Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Di zaman sekarang, kalau mau pergi ke Kayangan caranya gampang! Nggak perlu ilmu gaib. Pun nggak butuh alat canggih. Lha wong dengan sepeda saja bisa kok. Keren kan? #senyum.lebar
Kenapa bisa gitu? Sebab, Kayangan yang satu ini bukan negerinya dewa-dewi, melainkan nama salah satu sungai yang melintasi Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Ciri khas dari sungai Kayangan ini adalah adanya tebing tinggi besar yang mirip sama gunung Huaguo di ceritanya Sun Go Kong. Oh iya, sungai Kayangan ini letaknya kan di barat kota Jogja. Jadi, perjalanan kemari ini mirip-mirip lah sama perjalanan ke baratnya Sun Go Kong. Bedanya, yang pergi ke Kayangan pada hari Sabtu (26/4/2014) itu hanya tiga orang: Paklik Turtlix, Paris, dan aku.
Eh, kan di cerita perjalanan ke baratnya Sun Go Kong itu tokohnya ada empat orang toh? Kebetulan, Mbah Gundul pas nggak ikutan. Berarti perjalanan kali ini minus tokoh biksu suci. Kan mereka berdua sama-sama gundulnya, huahahaha. #senyum.lebar #kualat
Awal Petualangan: Menyibak Tanjakan Menuju Kayangan
Perjalanan ke barat menuju Kayangan dimulai dari Tugu Pal Putih Jogja. Tempat yang selalu ramai oleh ekspresi turis narsis dari malam hingga menjelang pagi. Pukul 06.30 WIB kami bertiga berangkat bersepeda menuju Kulon Progo. Tentu saja, lewatnya Jl. Godean yang panjangnya 19 km. #pemanasan
Sekitar pukul 07.20 WIB, sampailah kami di kabupaten Kulon Progo. Persisnya di Kecamatan Nanggulan, di sebuah perempatan bernama Perempatan Kenteng. Di perempatan ini kami mengambil arah ke barat menuju Goa Kiskendo.
Sepanjang perjalanan mata kami dimanjakan oleh hamparan sawah hijau bak permadani. Yups! Nanggulan memang terkenal dengan hamparan sawah seluas mata memandang.
Beruntunglah Yogyakarta masih punya Nanggulan. Itu artinya, warga Jogja nggak perlu khawatir kekurangan beras untuk dimasak jadi nasi soto. Nyam! #jadi.laper
Tapi tunggu dulu! Indah di mata belum tentu nyaman di dengkul! #hehehe
Sebenarnya sih, dari foto sudah bisa ditebak. Jalan yang membelah hamparan sawah itu wujudnya... TAN - JA - KAN. Walau bukan tergolong tanjakan jahanam, tapi menanjak di bawah terik matahari benar-benar menguras kesabaran.
Huh hah huh hah... SEMANGAT!
Ada “ritual” yang aku lakukan pas sampai di tepi Sungai Kayangan. Apalagi kalau bukan menjamas sepeda dengan air sungai. Mumpung sepedaku ini sudah lama belum dicuci #dasar.males #hehehe. Siapa tahu juga jadi enteng pas diajak menanjak, hahaha. #senyum.lebar
Di lokasi ini kerap diadakan upacara adat Saparan Rabu Pungkasan pada bulan Sapar (satu bulan setelah Ramadhan). Singkatnya, ini...tempat...mistis. Paham? #hehehe
Selepas menjamas sepeda, Paklik Turlix mengajak untuk bergegas. Batinku, paling ya nyebrang Sungai Kayangan, terus blusukan keliling kampung. Tapi ternyata nggak! Paklik ngajak kami naik dan keliling Kayangan. Weee?
Aku membatin lagi, memangnya ada jalan? Paklik bilangnya ada. Dari GPS Garmin miliknya ditambah cek silang Google Map, Bing Map, serta Nokia Map, ada jalan mengitari sungai Kayangan. Yang ternyata penampakan jalannya itu seperti ini.
Aku maklum punya kawan-kawan bersepeda macam mereka ini. Paklik Turtlix dan Mbah Gundul sebenarnya ya 11-12 kalau milih rute blusukan. Kalau si Mbah memanfaatkan bisikan gaib insting, Paklik lebih maju dengan memanfaatkan teknologi.
Walaupun gitu, mereka berdua masih lebih mending daripada aku, yang kalau nyari rute blusukan ujung-ujungnya pasti... nyasar. #hehehe
Cukup intermezzonya. Mari kita kembali ke jalan yang tidak lurus!
Tengah Petualangan: Keindahan Tersembunyi di Kayangan
Usai menuntun sepeda sembari menyibak semak, akhirnya kami ketemu jalan aspal desa. Kami yakin, inilah jalan yang dimaksud GPS Garmin dan segala map-map canggih itu. Tapi toh perjalanan tidak serta-merta jadi mulus. Selain jalannya yang tidak halus, jumlah tanjakannya rawan bikin kami cepat kurus.
Duh!
Di tengah penderitaan dengkul, datanglah kabar gembira dari Paklik Turtlix. Menurut GPS, titik “pemberhentian resmi” pertama sudah dekat. Titik ini menandakan kami sudah setengah jalan mengelilingi Kayangan. Titik ini berupa jembatan. Semoga saja bukan jembatan “ajaib”.
Jembatan yang dimaksud letaknya di Dusun Kalingiwo, Desa Pendoworejo, di Kecamatan Girimulyo. Sekilas, jembatan kecil yang melintasi sungai ini nggak spesial. Begitu pula dengan jembatan tua di dekatnya. Tapi, lokasi ini cukup spesial buat warga sekitar. Mereka sering mancing di tempat ini.
Karena penasaran, iseng-iseng kami pun menyisir sungai di bawah jembatan. Eh! Ternyata ada tempat spesial yang cocok banget untuk “foto keluarga”. Subhanallah indah banget! Nggak nyangka di atas Kayangan ada tempat macam ini. Yang alami seperti ini jelas adanya di Kulon Progo! #promosi
Akhir Petualangan: Mencari Jalan Turun Kayangan
Jarum jam bergeser pelan ke angka 10.00 WIB. Mentari kian bergulir ke puncak ubun-ubun. Sebelum panas kian menyengat, kami memutuskan untuk segera hengkang. Karena ada prinsip “Pantang Pulang Lewat Jalan yang Sama”, alhasil kami ikuti saja jalan selepas jembatan spesial itu. Entah berujung di mana. Semoga saja ada jalan untuk turun dari Kayangan.
Di awal perjalanan pulang, kami diiringi oleh penduduk negeri Kayangan. Eh, lebih tepatnya sih rombongan petugas dari Puskesmas Girimulyo. Mereka ini mau melakukan penyuluhan. Karena jalannya searah, jadi ya barengan deh.
Setelah berpisah dengan mereka, suasana serasa berpindah ke negeri antah-berantah. Jalan batu berganti jadi jalan tanah. Lebatnya hutan kian lama kian bertambah. Adapun tanjakan seakan tak berkurang jumlah. Ah, pokoknya susah!
Eh! Nggak boleh mengeluh! Sebab, warga setempat saja nggak menunjukkan raut jenuh.
Aku heran, kok ya masih ada orang yang sudi bermukim dikelilingi hutan lebat ya? Kendaraan bermotor jelas susah lewat. Kalau malam suasananya gelap pekat. Rumah tetangga pun tidak dekat. Apa pilihan hidup mereka patut dibilang hebat? Hmmm...
Di tengah rimbunnya hutan, kami sempat istirahat beberapa kali. Dari kejauhan kami menangkap pemandangan yang tidak asing. Itu hamparan sawah yang kami lewati menuju sungai Kayangan! Berarti sekarang, kami ini berada tepat di atas tebing Kayangan! Waow! Coba deh pembaca bandingkan foto di bawah ini dengan foto di awal artikel.
Sampai sejauh ini pun kami belum menemukan jalan turun dari Kayangan. GPS Garmin pun hanya menyebutkan jarak sekian meter tanpa menyebut jalan yang mana. Sinyal hape jelas susah didapat. Sekeliling masih hutan, tak ada orang untuk ditanya. Duh, masak kami nggak akan bisa membumi lagi?
Ndilalah, kami berjumpa dengan sebuah rumah dan syukur pemiliknya ada di tempat. Kami pun diberi arahan, kalau terus menanjak bakal sampai di Desa Purwosari. Sedangkan, kalau memilih cabang jalan kecil bakal kembali menuju perempatan Kenteng. Jelas kami memilih pilihan yang terakhir. Tapi ada satu pengecualian, jalannya itu rusak dan wujudnya turunan tajam. Waduh!
Ah, jalan rusak tak jadi soal. Bila terpaksa sepeda pun bisa dituntun. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai di Dusun Gunturan di wilayah Desa Pendoworejo. Jam menunjukkan pukul 11.00 WIB.
Untuk yang kedua kalinya kami berhenti di sebuah jembatan kecil, sebab aku “mengendus” bau curug. Benar saja, sepertinya memang ada curug di bawah jembatan ini. Hanya saja debit airnya kecil karena akhir April ini sudah jarang turun hujan.
Jembatan ketiga sekaligus jembatan terakhir yang membekas di ingatan adalah jembatan besar yang melintasi anak cabang Kali Progo. Dari atas jembatan, kami lihat seorang Bapak sedang menghanyutkan batang-batang bambu. Ini supaya mudah memindahkan bambu tanpa mesti diangkut tangan. Cerdik ya?
Sekitar pukul 12.00 WIB kami tiba kembali di Perempatan Kenteng. Misi keliling Kayangan sukses terlaksana! Terima kasih untuk Pembaca yang sudah mengikuti cerita panjangku ini sampai sini. #senyum.lebar
Nah, kira-kira apa yang bisa pembaca tangkap dari cerita kami keliling Kayangan? Semoga tidak membosankan ya, hahaha. #senyum.lebar
Oh iya, kalau foto-fotonya kurang jelas, klik aja fotonya untuk melihat versi besarnya. Ok? Sip!
saya,yang dulu tahun 1983 s/d 1986
merupakan jalan saya menimba ilmu di spg
pgri nanggulan, aku waktu itu merupakan
warga desa purwosari, sekarang tinggal di
weleri kab.kendal jawatengah
bayangke hutan2 sungai...adeem
kalo musim kemarau kira2 kering nggak ya disana?
makasi
katanya angker ya..xixixi..
gps pula.. joss :D
kira2 keliling kayangan ketemu dewa-dewi ndak ya...:D
wherever you go, sikilfie is a must. hahahaha
blusukers nowadays
Tapi seru banget ceritanya, Mas. Dan fotonya bagus-bagus... :D
sebelumnya. Artikel ini hasil manipulasi terstruktur, sistematis dan matematis. Kalau
pembaca tidak percaya, silakan cek langsung ke TKP. Pembaca akan melihat fakta, dan
tidak perlu menunggu keputusan MK.
NB: Mawi...komentar ini tidak pantas dikomentari. :)
buat rancang sepeda nie hehe
meskipun penuh perjuangan .. tapi akhirnya menemukan spot yang bagus sekali.
anak jaman sekarang yang golongan anti mainstream pasti suka spot ini ..
kemana ya? Di Jakarta hutannya sudah berubah jadi hutan beton. Sungainya jadi sungai
jelaga.. :(
Note: kalau pulangnya dari perempatan Kenteng ke timur, berarti masih \"melalui jalan yg sama\" dong. Harusnya belok kanan ke selatan, tembus Jalan Wates. Nah, itu baru maknyuusss .... hehehe :P
Lho, yang mesti beda jalan itu hanya di seputar Kayangan saja. Kalau udah sampai di Kenteng kan sudah \"membumi\" jadinya mau jalan manapun bebas. (alasan) Hahaha :D