HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Merapi di Penghujung 2013

Jumat, 6 Juni 2014, 06:30 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Hari boleh berlalu dan tahun boleh berganti, namun Gunung Merapi tetap setia berdiri tegak di utara Yogyakarta. Ia tak pernah berpindah tempat dan mungkin akan tetap pada tempatnya sampai datangnya hari kiamat.

 

Dunia ternyata tak berakhir di tahun 2013 silam. Adapun beberapa hari menjelang pergantian tahun di hari Senin (30/12/2013), aku bersama Pakdhe Prap dan Mas Pitra sekali lagi kembali mendahului terbitnya mentari menuju lereng Merapi.

 

Sepanjang perjalanan dari Kota Jogja menuju Cangkringan, ketidakpastian akan selalu hadir dan memang akan tetap seperti itu. Tak ada yang bisa meraba pasti wujud Merapi dalam gulita pagi. Apakah cerah atau mendung? Tak ada yang tahu.

 

 

Suasana di basecamp Jeep lavatour masih sunyi sepi. Belum ada operator yang menampakkan batang hidungnya. Sementara itu, Merapi perlahan muncul dengan malu-malu. Barulah pukul 06.00 WIB ada operator jeep wisata yang bersedia mengantar kami.

 

 

Jujur, Merapi tak terlalu elok di pagi itu. Tidak cerah namun juga tidak mendung. Bagaimanapun,  pesonanya tetap mengundang decak kagum kami untuk mengabadikannya. Di pos gardu pandang, kami berharap bisa mengenalnya lebih dekat. Namun ternyata, tempat ini bukanlah lokasi ideal untuk mengabadikan pesona Merapi.

 

 

Jeep yang kami tumpangi berhenti beberapa kali. Beberapa tempat di pinggir jurang Kali Gendol kami sambangi demi mengincar posisi motret yang ideal. Sungguh tak satu pun ada yang menjadi hot spot. Apakah memang Merapi benar-benar kehilangan hot spot memotret setelah erupsi empat tahun silam?

 

 

Kaliadem pun membisu tanpa jawaban. Sesekali, raungan mesin backhoe dan deru knalpot truk pasir seakan berebut memberi jawaban. Tak ada bisikan yang terdengar dari pasir yang tertutup oleh tumpukan sampah plastik. Ah, ingin rasanya kembali ke masa sebelum empat tahun silam.

 

 

Sosok Merapi memang tampak anggun dari kejauhan. Namun begitu didekati, ia tak seelok saat kami mengenalnya untuk yang pertama kali. Roda waktu terus berputar. Semoga saja rimbunnya pepohonan Merapi kian hari tidak bertambah pudar.

 

 

Ah, mungkin suatu saat nanti kaki ini mesti menjejak sisi timur Kali Gendol di mana rimbunnya pepohonan masih terjaga dengan aman. Mungkin di sana kami bisa sedikit mengobati kerinduan akan Merapi di masa muda.

 

Pembaca suka melihat gunung kan?

NIMBRUNG DI SINI