Sebelum aku bercerita, aku minta tolong ke Pembaca sekalian untuk mencermati foto yang tampil di bawah ini.
Sudah? #senyum.lebar
Bilamana Pembaca mencari-cari kejanggalan pada foto di atas bisa jadi nggak akan ketemu. Sebab, memang nggak ada yang janggal dengan foto tersebut, hahaha. #senyum.lebar
Ah, mungkin Pembaca kemudian bertanya,
“Lalu apa? Kenapa kalian berfoto di sana?”
Dan aku jawab,
“Kami berfoto di bekas stasiun kereta api.”
Sebelum Pembaca tambah bingung, ini lho bangunan bekas stasiun kereta apinya.
Bangunan berwarna hijau itu dahulu adalah stasiun kereta api. Namanya Stasiun Medari. Letaknya ada di Dusun Medari, Kelurahan Caturharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Lumayan dekat dari Jl. Magelang.
Bangunan bekas Stasiun Medari tergolong beruntung karena hingga saat ini masih bisa kita saksikan berdiri utuh. Bangunan bekas Stasiun Medari saat ini difungsikan sebagai posyandu.
Dulu, Jalur Kereta Api di Yogyakarta itu Banyak
Jalur kereta api yang saat ini menghubungkan Yogyakarta merupakan jalur lama peninggalan Belanda. Dahulu kala, selain jalur kereta api Kutoarjo – Purwosari (barat – timur), Yogyakarta juga memiliki beberapa jalur kereta api lain. Salah satunya adalah jalur kereta api Yogyakarta – Secang (utara) yang sebagian besar melintasi Kabupaten Sleman.
Jalur kereta api Yogyakarta – Secang merupakan jalur kereta api yang menghubungkan Kota Yogyakarta, Kota Magelang, dan Kota Semarang. Jalur ini dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda, NIS (Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij) yang dimulai pada tahun 1898 dan berakhir pada tahun 1905. Taruna Ekspres dan Borobudur Ekspres adalah nama-nama kereta populer yang dahulu kala meramaikan jalur ini.
Sayang, popularitas jalur kereta api Yogyakarta – Secang meredup di kurun tahun 1970-an. Penyebab utamanya adalah populasi kendaraan bermotor pribadi yang kian meramaikan jalan raya. Akhirnya, jalur kereta api Yogyakarta – Secang secara resmi ditutup di tahun 1976 dan menjadi salah satu jalur mati yang kini "menghantui" Yogyakarta.
Bersepeda Menyusuri "Bangkai" Jalur Mati Kereta Api
Di hari Sabtu (30/4/2011), aku beserta kawan-kawan SPSS menggelar agenda bersepeda pagi menyusuri jalur kereta api Yogyakarta – Secang. Berhubung namanya juga bersepeda santai, kami nggak bersepeda sampai Secang lho! Hanya di seputar wilayah Kabupaten Sleman yang dahulu pernah dilalui oleh jalur kereta api.
Dari apa yang kami jumpai, jalur kereta api Yogyakarta – Secang benar-benar mati nyaris tanpa menyisakan bangkai. Berbagai stasiun kini sudah beralih fungsi. Misalnya saja Stasiun Kutu yang menjadi Kantor TVRI dan Stasiun Beran yang menjadi markas Koramil. Bekas rel kereta yang beberapa tahun yang lalu katanya masih bisa terlihat dari pinggir jalan raya kini sudah benar-benar menghilang.
Tapi bersyukurlah, masih ada sisa-sisa peninggalan jalur mati yang bisa kami jumpai. Seperti misalnya bekas bangunan Stasiun Medari di atas itu dan juga Jembatan Pangukan yang membentang di atas Kali Bedog. Di sejumlah tempat di sepanjang perjalanan, beberapa kali aku sempat merasakan "aura" bahwa dahulu kala di jalan yang aku lintasi ini adalah lintasan jalur rel kereta api.
Isu Revitalisasi Jalur Mati yang Sempat Berhembus
Rencana untuk menghidupkan kembali jalur kereta api Yogyakarta – Secang sempat berhembus. Tapi hingga saat ini, rencana hanya sebatas wacana. Menghidupkan kembali jalur mati membutuhkan upaya dan juga dana yang nggak sedikit. Khususnya terkait dengan pengadaan infrastruktur dan alih fungsi lahan.
Kita semua tahu bahwa bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tidak berimbang dengan penambahan ruas jalan. Oleh sebab itu, transportasi publik semacam kereta api yang memiliki kapasitas angkut besar merupakan suatu keharusan.
Sayangnya, kita acap kali terbuai dengan kenyamanan kendaraan pribadi. Sesuai hukum pasar, kalau ada yang lebih nyaman, mengapa memilih yang lebih buruk? #hehehe
Hingga detik ini, kita tahu bahwa kenyamanan transportasi publik masih jauh dari harapan. PT Kereta Api pun tampak masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait dengan kualitas layanan kereta api.
Padahal, dari sisa-sisa peninggalan jalur kereta api, menurutku infrastruktur yang ada masih dapat dipergunakan asalkan dirawat dengan baik. Seperti Jembatan Pangukan yang memiliki teknologi penahan beban yang mutakhir. Nggak ada jembatan lain di Indonesia yang memiliki teknologi seperti itu. Sepertinya, NIS nggak main-main dalam merancang konstruksi jalur kereta apinya untuk masa operasi yang lama.
Namun itu semua kemutakhiran itu harus punah karena tuntutan ego manusia. Seperti KA Parahyangan yang punah karena adanya ruas Tol Cipularang. Di moda transportasi lain, kita pun tahu banyak maskapai penerbangan yang berguguran. Transportasi publik kita tengah berada di ujung tanduk.
Perjalanan kali itu cukup membekas di pikiranku. Pelan-pelan aku kayuh sepeda, pulang ke rumah.
Bilamana kereta api dan pesawat yang notabene berteknologi tinggi bisa berguguran, bagaimana kelak dengan nasib sepeda? Akankah punah juga?
hilang tak berbekas
salah satunya adalah
stasiun di kampung
saya, Wadas Tridadi
Sleman. Stasiun
Sleman Kota.
Tergusur menjadi
jalan raya.....
Sedih....
Saya juga baru tahu Jembatan Pangukan itu bekas jembatan kereta.. padahal sering lewat sana.. tapi gak memperhatiin..
sekarang. kita bisa ke malioboro tidak harus lewat tugu tapi bisa turun di stasiun
ngabeyan...
digusur,,termasuk saya,,,Dilema
Oke deh, nanti kalau kami nyepeda menyusuri rel sepur lagi bakal ditambahkan foto-fotonya :)
tapi masih kokoh berdiri :p
Dekat rumahku :)
Sepeda tetap dibutuhkan sampai kapanpun Wij. Tenang aja... Paling tidak, untuk bersantai dan berolahraga, hehehe... :)
Jalur seperti itu ada berapa meter panjangnya, Mas? :)
Di kotaku juga ada, bekas relnya masih terlihat di beberapa titik di sepanjang jalan raya besar, stasiunnya udah jadi pesar besar....