.

 

Pukul 17.00 WIB kami baru meninggalkan lapangan parkir Bukit Glagaharjo. Sampai di rumah lagi pukul 19.30 WIB. Benar-benar petualangan PEKOK karena estimasiku sampai di lokasi itu sekitar pukul 12.00 WIB. Eh malah jadinya lebih dari 12 jam bersepeda.

 

Hadeeh! Sungguh patut untuk tidak ditiru. XD

 


Statistik perjalanan yang direkam Endomondo-nya Rizka.

 

Ke depannya, semoga saja tidak terjadi bencana erupsi Merapi lagi. Kasihan kalau mata air ini kembali hilang, nanti warga jadi sulit dapat air bersih. Eh, apa ada mata air di dekat tempat tinggal Pembaca yang seperti Mata Air Bebeng ini ya?

NIMBRUNG DI SINI