HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Curug Kedung Miri Terbukti Ada!

Kamis, 25 April 2013, 19:29 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Seingatku, terakhir kali aku ke Desa Selopamioro itu tahun 2011, pas bareng sama teman-teman SPSS. Kunjungan yang terakhir itu ... #menghela.napas ... cukup berbekas di dengkul ingatanku. Sebab, waktu itu kami dapat “kejutan” rute menuntun sepeda yang.... ah, pokoknya yaaa... gitu deh. #hehehe #pikirkan.sendiri

 

Nah, bertahun-tahun kemudian, tepatnya di hari Sabtu (26/1/2013) yang lalu, aku menyempatkan mampir lagi ke Desa Selopamioro. Kali ini nggak full-team dengan kawan-kawan SPSS, melainkan hanya dengan Mbah Gundul, Paris, dan Kang Narno. Pergi ke Desa Selopamioro-nya ya masih dengan bersepeda lah.

 


Wuih! Rambu apaaan tuh!

 

Awalnya sih, kami sama sekali nggak merencanakan rute bersepeda ke Desa Selopamioro. Jadi, rencana aslinya sewaktu itu adalah mengunjungi rambu peringatan unik yang dipotret oleh Mbah Gundul yang lokasinya dirahasiakan #sok.misterius. Eh, ternyata lokasi rambu unik itu dekat dengan Desa Selopamioro. Jadi yaaa... sekalian mampir deh. #senyum.lebar

 

Mampir Selopamioro Lagi dan Melihat "Penampakan" Lagi

Desa Selopamioro di tahun 2013 ini masih sama seperti Desa Selopamioro di tahun 2011. Jembatan gantung kuningnya masih ada. Pemandangannya juga masih indah. Alhamdulillah, belum ada orang kaya kelebihan uang yang nekat bangun hotel di sana, hahaha. #senyum.lebar

 

Tapi, karena kami singgah di Desa Selopamioro di awal musim hujan, jadinya air Kali Oya warnanya cokelat milo gitu. Ah, coba milo beneran. Kan enak habis bersepeda bisa minum milo dingin. #hehehe

 


Seandainya bisa diminum ya...

 

Nah, pas kami lagi asyik-asyiknya bersepeda di seputaran Desa Selopamioro itu lah Mbah Gundul melihat ada “penampakan menarik” di atas bukit. Bukan penampakan dhemit lho ya! Melainkan penampakan curug alias air terjun. Mbah Gundul pun lantas memberi tahu aku walaupun sebenarnya ya... aku sudah tahu perkara penampakan curug itu. Dari dulu banget malah. #hehehe

 

Sejak tahun 2011 silam, sebetulnya aku sudah melihat “penampakan menarik” curug di atas perbukitan Selopamioro itu. Hanya saja, semangat untuk mendekat ke curug itu seketika surut total tatkala warga setempat memberi tahu aku sebagaimana aku memberi tahu ke Mbah Gundul bahwa,

 

“Itu bukan curug Mbah, itu cuma pipa saluran air yang bocor

 


Jawaban yang tepat adalah...

 

Jawaban itu sebenernya sih setengah masuk akal dan setengah nggak, hahaha. #senyum.lebar

 

Supaya Mbah Gundul jadi lebih yakin sama omonganku, aku undang lah Paris untuk turut memberi verifikasi. Kebetulan, di tahun 2011 silam itu aku singgah di Desa Selopamioro juga bareng Paris dan kami berdua sama-sama melihat penampakan curug di atas bukit Selopamioro itu.

 

“Iya betul Om, itu bukan curug, itu pipa bocor”

 

Gimana Mbah? Masih mau berkutik? Skornya sudah 2 lawan 1 lho? #hehehe

 

 

Weh! Ternyata Mbah Gundul belum mau menyerah! Mungkin karena dia merasa kami berdua berkonspirasi melawannya, alhasil dirinya bertanya ke sejumlah warga terdekat dan memperoleh jawaban yang membuat aku dan Paris keheranan,

 

“Kalau mau ke curug sana, nanti sepedanya diparkir di rumah di bawah aja, dan ke atasnya jalan kaki.”

 

.... oke ....

 

“Benar toh itu curug? Masak air sederas itu pipa bocor?”, kata Mbah Gundul penuh kemenangan

 

Memastikan Curug di Selopamioro Bukan Sekadar Penampakan

Alhasil, jadilah kami beralih haluan bersepeda menuju Dusun Kedung Miri yang letaknya kira-kira persis di bawah curug. Jalan menuju Dusun Kedung Miri landai kok. Jaraknya dari jembatan gantung kuning hanya sekitar 1 km saja.

 

Kali ini Kang Narno nggak ikut kami menyelidiki curug. Dirinya pulang duluan, katanya ada keperluan di rumah. Oke deh, hati-hati ya Kang! #senyum.lebar

 


Peta ke Curug Kedung Miri dari Wikimapia.

 

Masuk di wilayah Dusun Kedung Miri, kami pun parkir di bawah pohon bambu. Warga setempat yang kami tanyai menunjukkan jalan untuk menuju curug. Jalannya ya jalan desa. Untung sudah diperkeras dengan semen. Konturnya agak menanjak.

 


Semoga aman lah parkir sepeda di sini.

 


Jalan-jalan di desa.

 

Di ujung jalan semen, kami berganti menapak pematang sawah untuk menuju curug. Indah banget deh pemandangannya. Ada sawah berundak-undak di atas bukit. Subhanallah.

 


Pemandangan yang cantik, plus... ada bangkai pohon korban sambaran petir.

 

Jarak yang kami tempuh dengan berjalan kaki nggak terlalu jauh. Kira-kira sekitar 300 meter. Tapi lumayan bikin capek juga karena nggak ada satu pun dari kami yang membawa bekal air minum. Apalagi cuaca panas, sepertinya sebentar lagi hujan.

 


Awas kepeleset!

 

Akhirnya, sampailah kami di Curug Kedung Miri. Curug ini nggak seberapa luas dan besar. Aku menduga di musim kemarau debit airnya bisa jadi surut sehingga sekilas tampak terlihat mirip luapan air dari pipa yang bocor. Hmmm, masuk akal sih.

 

Curug Kedung Miri ini sebenarnya bertingkat-tingkat. Namun, kami nggak mendaki sampai di tingkat teratas. Sebab, jalannya lumayan susah! Batu-batu tebing yang perlu didaki lumayan banyak dan lagi kami kan sama sekali nggak membawa bekal minum. Masak nanti kalau kehausan di tengah petualangan mesti minum air sungai? #senyum.lebar

 

Semisal Pembaca sukses mendaki sampai puncak, kabar-kabari ya! #senyum.lebar

 


Curugnya mungil ternyata. Ternyata bukan bohong belaka ada curug di Selopamioro.

 

 

Setelah melepas penat barang sejenak, kami pun bergegas bersepeda pulang. Lapar soalnya. #hehehe

 

Oh ya, Dusun Kedung Miri ini sudah dikonsep menjadi desa wisata yang dibantu oleh mahasiswa KKN. Apa objek utamanya adalah curug ini ya? Ataukah ada potensi lain di Dusun Kedung Miri yang kami lewatkan?

NIMBRUNG DI SINI