HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Dieng Culture Festival 2014:
Ritual Ruwatan si Anak Gembel

Kamis, 27 November 2014, 13:00 WIB

Inti dari hajat Dieng Culture Festival itu sendiri sebenarnya adalah prosesi ruwatan anak gembel. Mungkin ada Pembaca yang bertanya-tanya, apa sih sebenarnya ruwatan anak gembel itu? Nah, sebelum aku cerita lebih jauh, alangkah baiknya kalau kita bedah dulu apa yang disebut dengan ruwatan anak gembel.

 


Anak gembel (anak bajang) yang menanti untuk diruwat.

 

Ritual Menghilangkan Rambut Gembel

Ruwatan itu adalah ritual dalam adat Jawa. Secara garis besar sih, ruwatan itu adalah prosesi penyucian diri seorang manusia agar kelak dirinya terbebas dari malapetaka. Yups! Ruwatan ini memang budaya yang sudah dipraktekkan dari zaman nenek-moyang. Contoh ruwatan yang umum dilakukan itu adalah ruwatan anak sukerta. Pembaca bisa klik tautan di bawah ini untuk cerita lebih jelasnya.

 

Walaupun mengusung kata “gembel”, anak gembel (ada juga yang menyebutnya anak bajang) itu sama sekali bukan anak gelandangan lho!

 

Dalam bahasa Jawa, gembel itu adalah kondisi rambut yang acak-acakan, nggak rapi, dan cenderung tergulung ikal. Jadi, anak-anak gembel itu disebut demikian karena rambutnya gembel. Uniknya nih, rambut gembelnya mereka itu muncul secara alamiah dengan proses yang... cukup mistis... hmmm...

 


Selain rambut gembelnya, anak-anak ini ya sama seperti anak-anak seusianya.

 

Fenomena anak gembel ini hanya menimpa anak-anak yang garis keturunannya berasal dari Dieng. Tapi... nggak semua anak dari Dieng berambut gembel lho! Mereka semua itu pas lahir ya dengan kondisi rambut normal. Tapi di kemudian hari, nasib bisa berkata lain, hehehe.

 

Bisa dibilang rambut gembel ini semacam “penyakit”. Sebab, beberapa hari sebelum rambut gembel tumbuh di kepala si anak, mereka bakal menderita sakit panas. Ini terjadi berkali-kali-kali saat rambut gembel yang lain akan tumbuh. Alhasil, anak gembel ini cenderung penyakitan. Nah lho! Bahaya kan?

 

Biar pun rambut gembel adalah malapetaka, tapi menyingkirkannya pun nggak bisa sembarangan lho. Kalau hanya dipotong biasa, rambut gembel ini akan kembali tumbuh dan tumbuhnya pun bisa lebih lebat. Wah, jebakan betmen dong. (omong-omong apa salahnya betmen ya?)

 


Perlu ada "upeti" supaya rambut gembelnya tidak tumbuh lagi.

 

Untuk memotong rambut gembel supaya nggak balik tumbuh lagi, perlu diselenggarakan prosesi ruwatan anak gembel. Berhubung ongkos menyelenggarakan ruwatan lumayan muuahaal, maka dari itu tiap tahun digelar ruwatan massal supaya ongkosnya lebih murah gitu. Nah, ruwatan massal anak gembel itu yang diusung sebagai inti dari Dieng Culture Festival 2014 ini.

 

Eits! Nggak semua anak gembel boleh ikut ruwatan ini lho! Ada syaratnya. Pertama, si anak gembel harus dengan kehendaknya sendiri meminta untuk dipotongkan rambutnya. Kedua, orangtuanya harus meloloskan permintaan si anak sebelum rambutnya dipotong. Permintaan si anak ini pun terkadang aneh-aneh. Misalnya es lilin punya tetangga atau perkedel yang nggak sengaja keinjek. Kalau nggak dituruti, ya rambut gembelnya nggak akan bisa hilang.

 


Data diri dan daftar permintaan si anak bajang yang mesti diloloskan orangtuanya. Klik untuk memperbesar.

 

Eh, cerita pendahuluannya kok ya ternyata panjang banget ya? Hahaha. Kalau Pembaca mau nyari informasi lebih lanjut tentang asal-muasal anak gembel dan kisah mistis di baliknya bisa coba klik tautan berikut.

 

Persiapan Kirab dari Homestay

Balik lagi ke ceritaku pada Minggu (31/8/2014) yang lalu. Pukul 08.10 WIB aku sampai lagi di homestay. Kedatanganku disambut oleh rasa heran kelima teman-teman karena aku balik dari bukit Sikunir cepet banget. Nggak tahu aja mereka kalau banyak orang-orang baik yang membantu perjalananku pagi itu.

 


Wika dan Dhe foto bareng Mas Bejo sudah bersalin rupa jadi peserta pawai.

 

Aku masuk sebentar ke homestay buat packing sambil nyeruput segelas kopi buat ngilangin ngantuk (baru tidur 3 jam!). Habis itu langsung keluar dari homestay buat motret keriuhan anak gembel dan persiapan kirab di depan rumahnya Bu Naryono. Untungnya deket dan lagi di lokasi tukang jepretnya cuma sedikit, hehehe.

 


Wika sempet kenalan sama fotografer pro dari Getty Images.

 

Sekitar jam 09.00 WIB, kirab anak gembel dimulai. Aku, Dhe, dan Wika berencana mencegat itu kirab di jalan raya Dieng Kulon. Tapi kok lama ditunggu malah nggak dateng-dateng. Akhirnya kami memutuskan buat masuk ke kompleks Candi Arjuna saja. Toh, prosesi ruwatan anak gembel kan digelar di sana.

 


Kecuali yang mau foto selfie sama peserta pawai, silakan langsung ke kompleks Candi Arjuna.

 

Di dalam kompleks Candi Arjuna kami sempat kebingungan. Akses ke pelataran candi masih ditutup untuk umum. Lha ini anak-anak gembel bakal datang dari mana ya? Akhirnya aku memutuskan untuk pisah dari Dhe dan Wika buat keluyuran nyari informasi.

 

Eh, ternyata sebelum prosesi pemotongan rambut terlebih dahulu ada prosesi penjamasan rambut. Jadi, itu rambut gembel disucikan dulu dengan air dari tujuh sumur. Lokasi prosesi ini ada di dalam kompleks dharmasala. Nggak jauh dari pelataran Candi Arjuna sih. Tapi mbok ya panitia memberi arahan di mana pengunjung harus memposisikan diri gitu lho!

 


Kalau megang tiket VVIP duduknya di lebih deket lagi.

 

Manfaat Punya ID Card Dieng Culture Festival

Nah, pas ini nih aku baru merasakan nikmatnya punya ID card Dieng Culture Festival (walau cuma kelas Festival sih #hehehe). Sebab, yang boleh masuk ke kompleks dharmasala untuk lihat prosesi jamasan rambut anak gembel itu hanya pengunjung yang punya ID card. Di sana aku kebagian tempat (berdiri) di barisan depan karena masih belum begitu ramai.

 

Tapi prosesi penjamasan rambut gembelnya itu sempat molor sekitar 10 menitan. Sebabnya? Nunggu bupati Banjarnegara beserta sejumlah pejabatnya hadir di lokasi. Aaaak...  

 


Bupati Banjarnegara, Pak Sutedjo S. Utomo (kiri) dan Wakil Bupati, Pak Hadi Supeno (kanan).

 

Eh, mungkin ada Pembaca yang bingung kok yang hadir bupati Banjarnegara padahal masuk Dieng kan dari Wonosobo ya? Itu karena wilayah Dieng memang sharing dua kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara. Kompleks Candi Arjuna, desa Dieng Kulon, dan sebagian besar wilayah Dieng itu wilayahnya Banjarnegara. Gituh lhoh...

 


Prosesi menjamas rambut gembel itu cuma memercikkan air dari 7 sumur ke rambutnya si anak.

 

Usai rambut anak gembel dijamas oleh para pejabat Banjarnegara, saatnya berpindah lokasi ke pelataran Candi Arjuna untuk mengikuti prosesi pencukuran rambut gembel. Nah, begitu keluar dari kompleks dharmasala menuju pelataran Candi Arjuna, jalanan padet banget-banget ngalah-ngalahi padatnya manusia di bukit Sikunir! Bener-bener kegencet gilak nggak bisa gerak!

 


Lebih berdesak-desakan dari pas di Sikunir tadi pagi.

 

Di tengah kondisi kaleng sarden kayak gitu...eh masih sempet-sempetnya ada copet beraksi. Ketahuan lagi! Hahaha. Habis deh di-bully sama pengunjung. Untung ada pak polisi yang stand-by, jadinya bisa segera diamankan itu copet. Hadeh...bener-bener memanfaatkan situasi itu orang. Diriku aja yang diapit cewek-cewek cakep aja nggak nyoba grepe-grepe kok.

 

Menurut klarifikasi panitia @FestivalDieng, kemacetan parah menuju pelataran Candi Arjuna itu disebabkan oleh pintu masuk yang jumlahnya hanya satu. Tadinya sih mau ada tiga pintu masuk, tapi akhirnya diputuskan satu pintu saja untuk memudahkan pemeriksaan dari pihak kepolisian. Maklum, ada saja pihak “you know who” yang agak risih dengan perhelatan budaya semacam ini.

 


Yang duduk-duduk itu wilayahnya pemegang tiket VIP. Kalau tiket festival ya berdiri di belakang mereka.

 

Di dalam kompleks Candi Arjuna sendiri pemegang ID Card Festival kebagian spot motret berjarak sekitar 25 meter dari tempat pemotongan rambut. Lensa DX dengan panjang fokal 135mm seperti yang aku pakai sudah cukup kok buat zooming si anak gembel. Pemegang ID Card VVIP dapet hot spot dari jarak terdekat yaitu 5 meter. Sedangkan untuk VIP di jarak 10 meter. Jadi sebenarnya tiket Dieng Culture Festival itu terasanya memang pas motret saja, #senyum.lebar.

 


Dengan bekal lensa panjang fokal 135 - 200 mm sudah bisa dapet foto gini kok.

 

Kalau dipikir menggunakan akal sehat, yang seperti ini jelas tidak rasional. Pun, dari pandangan agama sendiri ini seperti menyekutukan Tuhan. Tapi menurutku, segala sesuatu yang berkaitan dengan tradisi dan adat ya memang seperti ini bentuknya. Bukankah ini ragam budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia?

 

Sekiranya Pembaca sudi meneliti fenomena anak gembel ini dari sisi medis ataupun bisa menyingkirkan rambut gembel tanpa ritual yang berbau penyekutuan Tuhan, mungkin bisa saling berbagi untuk turut menambah khazanah pengetahuan warga Dieng dan sekitarnya.

 

Apa Pembaca percaya dengan mistisnya fenomena rambut gembel ini? Tertarik untuk menelitinya Pembaca? Hehehe.

NIMBRUNG DI SINI