HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Pak Riyadi dan Senja di Bukit Prambanan

Senin, 25 Agustus 2014, 04:59 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Sore hari itu, mendung menggelayut di langit utara Yogyakarta. Belaian angin perlahan-lahan menggiringnya ke selatan. Sedikit demi sedikit, rona biru pun lenyap.

 

Ah... sirna sudah peluang menyaksikan cerahnya langit senja di penghujung satu Syawal 1435 Hijriyah (28/7/2014). #sedih #sedih

 


Nggak hujan tapi kok ya mendung...

 

Nun jauh di bawah langit, aku bersama Mbah Gundul memacu kereta angin kami menembus lenggangnya Jl. Raya Jogja – Solo ke timur menuju Prambanan. Semula sih hanya sekadar silaturahim. Lantas berakhir dengan ajakan menikmati senja sembari bersepeda. Mumpung jalanan di hari pertama lebaran masih sepi. #senyum.lebar

 

Tak butuh waktu lama untuk akhirnya tiba di Kecamatan Prambanan. Kami pun menyebrang rel kereta api ke arah selatan. Disusul dengan melahap medan tanjakan di Perbukitan Pereng menuju resor Abhayagiri Sumberwatu Heritage.   

 

 

Mentari senja semakin merapat ke ufuk barat saat kami tiba di puncak tanjakan. Rute tersingkat dipilih, yakni jalan semen menanjak yang berada tak jauh dari Abhayagiri Sumberwatu Heritage serta SDN Sumberwatu.

 


Baru segini doang kok dirimu sudah nuntun Mbah? #hehehe

 

Berdasarkan pengalaman menjamah wilayah ini bertahun-tahun lamanya, aku ingat ada suatu tempat di pinggir jalan desa yang menyajikan pemandangan indah dari atas bukit. Hanya butuh sekitar 5 menit bersepeda dari tempat kami berada. Rutenya ya tinggal ikuti jalan desa saja ke arah timur.

 

Setibanya di sana, seorang bapak dan seorang ibu juga tengah menikmati pemandangan senja. Dengan ramah mereka mempersilakan kami turut serta. Sang bapak memperkenalkan diri sebagai Pak Riyadi. Sedangkan sang ibu adalah istrinya. Rumah mereka tepat berada di seberang jalan.

 


Menikmati senja dari atas bukit dan di pinggir jalan.

 

“Di tempat ini kita bisa lihat sunrise sekaligus sunset Mas. Kalau subuh-subuh sering ada turis asing yang kemari nunggu sunrise. Mereka diantar mobil dari hotel dan mobilnya diparkir di pekarangan rumah saya.”, ujar Pak Riyadi sambil menunjuk pekarangan rumahnya yang cukup luas.

 


"Sunsetnya ada di sana Mas", kata Pak Riyadi sambil menunjuk arah barat.

 


AGH! Sayang sekali langitnya mendung...
Coba Pembaca lihat warna sawah yang keemasan itu. Subhanallah. Cantik sekali kan?

 


Tapi, dua menit setelahnya, cahaya keemasan itu lenyap. Sawahnya jadi hijau lagi.
Fotografi memang benar-benar bergantung pada lokasi dan waktu.

 

Sempat terpikir, enak sekali punya rumah seperti Pak Riyadi ini. Tiap hari bisa menyaksikan pemandangan indah mentari terbit sekaligus terbenam tanpa perlu jauh-jauh beranjak dari rumah. Iya sih, lokasinya terpencil di atas bukit. Tapi mungkin saja ada orang yang rela bayar mahal demi menikmati keindahan alam ini setiap harinya. 

 


Rumah sederhana Pak Riyadi dengan halaman luar dan pemandangan cantik.

 

“Tanah di ujung sana sudah dibeli hotel X Mas (nama disamarkan #hehehe). Luasnya 10.000 meter persegi. Abhayagiri ya juga punya semacam gardu pandang di bukit sana.”, ujar Pak Riyadi sambil menunjuk wilayah perbukitan yang masih tertutup hutan.

 


Bila kawasan ini dikomersialkan, mungkin tak akan lagi bisa kita lihat pemandangan semacam ini.

 

Waduh! Ternyata usaha hotel sudah merambah ke perbukitan Prambanan! Tempat-tempat terpencil semacam ini perlahan-lahan berpindah kepemilikan. Berubah jadi lokasi usaha yang menjual pemandangan. Bisa-bisa, kelak di masa datang tak ada lagi ruang yang tersisa untuk bisa menikmati keindahan karya Tuhan dengan cuma-cuma.

 


Remaja-remaja tanggung ini pun mungkin akan kesulitan menikmati indahnya ciptaan Tuhan dengan cuma-cuma.

 

“Hari gini tempat mana sih Wis yang nggak dibeli orang berduit?”, tanya Mbah Gundul sambil berlalu

 


Semoga saat mentari terbit di esok hari, tidak akan ada yang berubah dari tempat ini.
Masa depan semoga akan lebih cerah...

 

Begitulah. Seiring dengan mentari yang mulai terbenam, kami pun pamit pada Pak Riyadi. Obrolan ngalor-ngidul di sore hari itu (mulai dari sepinya Jogja di lebaran hari pertama hingga keberadaan Candi Miri di ujung bukit) menutup kisahku di hari raya idul fitri tahun 2014.

 

Pembaca apa tahu di tempat-tempat terpencil lain yang menyajikan pemandangan indah seperti ini terancam dirambah untuk dikomersilkan?

NIMBRUNG DI SINI