HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Tanjakan Klegung yang Tidak Masuk Akal

Minggu, 24 November 2013, 10:19 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Lama nggak bersepeda dengan Mbah Gundul, dirinya ganti menawariku rute bersepeda yang katanya menarik dan tentu saja... DI - RA - HA - SI - A - KAN. Beh!

 

“Udah ikut aja. Pokoknya menarik!”

“Rutenya tanjakan Mbah?”

“Iya, tapi tanjakannya nggak masuk akal.”

 

Ah, Mbah Gundul ini. Mana pernah tanjakan itu masuk akal Mbah? Tanjakan itu ya masuk dengkul. Dilakoni sambil ngos-ngosan. Umpamanya tanjakan itu masuk akal, nggak bakal ada orang yang mau nanjak Mbah! Lha wong menurut akal sehat nanjak itu bikin capek Mbah!

 

Ya toh Mbah? #hehehe

 

Maka dari itu, di hari Minggu (27/10/2013), kami bertiga bersepeda menuju tanjakan yang katanya si Mbah nggak masuk akal itu. Oh ya, yang peserta ketiganya itu bukan dhemit lho, tapi pria gagah perkakas bernama Estu. Dia menyebut dirinya sebagai mapala UIN alias mahasiswa paling lama di UIN, hahaha. Semoga cepet lulus kuliah yo bro! #senyum.lebar

 


Bersepeda berlatarkan menara pemancar televisi.

 

Rute menuju tanjakan ini nyaris sama persis seperti saat bersepeda ke Tanjakan Petir sekitar setahun yang lalu. Singkatnya, dari Jogja ke Desa Srimartani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Belokan ke Desa Srimartani itu terletak 1 km di utara lampu lalu lintas Pasar Piyungan (Jl. Jogja – Wonosari km 14).

 

Nah, sebelum tanjakan petir dimulai, ada pertigaan tuh, ambil cabang jalan ke arah kiri. Kalau bingung lihat foto di bawah ini.

 


Jangan nanjak, tapi belok kiri!

 

Dari pertigaan jalan itu sih sudah banyak tanjakan yang menanti. Tapi ya semua tanjakan itu masih masuk akal. Eh, maksudku masuk dengkul, alias bisa aku libas tanpa perlu menuntun sepeda. #hehehe

 


Oke deh! Kami selalu hati-hati kok kalau nanjak. #hehehe

 

Sekitar sepuluh menit berkendara, kami sampai lagi di persimpangan jalan dekat kuburan dan jembatan. Di dekat sana terdapat patok BPN bertuliskan perbatasan Gunungkidul – Sleman. Waow! Sudah pindah kabupaten lagi!

 


Jembatan pemisah kabupaten Bantul dan Gunungkidul.

 

Setelah menyebrang ke wilayah Gunungkidul, tibalah kami di Dusun Klegung. Jaraknya dari jembatan hanya sekitar 200 meter. Di dusun ini banyak jalan buntu. Satu-satunya tujuan berikutnya tertera pada papan petunjuk di bawah ini.

 


Masak ya lewat jalan buntu? Jadi...

 

Doh! Aku sudah bisa menebak ke mana tujuan Mbah Gundul sebenarnya. Saat itulah Mbah Gundul kembali angkat suara.

 

“Ini dia tanjakan yang nggak masuk akal itu!”

 


Awal dari jalur penderitaan.

 

Aku menyebutnya sebagai Tanjakan Klegung. Kalau Pembaca senang bersepeda nanjak dan pernah menjajal rute-rute tanjakan jahanam macamnya Tanjakan Cinomati dan Tanjakan Petir, bolehlah tanjakan ini dijajal. Yang bisa lolos bersepeda tanpa nuntun di Tanjakan Klegung ini dijamin bisa lolos di semua tanjakan legendaris yang tersebar di seantero Yogyakarta.

 

Tanjakannya aku pisah jadi dua bagian. Bagian pertama aku beri nama “Tanjakan Pembuka”. Tanjakan ini tergolong masuk akal, eh... masuk dengkul! #hehehe

 

Orang-orang yang sudah terlatih bersepeda bisa bersepeda nanjak di sini tanpa berhenti. Titik puncaknya adalah tikungan.

 

Nah, setelah tikungan ini adalah bagian kedua yang aku beri nama “Tanjakan Penghabisan”. Kalau Pembaca penasaran, cobalah dijajal. Berapa meter kiranya Pembaca bisa bersepeda nanjak dari tikungan dengan ban sepeda masih menapak jalan, hehehe. #hehehe

 


Ini dia tanjakan yang tidak masuk akal.

 

Kemiringan tanjakan ini luar biasa miring! Mungkin ada sekitar 70 derajat, sebab aku melihat ada tulisan “68” di awal Tanjakan Klegung. Padahal jaraknya lumayan pendek, sekitar 100 meter saja. Total jarak tanjakan Klegung ini ada sekitar 200 meter.

 


Maksud angka 68 ini apa ya? Di foto sebelumnya juga ada angka 58.

 


Di dekat tanjakan ada belik (mata air). Mungkin kalau airnya diminum jadi kuat nanjak? #hehehe

 

“Aku sudah tiga kali kemari. Tiga-tiganya aku gagal. Aku nuntun sepeda.”

“Lho Mbah, bukannya dirimu bilang selama Dinas PU (Pekerjaan Umum) masih bisa mengaspal jalan kan dirimu masih sanggup nanjak tanpa nuntun?”

“Lha ini jalan kan bukan aspal bikinan Dinas PU! Ini kan cuma cor-coran semen biasa! Mana bisa alat beratnya Dinas PU lewat sini kalau kemiringannya seperti ini?”, kata mbah Gundul bersungut-sungut.

 

Mbah Gundul... Mbah Gundul... rupanya hanya karena obat rayap dirimu sudah tidak sesakti dulu lagi.

 


Manusia yang konon sakti itu akhirnya nuntun sepeda juga.

 

Singkat cerita, selepas Tanjakan Klegung nggak ada lagi tanjakan jahanam yang berarti. Dan jalan tembusnya ternyata adalah... eng-ing-eng... Dusun Gembyong, Desa Ngoro-oro, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul! Dusun Gembyong ini terkenal dengan 2 hal. Pertama, jembatan gantung Lemah Abang. Kedua, air terjun purba yang bernama Njurug Gedhe.

 


Di puncak tanjakan dekat dengan masjid.

 

Aku beberapa kali bersepeda lewat sini. Umumnya sih, rute yang dilalui mesti lewat Tanjakan Patuk dan Gunung Api Purba Nglanggeran. Tapi, berkat Tanjakan Klegung yang diperkenalkan oleh Mbah Gundul, aku jadi tahu rute tersingkat menuju Dusun Gembyong. Walau ya... resikonya lebih nanjak, hehehe. #hehehe

 


Sehabis nanjak dikasih bonus air terjun.

 

Kalau sudah sampai sini ya sudah jelas, rute pulangnya adalah lewat jembatan gantung Lemah Abang yang tanjakannya tergolong jahanam. Beh! Pulang pun masih harus nanjak! #hehehe

 

Berhubung Mbah Gundul tahu kalau aku dan Estu sudah kehabisan tenaga untuk melibas tanjakan, maka kami berhenti di satu-satunya warung dekat jembatan. Di sana Mbah Gundul membeli tape khas Gunungkidul. Harganya murah banget, satu bungkus dihargai Rp250 dan Mbah Gundul beli 40 bungkus tape.

 


Tape (kiri) dan bahan dasarnya (kanan).

 

Kalau kata Ibu pemilik warung, tape yang kami beli itu baru saja difermentasi, jadi belum siap disantap. Tapi ya berhubung perut sudah keroncongan dan di depan sudah menanti tanjakan jahanam, ya... santap sajalah! Menurutku rasanya enak banget, serius, entah karena aku lapar atau gimana. Yang jelas, aku nggak sakit perut, hahaha. #senyum.lebar

 

Jadi begitu deh Pembaca. Kalau Pembaca mau mencoba jalan tersingkat menuju Ngoro-oro, boleh dicoba lewat Tanjakan Klegung. Berdoa dulu ya semoga kendarannya kuat nanjak, hehehe. #hehehe

NIMBRUNG DI SINI