Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Salah satu tempat yang lagi hits di Dieng (khususnya buat anak muda #hehehe) adalah puncak Bukit Sikunir. Di mana, dari sana kita bisa melihat mentari terbit dari ketinggian. Malah ada pameo “Belum sah ke Dieng kalau belum ke Puncak Sikunir lihat Sunrise”.
Weleh, apakah sunrise di bukit Sikunir bener-bener semenarik itu?
Godaan di Rumah Bu Naryono
Pada Sabtu sore (30/8/2014), sesuai saran dari Mas Bejo, Dhe dan Wika sudah berancang-ancang buat pergi ke Puncak Sikunir sebelum subuh. Maka dari itu, alarm jam disetel agar meraung tepat pukul 3 pagi di hari Minggu (30/8/2014). Pikir kami, di pukul segitu itu waktu yang kondusif untuk cabut ke Bukit Sikunir.
Alarm jam memang tepat meraung pukul 3 pagi. Tapi, berhubung suhu homestay lumayan adem dingin, kami semua terkena extra time meringkuk di balik selimut untuk sekitar setengah jam ke depan. Barulah sekitar pukul setengah 4 pagi, kami berhasil mengumpulkan nyawa yang tercecer dan melangkah ke luar homestay. Ternyata, di luar homestay lebih dingin daripada di dalam! #ya.iyalah
Entah gimana ceritanya, di pagi buta itu Wika sempat-sempatnya kenalan sama Bu Naryono. Letak rumah beliau itu persis di seberang homestay. Beliau ini dari pukul 11 malam kemarin sudah memasak untuk persiapan prosesi ruwatan rambut gembel.
Bermacam-macam jenis makanan sudah tertata apik siap untuk disantap di dalam rumah beliau #eh. Selain sajian untuk prosesi, beliau juga menyiapkan santapan untuk mereka-mereka yang terlibat dalam prosesi.
Selidik punya selidik, Bu Naryono ini adalah istri dari tetua adat setempat. Kata beliau, sekitar pukul 6 pagi nanti, para anak bajang beserta keluarganya bakal ngumpul di rumah ini untuk bersiap-siap. Setelah itu, bakal ada kirab anak bajang yang titik start-nya dari rumah ini juga. Waaah, beruntung banget homestay kami dekat dengan rumah Bu Naryono.
Karena diiming-imingi bisa memotret para peserta dan anak bajang pas mereka lagi bersiap-siap, ditambah kondisi jalanan kampung yang padat sama mobil parkir jadi nggak mungkin untuk keluar pakai mobil, alhasil Wika dkk memutuskan nggak jadi pergi ke Bukit Sikunir. Mereka memilih menunggu di homestay buat motret para peserta.
Aku sendiri masih kepingin untuk tetap cabut ke Bukit Sikunir. Bukan ngotot sih, tapi ya buat menuruti rasa penasaran saja dan sekaligus mencari tantangan, hahaha #senyum.lebar. Aku paham kok bakal seperti apa kondisi Bukit Sikunir di masa Dieng Culture Festival seperti ini. Tapi ya gitu. Aku pancang niat untuk berangkat sendirian saja ke sana. Pokoknya, sak tekane dan sak entuke (sesampainya dan sedapatnya).
Asal Pembaca tahu, karena namanya Bukit Sikunir ya jelas jalan ke sananya kan nanjak dong? Terus, Bukit Sikunir itu letaknya di Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah yang punya predikat sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa, karena terletak 2.306 meter di atas permukaan laut. Dari homestay ke Desa Sembungan itu jaraknya sekitar 7 km. Pembaca udah kebayang kan kira-kira gimana “perjuangan” ke sana?
Solo Karir ke Bukit Sikunir di Pagi Buta
Oke deh! Perjuangan dimulai dengan berjalan kaki seorang diri menembus gelap dan dinginnya pagi Desa Dieng Kulon yang menusuk tulang. Seingatku, di pertigaan jalan raya menuju ke Kota Wonosobo itu ada pangkalan ojek. Siapa tahu ada ojek yang sedang mangkal dan bisa ditumpangi. Eh, ternyata nggak ada! Wah, nasib ini jalan kaki sampai desa Sembungan.
Selepas Desa Dieng Kulon aku masuk wilayah Desa Dieng Wetan. Sejauh ini kondisinya masih agak ramai karena banyak homestay. Tapi, selepas Desa Dieng Wetan, kondisinya gelap segelap-gelapnya plus dikelilingi pohon lebat. Cocok ini kalau ketemu dhemit lewat, hahaha #senyum.lebar.
Tapi Alhamdulillah nggak kejadian. Kalau aku pikir-pikir, kelakuanku ini tuh bener-bener kayak orang hilang dan kurang kerjaan banget, hahaha #senyum.lebar. Benar-benar bisanya cuma pasrah sama Gusti Allah SWT.
Nah, pas sampai di pertigaan arah Dieng Theatre, eh ada bus kecil gitu yang berhenti di depanku. Bus apaan ini? Kok pagi buta begini sudah ada bus saja? Apa ini busnya para dhemit?
“Ayo Mas naik. Mau ke Sikunir kan? Kasihan jalan kaki, nanti sunrise-nya nggak kekejar.”, ajak mas kenek yang bernama Mas Kabul
Alhamdulillah, batinku. Gusti Allah SWT mboten sare yah mene! #hehehe
Di dalam bus kecil itu ternyata udah ada dua penumpang yang ikutan. Namanya Noval dan Dias. Mereka ini mahasiswa angkatan 2009 dan sudah berteman lama sejak SMA. Noval ini yang punya ide menumpang angkutan umum menuju Desa Sembungan.
“Habisnya tadi minta tumpangan sama mobil nggak dikasih Bang. Cuma buka kaca jendela, diliatin, terus mereka bablas pergi. Untung lewat bus ini.”, ujar Noval sedih
Duh! Aku paham penderitaanmu Bro! #pukpuk
Lautan Manusia di Sikunir
Baru enak-enaknya duduk di dalam bus, eh muncul masalah. JALANAN MACET PARAH!
Selain banyak bus dan mobil yang parkir, banyak juga kendaraan yang mogok di tengah jalan. Beh! Nggak kuat nanjak sepertinya.
Sebenarnya ini sih sesuai perkiraanku sebelum berangkat. Tapi, nggak menduga saja bakal separah ini. Karena kayaknya macetnya ini bakal lama, Aku, Noval, dan Dias memutuskan buat turun dari bus dan jalan kaki ke Desa Sembungan.
Sebetulnya, bus ini rutenya bukan ke Desa Sembungan. Untuk membalas jernih payah Mas Kabul dan Pak Sopir, kami membayar Rp5.000 per orang. Makasih ya Mas! #senyum.lebar
Sekitar 2 km lebih kami jalan kaki dari tempat bus berhenti ke Desa Sembungan. Dari Desa Sembungan ke Bukit Sikunir jaraknya masih sekitar 1 km lagi. Itu belum selesai! Dari dasar bukit ke puncaknya jaraknya ada sekitar 1 km juga. Pokoknya, masih panjang lah perjalanan ke puncaj. Di sepanjang jalan juga sudah ramai sama anak-anak muda yang berjalan kaki.
Begitu sampai di dasar bukit Sikunir...beh!.. PADAT BANGET!
Itu lapangan luas dekat Telaga Cebongan sudah berubah mirip parkiran mall-mall pas weekend. Isinya kalau nggak motor, mobil, ya bus!
Nggak kebayang deh, seperti apa di puncak Bukit Sikunir kalau di dasarnya sudah padat kayak gini.
Waktu itu kami sampai di dasar bukit pukul 05.30 WIB. Jelas matahari sudah mulai nongol di ufuk timur. Walaupun sunrise lolos, tapi seenggaknya kami harus bisa melihat pemandangan pagi dari puncak bukit. Jadi, ya kami lanjut jalan kaki ke puncak deh.
Baru sampai setengah jalan... wadooh!... ramainya bukan main! Kalau tadi pas mau ke Desa Sembungan dibikin macet sama mobil dan bus, di jalan ke puncak Bukit Sikunir ini macetnya malah sama MANUSIA!
Bener-bener nggak bisa gerak untuk naik ke puncak bukit! Nggak tahu deh ada kejadian apa di depan sana kok bisa macet kayak gini. Apa mungkin banyak yang berhenti di pinggir jalan buat foto-foto ya? Tau deh...
Pikirku, di puncak sana mungkin areanya lebih sempit. Sementara itu banyak orang yang mau naik ke puncak. Jadinya macet deh!
Berhubung setelah 30 menit lebih nggak ada pergerakan yang signifikan. Ditambah lagi beberapa pengunjung mulai teriak-teriak hilang kesabaran. Akhirnya aku putuskan mengibarkan bendera putih alias turun gunung saja.
Yah... mungkin ini belum rejekinya aku bisa sampai ke puncak Bukit Sikunir. Next time maybe...
Maaf ya Noval dan Dias, aku nggak bisa nemenin kalian sampai Puncak Sikunir buat foto-foto sambil ngicipin cilok, hehehe. Kalau ada kesempatan, kita ke Puncak Sikunir lagi yah. #senyum.lebar
Kebaikan Hati yang Meringkankan Perjalanan
Aku inget sudah diwanti-wanti sama Wika dkk untuk sampai di homestay lagi sebelum kirab dimulai. Aku pun nggak pakai lama untuk segera balik cabut ke Desa Dieng Kulon. Ya jalan kaki lah soalnya aku agak sungkan minta tumpangan setelah denger ceritanya Noval tadi. Pokoknya semangat saja! Yosh!
Sekitar 30 menit jalan kaki ada mobil pickup yang lewat dan berhenti di depanku.
“Mas, yuk naik, barengan aja!”, ajak salah satu mas-mas. Alhamdulillah!
Aku sampai di pertigaan pos ojek Dieng lagi sekitar pukul 08.00 WIB. Saatnya bergegas kembali menuju homestay buat mengikuti acara kirab anak bajang. Saatnya kamera beraksi lagi. #senyum.lebar
Pembaca pernah ke Dieng dan merasakan jalan kaki dari Dieng Kulon ke Bukit Sikunir? Cobain deh! Sehat lho! #hehehe (tapi habis itu betis jadi pegel banget, hehehe #hehehe)
Kalau gak salah pagi itu aku tarik selimut
lanjut tidur mas, soalnya ademmmmm banget
enaknya yoo tidur selimutan he he he
Empat jempol dech untuk mas wijnanya. . .
wow banyak banget yang ngantri,, udah kaya semut :D
liburan natal gitu, hohoo.
masih pengen lagi ke sana tapi tidak pas event festival.
Salam kenal mas e! :)
ke Sikunir? Hehehe..
Ak pas DCF kmren juga di Dieng, tp nggak nonton DCF nya gr2 nggak dpt tiket, akhirnya
cari tempat pelarian ke Gn. Pakuwaja (sebelah Sikunir). Itu macetnya apa nggak bikin
stress mas? Untung kmren trip ke Sikunir nya ak cancel. Hahaha
sampai Sembungan ya mas, dijamin gempor :P
aku senenge nggon alam.
motoran atau ngglandang boleh lah, bersepeda boleh jga, tapi nunggu sepedaku selesai
dibangun :D ... friend request fbnya di approve dong :)
kapan2 aku dijak mas kalo dolan2 :D
festival atau sejenis nya coz jadi kurang khusuk menikmati alam nya
tahun depan kesampaian deh ya bisa main kesana :D
skip deh klo kesana juga pas akhir pekan..
saya pernah naik sikunir demi sunrise...apa daya mendung dan gerimis...:(
makin panas perjuangan buat muncak... untung saya gak terlalu demen naik gunung T.T,
moga aja Dieng makin Dingin ya mas heheh jdi pada kapok ke Dieng hehe pizz, tar kan
jadi sepi dieng haha ngimpi tapi.... wah adegan kebaikan itu bikin menyentuh hati mas...
moga aja banyak orang baik bertebaran aamiin
Mungkin Mas Mawi sering berbuat baik, jadi ada juga orang yg berbuat baik ke Mas Mawi, nawarin tumpangan, hehe....
Untungnya cuma disangka orang ilang, bukan orang gila, hehehe.
memang dilahirkan utk fotografi landscape :P
mending nungguin kirab. biar bisa dapet icip-icip di Bu Naryono :D