Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Aku nggak percaya! Sama sekali NGGAK PERCAYA sama omongannya ibu-ibu di dekat Puskesmas Purwosari, Gunungkidul itu! Kata mereka, pantai yang paling dekat dari sana ya hanya Pantai Parangtritis dan Laut Bekah.
Heh!? Laut Bekah!?
Sorry ya ibu-ibu! Cukup sekali saja saya merasakan "nikmat"-nya itu “jalan penderitaan” ke Laut Bekah. Selama itu jalan belum diaspal, cih... jangan harap saya sudi ke sana lagi! Grrr... #emosi#trauma
Misiku masih sama, yaitu "mencari pantai di sebelahnya Parangtritis". Sebab, aku percaya kalau di timur Pantai Parangtritis masih ada pantai yang bukan Pantai Parangendog.
Eh, kalau nggak ketemu pantai, ya ketemu tebing juga nggak apa-apa sih. Asal ya jangan tebing Laut Bekah aja, karena jalan menuju ke sananya itu... ah, nggak usah dibahas lah. #hehehe #bacalah.artikel.laut.bekah
“Masnya nggak apa-apa kan? Kok jauh-jauh bersepeda ke pantai segala?” tanya seorang Ibu dengan tatapan yang penuh curiga.
Waduh...! Jangan-jangan si Ibu mikir yang aneh-aneh lagi? Saya ini masih sayang sama nyawa kok Bu! Cuma ya itu... agak pekok dan kurang kerjaan aja. #hehehe
Oke deh! Fix! Cari narasumber lain!
Dapet Informasi ke Pantai Ngunggah
Dari Puskesmas Giripurwo itu aku balik lagi bersepeda melintasi Jl. Raya Pantai Selatan Jawa ke arah Desa Girisekar. Sekitar 1 km bersepeda, aku nyoba nanya ke warga lagi. Seorang bapak pengunjung warung Soto Mbok Geblek aku pilih sebagai korban. Tanya jawab pun balik terulang.
“Kalau lewat jalan ini ke selatan, masuk dusun, bisa sih Mas sampai Pantai Ngrumpon.”
“Jauh Pak kalau dari sini?” aku penasaran sama jaraknya.
“Ya sekitar 10 kilometer lah Mas, tapi jalannya itu... hmm...,” sang Bapak mendadak diam.
Batinku, pasti ada yang nggak beres nih sama jalan desanya. Mampus aku kalau lebih parah dari Laut Bekah...
“Atau nggak ke Pantai Ngunggah Mas? Jalannya udah bagus. Dilewati sepeda enak lah. Njenengan juga bisa turun sampai ke pantainya,” tawar sang Bapak.
“Wah, Pantai Ngunggah itu di mana itu Pak? Jauh dari sini?” aku pun tertarik.
“Nggak, ikutin jalan raya ini aja. Nanti ketemu SD Pejaten, terus belok kanan masuk dusun Pejaten. Habis itu ya ikutin aja jalan dusunnya. Nanti sampai Pantai Ngunggah.”
Tanya jawab selesai! Anda betul-betul warga Gunungkidul yang kompeten Pak! Nah, saatnya bersepeda menuju pantai! Yiiihaaa!
Intermezzo: Bersepeda Sendirian Sejak Pagi Buta
Hari Minggu pagi (8/6/2014), pukul 10 kurang sedikit, aku masih setia bersepeda sendirian menyusuri Jl. Raya Pantai Selatan Jawa menuju SD Pejaten. Awal Juni sudah terhitung awal musim kemarau. Tujuan air terjun berganti jadi pantai. Yah, anggap saja ini pantai pertama yang bakal kusinggahi di musim kemarau 2014/2015.
Sebenarnya sih niat bersepeda ke pantai-pantai di timurnya Parangtritis sudah terbesit sejak lama. Hanya saja aku tuh masih ragu-ragu. Berangkat sendiri atau bawa pasukan ya? Akhirnya ya aku putuskan bersepeda sendirian saja. Biar sensasinya makin mirip orang selo yang kurang kerjaan, hehehe. #hehehe
Tapi nggak juga sih! Dalam pikiranku itu, perjalanan semacam ini menuntut dua prasyarat yang “lumayan” berat. Pertama, harus bisa bersepeda lewat Tanjakan Siluk tanpa nuntun untuk menghemat waktu. Kalau ini, Mbah Gundul sih jelas bisa. Nah, syarat kedua yang kayaknya lumayan susah buat teman-teman. Yaitu, harus mau berangkat bersepeda di pagi buta. Di jam-jam segitu, kayaknya mereka masih asyik berkelana di dunia mimpi deh.
Ya sudah deh. Berangkatlah aku sendirian. Jam 5 pagi dari rumah pas langit Jogja masih gelap-gelapnya.
Masuk Dusun Pejaten ke Pantai Ngunggah
Sekitar 10 menit bersepeda, sampailah aku di SD Pejaten. Dekat juga ternyata. Aku baru tahu, di Jogja juga ada daerah namanya Pejaten. Aku pikir hanya ada di Jakarta Selatan aja. Maklum, aslinya kan aku ini anak Jakarta tapi terus nyasar ke Jogja, hehehe. #hehehe
Dari sini, katanya tinggal mengikuti jalan dusun. Jalannya itu ya memang enak dan mulus. Cor-coran semen dua lajur, khas jalan dusun pada umumnya. Apalagi kontur jalannya agak turunan. Katanya warga, dari jalan raya ke Pantai Ngunggah ada sekitar 7 km. Termasuk deket lah.
- Sapa warga kalau berpapasan, jangan lupa senyum. Kita ini kan bangsa yang ramah, hehehe.
- Kalau disuruh mampir ya berhenti sebentar dan berbasa-basi.
- Kalau ada warga yang bertanya, berhenti sebentar dan bercakap-cakap.
Saat laut mulai terlihat dari kejauhan, medan jalannya tiba-tiba berubah total. Jalan semen yang mulus berganti jadi jalan tanah berbatu. Bukan masalah besar sih, karena sedikit lagi kan sudah sampai pantai. Sabar saja deh.
Akhirnya, pukul 10.18 WIB aku sampai di pinggir tebing Samudera Hindia. Kalau ditotal, waktu tempuh dari jalan raya ke mari ini sekitar 25 menit bersepeda. Di sini ada tempat parkir kendaraan berwujud gubuk sederhana. Tenang saja, belum ada yang memungut biaya parkir. Lha wong tempatnya terpencil begini. #hehehe
Udah nih sampai di pinggir tebing aja? Ya nggak lah! Namanya Pantai Ngunggah ya mesti ada pasirnya dong!
Di dekat gubuk, aku mengendus jejak manusia dari jalan setapak yang tertutup semak. Oh iya, Pembaca perlu tahu kalau jalan setapak ini bener-bener jalan setapak yang masih “liar”. Salah pilih jalan ya nyasar! Tapi berkat ilmu penerawangan level 1 dari Mbah Gundul, aku sedikit ngerti lah jalan mana yang mesti dipijak.
Sekitar 15 menit jalan kaki sampai deh di pantai Ngunggah! WOOOH! Bener-bener pantai pasir putih yang perawan! Pantai Ngunggah ini letaknya di Dusun Pejaten, Desa Giriwungu, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta.
Pantai Ngunggah, Pak Dono, dan Rumput Laut
Begitu menjejakkan kaki di putihnya pasir Pantai Ngunggah, kita bakal disambut oleh sekumpulan batu-batu putih yang buanyak banget. Ukurannya besar-besar. Lumayan cocok buat nimpuk maling atau suporter fanatik capres penyebar black campaign #hehehe.
Pantai Ngunggah sendiri letaknya diapit oleh dua tebing besar. Menurut dugaanku, di zaman mammoth masih kejar-kejaran, ini pantai jadi muara suatu sungai purba. Eh, Pembaca tau mammoth kan?
Eh ternyata aku nggak sendirian di Pantai Ngunggah. Ada seorang bapak beserta putri kecilnya yang sedang mencari rumput laut. Ada banyak rumput laut yang tumbuh di Pantai Ngunggah ini. Di beberapa ceruk juga terlihat banyak ikan-ikan kecil.
Bercakap-cakaplah aku dengan si Bapak. Namanya Pak Dono, asalnya dari Desa Giriharjo, Panggang. Jadi, Pak Dono ini bukan warga asli Dusun Pejaten.
Niatnya beliau kemari sih cuma mau ngarit alias mencari rumput untuk pakan ternaknya. Berhubung sang gadis kecil minta dicarikan rumput laut, mereka pun turun ke pantai. Sepeda motor yang ada di tempat parkir itu ternyata kendaraannya Pak Dono.
Lumayan juga, pagi itu Pak Dono bisa dapat banyak banget rumput laut. Katanya Pak Dono, kalau sudah dikeringkan harga rumput laut bisa mencapai Rp25.000 per kilogram! Waow!
Maklum, rumput laut kan komoditas yang laris dicari. Tapi rumput laut yang mereka kumpulkan ini ya untuk konsumsi pribadi aja. Lumayan kan daripada harus beli? Oh iya, rumput lautnya bisa langsung dimakan lho Pembaca! Yang penting, serabut hijau yang menutupi dibersihkan dulu.
Pak Dono agak kesulitan mengemas rumput laut untuk dibawa pulang. Aku ingat, kan aku bawa beberapa kantong plastik. Aku tawarkan itu kantong plastikku. Eh, sebagai imbalannya Pak Dono ngasih separuh dari rumput lautnya. Ternyata ada gunanya juga ya bersepeda bawa kantong plastik. Makasih ya Pak Dono, hehehe.
Pak Dono juga cerita. Lahan seluas 2 hektar di sekitar Pantai Ngunggah ini sudah dibeli oleh investor dari Bali seharga 2 milyar rupiah. Apa mungkin ya mau dibangun resor di sini? Tapi ya nanti Pantai Ngunggah jadi tertutup dong? Nggak bisa bebas dikunjungi oleh orang-orang umum macamnya aku dan Pak Dono ini. Doh, semoga aja nggak ya!
Perjuangan Bersepeda Pulang dari Pantai Ngunggah
Hampir 1 jam aku di pantai. Pukul 11.16 WIB aku memutuskan balik ke parkiran. Sampai di parkiran lagi pukul 11.27 WIB. Jam segitu itu, matahari pas sedang panas-panasnya. Sudah jadi nasib kalau bersepeda jauh pulangnya pasti panas kayak gini. Daripada makin tambah panas, aku milih berangkat pulangnya sekarang aja.
Ndilalah, baru bersepeda beberapa meter di jalan semen, tiba-tiba aku dengar bunyi yang lumayan keras.
...WESSSSSS...
Eh? Apa pantatku bocor terus kentutnya keluar semua ya Pembaca?
DOH! Ternyata, ban belakang sepeda yang bocor! Waduh, kok bisa-bisanya ban bocor di pelosok negeri antah berantah gini?
Eits, nggak boleh panik! Mbah Gundul selalu bilang, “tenangno pikirmu!”, yang artinya segala kesulitan bisa diselesaikan asal pikiran kita tenang. Ya kan Pembaca? #senyum
Bukan hasil didikan Padepokan Sekar Jagad namanya kalau nggak menguasyai ilmu maintenance sepeda level 2. Di dalam tasku selalu siap siaga ban dalam, perkakas membuka ban, dan pompa portabel. Cukup sepuluh menit, ban sepeda belakang sudah kembali terpasang. Perjalanan siap dilanjutkan!
Tapi, berhubung cuaca di siang bolong panasnya bukan maiiin (–30%) ditambah lagi kontur jalannya nanjak (–15%), alhasil staminaku cuma tersisa 100% – 30% – 15% = 55%. Jadinya aku nggak bisa setiap saat pamer kekuatan sama simbah-simbah yang kebetulan papasan. Andai masih pagi, bakal aku libas itu tanjakan. Lha wong perasaanku cuma bikin geli dengkul kok. #hehehe
Sampai di Dusun Pejaten lagi pukul 12.45 WIB. Ada sekitar 70 menit lebih karena insiden ban bocor dan cuaca yang panas banget. Begitu sampai di Dusun Pejaten, aku mampir ke warung buat beli minum dan sekalian menunaikan ibadah salat Zuhur di masjid dusun. Sekitar jam 13.14 WIB aku sudah sampai lagi di Jl. Raya Pantai Selatan Jawa.
Nah, gimana nih rute pulangnya? Berhubung sebagai mantan PEKOK Ranger aku menganut prinsip, “jalan pulang harus beda dengan jalan pergi”, alhasil rute pulang yang aku pilih adalah menyusuri Jl. Raya Pantai Selatan Jawa sampai ke ujungnya, yaitu Pantai Parangtritis. Yay! Pas perginya itu kan lewat Tanjakan Siluk.
Kalau dari patok jalan sih, 13 km lagi sudah Parangtritis. Rute ini sudah pernah aku lewati pas dulu pulang bersepeda dari Laut Bekah. Kontur jalannya sih naik-turun mirip rollercoaster. Tapi ya itu, berhubung matahari sedang panas-panasnya, beberapa kali aku nggembel di pinggir jalan buat ngadem. Ya duduk-duduk aja gitu di rumput pinggir jalan.
Oh iya, hampir lupa! Hari Minggu ini kan bertepatan sama ulang tahunnya Bapak! Pas berhenti ngadem itu aku menyempatkan untuk nelpon Bapak, ngucapin selamat ulang tahun.
Sepanjang perjalanan ke Parangtritis, aku dihinggapi perasaan galau-gundah-gulana. Sudah bersepeda sekian kilometer tapi kok belum ketemu sama SD Negeri Nanas ya? Sebab seingatku, kontur jalan selepas SD Negeri Nanas itu turunan terus. Ealah... ternyata letak SD Negeri Nanas itu di Jl. Raya Pantai Selatan Jawa km 3. Harus diingat-ingat ini.
Lega sudah pas sampai di SD Negeri Nanas. Jam menunjukkan pukul 14.41 WIB atau sudah 1 jam 27 menit semenjak aku bersepeda sejauh 10 km dari dusun Pejaten. Dari sini, tinggal melibas turunan panjang menuju Pantai Parangtritis. Sampai di Pantai Parangtritis sekitar pukul 3 sore. Hari ini sekali kayuh dua pantai terlewati, hehehe. #hehehe
Dari Pantai Parangtritis menuju rumah ya lewat Jl. Parangtritis lah yang panjangnya 27 km. Berhubung tenaga sudah nyaris habis, aku bersepeda santai saja. Sekitar pukul 17.30 WIB baru sampai rumah lagi.
Eh... ini berarti sudah lebih dari 12 jam aku bersepeda ya? Termasuk PEKOK dong? Ya nggak lah! Kalau PEKOK itu sampai rumah malam dan yang ini kan menjelang magrib. #hehehe #alasan
Penutup Petualangan ke Pantai Ngunggah
Berikut rincian pengeluaran bersepeda hari ini.
Makan pagi, nasi padang hati-ampela + teh panas | Warung Padang Giriharjo | Rp11.000 |
Air mineral 600 ml + 2 bungkus biskuit | Minimarket Giriharjo | Rp4.000 |
Air mineral 1,5 liter | Warung dusun Pejaten | Rp4.500 |
Sebungkus es dawet | Warung dusun Pejaten | Rp1.000 |
Makan sore, nasi soto + es teh + teh panas | Jl. Parangtritis km 23 | Rp10.000 |
Jus jambu | Jl. Parangtritis km 3 | Rp6.000 |
Total pengeluaran | Rp36.500 |
Pembaca baru tahu kan ada Pantai Ngunggah? Jangan-jangan yang bersepeda kemari... baru aku?
Ah, yang penting tahun 2014 ini sudah pernah sowan bersepeda ke pantai laut selatan. Pembaca, kapan terakhir kali bersepeda ke pantai? Eh iya, petualangan seperti ini jangan ditiru KECUALI kalau Pembaca termasuk orang kurang kerjaan lho. #hehehe
Sampai ketemu lagi di cerita petualangan bersepeda berikutnya ya! #senyum.lebar
PONJONG... Masyouuuuuk
Jangan jadi seperti aku ah. Mosok PEKOK-an ke Pantai Ngunggah? :p
Terus genjot sepedane Mas! :D
Jaman sekarang kalau jalan sendirian apalagi cewek suka disangka aneh-aneh. Padahal yo gak ada yang salah ya to Mas hehehe.
Salam mblusuk :D
Salam kenal juga mbak! Kalau cewek kelayapan sendirian ke tempat-tempat terpencil memang suka ditanya-tanyai. Namanya juga orang Jawa itu perhatian sama perempuan. :D
udah bnyak yg dibeli investor
sampeanlah panitia asyek asyekk..
rampung mblusuk lansung pijet
mas terakhir pit pitan kapan.. kemaren minggu
8 February 2015.. ngepit mboten
mas huehehe
Cuma kalau nggak sengaja lihat iklan-iklan rumah harga 2M itu kok ya kayaknya eman-eman banget pantainya dibeli 2M.
Kalau warganya nawar dengan harga yang lebih tinggi kayaknya dikasih deh..
Tapi ya semoga saja itu cuma isu. Biar kalau ke sana nggak mahal. Nanti kalo sudah dibangun resor kan jadi mahal. :(
jangankan pantai nunggah, parang endhog aja aku belom pernah :(
padahal sekarang rumah harganya udah mahal2.. :(
glundung2, untung wae sukete duwur2. lumayan nek glundung 7 meteran. posisi yo grimis
jga pas nang pantaine. jooos tenan pantaine. dalane yo mendugal barang :D
sejati... Hmmm... aku gak mau kalah.. insya Allah nanti juga akan ke Pantai Ngunggah...
Tapi motoran aja ya, gak bakal kuat nyepeda.. :D
bayangin. antisepi. :D hehe.
tp keren mas, ditunggu pantai ajib lainnya
tapi, itu beneran sendirian? mantappp
berarti iku kendaraan ditinggal ning nduwur mas? jalan kaki ne bener bener manut wudele?
:o
neng gunung kidul ngontel...
tapi jepretane memang josss...!!!
Kebayang asiknya, jalan-jalan, sepedaan, pemandanngannya adem, lebih komplit kalau sama rombongan sih, biar kalau ada apa2 (kaya bocor ban tadi) bisa ditanggung bersama masalahnya. Khususnya org yg ga bisa perbaiki masalah sepeda sendri kaya saya :3
Jenengan ini bener-bener pesepeda sejati, ya.... Mblusukan ke sana kemari naik sepeda, ngelewatin tanjakan, gowes berjam-jam, melintasi puluhan kilometer jalanan, dan sendirian... Wih....
Itu kalau lagi senggang dan kurang kerjaan aja Bro. Namanya juga hidup mesti ngirit, ya kemana-mana naik sepeda toh?
pulang pergi pula!
Tapi keindahan pantai yang terlihat dari foto, kayaknya sebanding dengan tenaga yang
sudah dihabiskan Mas Wijna :)
ke pantai kayak gini. Sikk sikk aku jadi penasaran pindah ke lapak Laut Bekah... ^^
Lha dirimu penasaran apanya sama Laut Bekah? Jalannya? :D
tidak menjadi terlalu ramai \"sampah\" :)
Filter harga berapa Wij? Hahahaha... Congrat!
Filter apaan? Emang aku main slowspeed?
bukan kurang kerjaan mas, kalau saya di dekat sampean saat itu pasti bakal bilang keren mas. Nyepedah nang pantai. Salut
itung-itung ngurangi polusi lah.
menimbulkan pengetahuan dan pengalaman baru. :D