HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Valentin Berdebu Kelud di Jogja

Sabtu, 15 Februari 2014, 14:23 WIB

Di negeri londo sana, tanggal 14 Februari itu disebut-sebut sebagai hari valentin. Hari yang konon penuh dengan aura cinta dan kasih-sayang. Ihik ihik.

 

Untuk warga Jogja dan sekitarnya, pagi hari di hari valentin 2014 adalah hari yang nggak akan terlupakan. Di hari Jum’at pagi (14/2/2014) itu mimpi valentinku terputus oleh dering telpon. Aku baru mengumpulkan nyawa, di seberang telepon sudah bertanya.

 

“Bangun! Pikirmu sekarang jam berapa!?”

 

Aku nengok ke jendela. Langit masih gelap. “Jam lima ya? Apa jam empat?”

 

“Ini sudah jam enam lebih lho!”

 

Ada apa ini pikirku. Malam harinya aku masih melek bekerja sampai pukul dua pagi.  Sambil diselingi menonton video Korea Utara di YouTube. Apa jangan-jangan pagi ini Jogja diserbu tentara Pyongyang?

 

“Di luar hujan abu!”

 


Weladalah...tebal banget...

 

Aku lompat dari kasur. Nyawa mendadak full 100%. Benar saja, abu sudah masuk halaman rumah. Aku lantas ngibrit keluar ke pos ronda dan ikut ngumpul bareng para tetangga yang sedang nonton tayangan televisi.

 

Oh, ternyata Gunung Kelud di kabupaten Kediri, Jawa Timur meletus semalam. Hujan abunya mengguyur Kota Jogja yang berjarak lebih dari 300 km dari Kediri. Suasana ini bikin aku teringat sama peristiwa bencana empat tahun silam saat Merapi erupsi. Suasana Kota Jogja yang berdebu saat itu sempat diabadikan oleh temanku si Indomie Goreng. Eh? Apa saat ini dia juga melakukan hal yang sama ya?

 

Setelah memastikan kondisi rumah aman untuk ditinggal, aku pun mencoba meniru tingkahnya Indomie Goreng empat tahun silam yaitu keliling kota Jogja. Selain untuk moret-motret, aku sebenarnya berniat sekalian mampir ke Pasar Kranggan, beli ikan untuk makan kucing-kucingku.

 


Eh, sampah yang nanti dikumpulkan warga apa juga jadi kerjannya petugas pengangkut sampah nggak ya?

 


Debu dari lokomotif uap dengan debu vulkanik bentuknya sama nggak ya?

 


Perdagangan di Malioboro lumpuh. Daripada kena debu, mending tutup dulu.

 

Bersepeda ke Pasar Kranggan yang berjarak kurang dari 1 kilometer itu terasa bagaikan bersepeda sejauh 5 km. Debu-debu berterbangan. Jarak pandang terbatas. Betul-betul penuh perjuangan deh!

 

Eh, sampai di Pasar Kranggan, aku hanya bisa pasrah melihat para pedagang yang bernisiatif tutup lebih awal karena barang dagangan mereka tercemar debu vulkanik. Beh! Kucing-kucingku terancam puasa hari ini...

 


Pedagang Pasar Kranggan masih ada yang berjualan dengan resiko kotor oleh debu.

 

Ya sudah, dari Pasar Kranggan aku lanjut bersepeda ke kediamannya Paklik Turtlix, persis yang aku lakukan di tahun 2010 silam. Sekarang lebih enak sih. Dirinya sudah pindah dari Jogokariyan ke Tegalrejo yang berjarak sekitar 1 kilometer kurang dari Pasar Kranggan.

 

Setelah menembus kepulan debu yang berterbangan di Jl. Magelang, akhirnya sampai juga di kediamannya Paklik Turtlix. Sekarang dia sudah tinggal bareng Indomie Goreng yang jumlah peliharaan kucingnya masih banyak. Aku jadi nggak enak hati mau minta ikan. Tapi bukannya diberi ikan, aku malah diberi piring buat disuruh sarapan. Ya sudahlah.

 


Ceritanya sedang gangguin aktvitas paginya pasutri. #senyum.lebar

 

Setelah bertamu beberapa menit, aku meluncur pulang lewat rute yang berbeda pas pergi. Sebenarnya sih mau mencari masker, karena aku nggak punya persediaan masker di rumah.

 


Kali Code jadi cokelat, semoga saja nggak banjir.

 


Antri di Apotek UGM yang belum buka. Kebanyakan mau beli masker.

 


Karena warung makan banyak yang tutup, gerai siap saji pun diserbu.

 

Pas lewat perempatan Tugu, aku lihat banyak relawan yang bagi-bagi masker. Jadilah aku minta satu masker dari mereka. Di sana aku melihat ada seorang bapak memasang masker dibantu relawan. Si bapak ini masang maskernya sendiri sih. Lha terus ngapain si relawan? Nah, si relawan ini membantu memegang meja yang dibopong si bapak di kepalanya itu supaya tidak jatuh. Kenapa ya si bapak tidak menurunkan mejanya itu dulu?

 


Saling tolong-menolong menghadapi bencana.

 

Menurutku inilah makna hari kasih-sayang yang harus kita tularkan, tolong-menolong, bukan cinta-cintaan. Apa pun kesusahan yang dihadapi manusia bakal bisa teratasi asalkan saling tolong-menolong. Eh, tapi harus dari sisi positif lho ya! #senyum.lebar

 

Bicara tentang tolong-menolong, aku pingin agar pertolongan juga datang dari langit, berupa hujan air (hujan duit ya bolehlah), agar abu yang nempel di atap dan pohon ikut tersapu. Jadi kalau sudah bersih-bersih rumah nggak kotor lagi kena abu.

 


Walau kota tercinta terkena bencana...

 


... hidup tetap harus berlanjut. #akurapopo

 

Ya sudah deh, aku mau ngepel lagi. Lebih efektif dipel supaya debunya nggak berterbangan.

 

Pembaca juga kena debu Gunung Kelud nggak ya?

NIMBRUNG DI SINI