Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Lama nggak bersepeda dengan Mbah Gundul, pada suatu ketika dirinya kembali menawari aku rute bersepeda yang boleh dibilang menarik.
“Ada curug. Dekat Selopamioro. Medannya bersahabat. Katanya mau dikembangkan jadi obyek wisata,” terang Mbah Gundul.
“Waaah, lokasi persisnya di mana itu Mbah?” aku penasaran.
“Rahasia! Hehehe. Ntar kalau tahu nggak lagi seru!”
Wah, ini dia! Dari pengalaman yang sudah-sudah, kalau Mbah Gundul menyebut kata kunci “rahasia”, pastilah ujung-ujungnya bakal dibumbui adegan “koyok” yang menyiksa urat dengkul.
Jadi, sebelum aku mengiyakan ajakan si Mbah, aku harus berkali-kali memastikan dulu kalau medannya benar-benar aman. Lha kan biasanya medan jalan ke curug-curug itu penuh tanjakan toh? #hehehe
SILAKAN DIBACA
Pada hari Minggu (4/5/2013), dari sekian banyak manusia yang menyahut pemberitahuan di wall Facebook, berkumpullah aku, mbah Gundul, Pandu, dan Pakdhe Timin di Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta. Sekitar pukul 07.30 WIB, berangkatlah kami bersepeda ke lokasi curug yang dirahasiakan Mbah Gundul itu.
Karena Mbah Gundul bilang patokannya Selopamioro, awalnya aku menerka rutenya bakal lewat sana. Tapi ternyata Mbah Gundul nggak memandu kami menuju Selopamioro! Tapi ke arah Makam Raja-Raja Imogiri.
Setelah berada di Jl. Imogiri Timur gantian Pandu yang memimpin sekaligus memilih rute blusukan. Kami berbelok ke arah Sindet dan tahu-tahu sudah berada di Desa Wukirsari di Kecamatan Imogiri. Desa Wukirsari ini terkenal dengan sentra batik tulis dan jasa gurah.
Memasuki Dusun Giriloyo giliran Mbah Gundul yang kembali pegang kendali. Kami blusukan menuju rumah salah seorang kenalan si Mbah yang bernama Ferdi. Dia ini berprofesi sebagai tukang kayu yang pernah memasang gebyok di padepokan Ki Ageng Sekar Jagad.
Kami sampai di kediaman Ferdi sekitar pukul 08:50 WIB. Sedari tadi medan jalannya menuju ke sini ya landai. Selandai Jl. Imogiri Timur lah.
Hmmm, bisa jadi Mbah Gundul benar kalau medan jalan ke curug ini bersahabat. Ah, kok ya aku sudah negative thinking sama si Mbah duluan sih? #hehehe
Setelah beramah-tamah dan menghabiskan gelas-gelas wedang uwuh yang tersaji, kami pun diajak Ferdi untuk jalan kaki menuju curug. Katanya sih, letak curugnya itu dekat dari rumahnya.
Berhubung kami menempuh rute “jalan belakang”, alhasil medannya nggak umum. Medan pertama yang harus kami libas adalah hutan belantara. Doh!
Banyak hal menarik yang kami temui saat melibas lebatnya hutan. Pertama, ada curug kering yang katanya Ferdi debit airnya besar saat musim penghujan. Kedua, Mbah Gundul sempat beraksi menangkap reptil biawak untuk dibawa pulang! Biar lebih seru, tonton saja video di bawah ini! #senyum.lebar
Sekitar 30 menit berjalan kaki tibalah kami di suatu tebing. Katanya Ferdi, curugnya ada di dasar tebing. Karena itu ya... kami pun harus menuruni tebing! MODYAR!
Weeeeeeh... betul juga kan dugaanku di awal-awal itu! Ternyata aku salah besar!
Memang sih medan jalannya bersahabat pas bersepeda sampai rumahnya Ferdi. Tapi kok ya malah pilihan rute menuju dasar curug yang luar biasa koyok! Sepertinya ya rute yang ditawarkan oleh Mbah Gundul nggak pernah jauh-jauh dari hal-hal yang nggak umum seperti ini deh. Doooh!
Eh, petualangan menuruni tebing sampai ke curug ini juga bisa dikemas jadi obyek wisata lho! Lebih tepatnya obyek wisata kurang kerjaan bagi orang-orang pekok semacam kami. #hehehe
Asal tahu saja, tebing yang menjadi medan akrobat kami ini terbentuk dari batuan lahar beku. Aku lumayan sulit menemukan pijakan yang pas. Salah memijak bisa-bisa tergelincir dan jatuh. Untung kami menuruni tebing dengan dipandu Ferdi. Jadinya paham mana saja bagian tebing yang aman dipijak.
Alhamdulillah, kami semua lulus menuruni tebing dan tiba dengan selamat di curug. Walau ya... sepatuku jebol dan lengan kiriku keseleo. Untungnya sih ada pijatan dari Mbah Gundul, hehehe. #hehehe
Jebul curug yang kami datangi ini bernama Curug Seribu Batu. Dahulu kala curug ini dikenal dengan nama Curug Cengkehan.
Debit air Curug Seribu Batu ini nggak begitu besar. Pada musim kemarau boleh jadi debit airnya bakal lebih surut lagi sebagaimana karakteristik curug-curug yang ada di Kabupaten Bantul. Walaupun demikian airnya lumayan jernih lho!
Letak Curug Seribu Batu berdekatan dengan makam Pangeran Cirebon. Jadi, bagi Pembaca yang berkunjung ke makam Pangeran Cirebon bisa sekalian mampir ke curug ini.
Sekitar pukul 11.00 WIB kami tiba kembali di rumah Ferdi. Setelah berpamitan, kami langsung tancap pedal menuju Kota Jogja. Sayangnya, di perjalanan pulang cuacanya PANAS BANGET! Jadi ya... lama baru sampai rumah lagi deh.
Sekian dulu ceritaku! #senyum.lebar
Pembaca tertarik singgah di curug ini? Jangan lewat “jalan belakang” lho ya! Hehehe. #hehehe
hahaha
selalu koyok.....
tapi keren...
aku mbok diajak ngepit2 kayak gini mas..
kalo ada rencana lagi aku di imel ya..
mancal pokmen
Biasa mbak di Jawa kan masih banyak hal-hal klenik. Jadinya sudah nyepeda mbak?
bagusan kedungmiri menurutku hehe