Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Boleh dibilang aku ini agak pekok kalau sudah berurusan dengan bersepeda. Seperti pada Minggu pagi (30/3/2014) yang lalu. Kok ya mau-maunya aku menuruti rayuan iblis untuk bersepeda menyusuri Jl. Raya Jogja – Solo tanpa berhenti dan juga tanpa minum dengan sepeda federal tua yang dulu pernah aku tunggangi ke Laut Bekah, hehehe. #hehehe
Ya... pokoknya sekuatnya lah Pembaca. Kalau capek ya balik kanan pulang ke Jogja. Gampang toh?
Pancal Terus ke Arah Timur!
Demi mensukseskan ide pekok ini aku berangkat dari rumah sebelum jam enam pagi. Sepanjang jalan aku hanya berhenti pas ketimpa nasib ketemu lampu lalu lintas yang nyala merah. Selebihnya ya mancal pedal terus. Nggak sempet motret malah.
Aku baru berhenti agak lama pas ngelihat tugu di Jl. Raya Jogja – Solo yang tulisannya “Selamat Datang di Kota Klaten”. Aku pun mbatin, kalau terus bersepeda bablas ke timur mesti nanti baliknya bakal repot. Yo wis, kurang lebih 3 km sebelum pusat Kota Klaten aku balik arah ke barat terus ke utara. Niatnya sih pulang sekalian blusukan gitu deh Pembaca.
Dari Jl. Raya Jogja – Solo yang rame sama bus dan truk aku pindah ke jalan desa mepet sawah yang damai dan tentram. Rutenya sih masih blusukan nggak jelas, hahaha. Sekitar jam delapan pagi ndilalah aku sampai di sekitar pusat kota Kecamatan Kebonarum, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Buat bukti ke Pembaca supaya nggak dianggap hoax, aku potret kantor kecamatannya sekalian buat kenang-kenangan juga, hehehe. #hehehe
Dekat kantor kecamatan itu aku lihat ada gapura yang tulisannya “Selamat Datang di Desa Wisata Alam Pluneng”. He? Apaan tuh? Daripada penasaran dan mumpung tanggung, ya sekalian aku mampir ke Desa Pluneng toh Pembaca? Emang di Desa Pluneng ada wisata alam apa sih?
Daerah Khusus di Desa Pluneng
Jarak 300 meter dari gapura aku melewati bangunan pura. Woooh, rupanya di desa ini ada komunitas umat Hindu! Mereka kayaknya lagi nunggu upacara Tawur Agung dimulai. Upacara ini dilakukan sehari menjelang Nyepi yang jatuh pada Senin (31/3/2014). Eh, dulu aku pernah motret upacara tawur agung di Candi Prambanan lho Pembaca.
Habis itu muter-muter deh aku di perkampungan dekat pura. Penasaran, apa di sini ada objek lain selain pura ya? Ndilalah aku malah ketemu patung Buddha! Uniknya, patung Buddha nya itu adanya di atas sendang. Wedalah! Apa pula ini Pembaca?
Jujur, waktu itu aku lumayan ragu-ragu mau mendekat ke sendang. Antara ya-tidak, ya-tidak, ya-tidak. Bingung, walaupun nggak sampai galau, hahaha. Dalam bayanganku, merendam kaki di sendang kayaknya enak tuh. Apalagi kan aku bersepeda pekok nggak pakai berhenti dari Jogja. #hehehe
Masalahnya, di sendang bernama Umbul Tirtamulyani itu banyak ibu-ibu yang lagi nyuci baju. Pemandangannya 11-12 sama di Sendang Klangkapan, Godean. Bedanya, ibu-ibu di Umbul Tirtamulyani itu pakai kemben, karena mereka sekalian mandi di sana. Doh!
Karena itu, jangankan buat mendekat, buat motret aja aku mesti mikir strategi kok! Bisa diamuk ibu-ibu sekampung kalau aku langsung mendekat motret. Doh!
Jadi ya aku pasrah deh nunggu situasinya jadi lebih kondusif. Yaitu nungguin itu ibu-ibu yang pada pakai kemben itu berangsur pulang. Sayangnya, sampai aku selesai motret nggak ada satu pun gadis-gadis yang ikut mandi nyuci di sana. #eh
Dari informasi di situs ini, katanya Umbul Tirtamulyani ini memang dikhususkan untuk wanita. Bener juga, memang sedari tadi aku nggak ngelihat ada laki-laki di sekitar tempat ini selain anak-anak kecil dan aku sendiri #senyum.lebar. Kayaknya aku nyasar di tempat dan waktu yang salah ini, hahaha.
Terlepas dari pemandangan ibu-ibu mandi nyuci bareng di sendang ini #eh, buatku tempat ini cukup menarik karena dikelilingi benda-benda klasik. Ada yoni, stupa, arca buddha, hingga golog-gilig. Kalau yoninya sepertinya sih asli, nggak tahu deh dengan yang lain karena ya itu sendangnya kurang kondusif untuk aku dekati, hahaha. #senyum.lebar
Kapan-Kapan Balik Lagi
Daripada nanti terjadi hal-hal yang diinginkan, mending aku buruan cabut deh dari Desa Pluneng. Lagipula Jogja kan masih jauh. Ya... sekitar 25-an km lah ya jaraknya (gila juga ya aku bersepeda 25 km nggak pakai minum #hehehe). Kalau mengingat masa lalu, dulu aku bersepeda ke Prambanan saja perlu berkali-kali berhenti lho Pembaca. Sekarang sampai Klaten pun bisa tanpa berhenti. Hohoho.
Kalau besok aku khilaf kayak gini lagi, mungkin aku bakal balik lagi ke desa Pluneng. Katanya selain Umbul Tirtamulyani juga ada Umbul Tirtamulya. Katanya umbul ini khusus untuk pria, jadi aku bisa bebas main air di sana. Cihuy!
Sekali lagi, jangan tiru kelakuan Pekok bersepeda saya ini ya Pembaca! Di sekitar tempat tinggal Pembaca ada semacam “pemandian umum” macamnya Umbul Tirtamulyani ini nggak ya? Yang khusus untuk wanita lho? Siapa tahu....
Baca ini sambil senyum2 kepengen, ah berbulan2
wfh tau gitu sepedaan sampai ke daerah2 begini..
intip ??? demen yaa ama mbkok2 hahaha
apane seng di pancal hehe :D
salam
sutopo blogger jogja
nuwun informasi lokasinya mas :-)
Wah, bisa jadi sampean seolah jadi Jaka Tarub dong di sana :p
Ternyata sepeda jenengan sederhana toh, bukan sepeda yg sering dipake komunitas pesepeda itu....
Kalau jalan datar, sepeda sederhana pun bisa dipakai buat keluyuran Bro.