Bulan Shafar atau Sapar, adalah bulan kedua dalam penanggalan Hijriyah. Bagi masyarakat Jawa, bulan ini identik dengan berbagai perhelatan tradisi yang dikenal dengan nama Saparan. Banyak daerah yang menggelar tradisi Saparan ini. Salah satunya Gunungan Apem di Desa Wonolelo yang kuliput beberapa waktu yang lalu.
Tradisi di Hari Rabu Terakhir di Bulan Sapar
Hari Rabu terakhir di bulan Sapar dikenal juga sebagai Rabu pungkasan (atau wekasan). Salah satu tradisi saparan yang dilangsungkan pada Rabu pungkasan adalah tradisi Kembul Sewu Sedulur yang bertempat di Bendung Kayangan, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Oh iya, karena bulan Sapar di tahun 1432 H ini berada dari tanggal 5 Januari hingga 3 Februari 2011, maka hari Rabu terakhir jatuh pada tanggal 2 Februari 2011.
Tradisi Saparan di Bendung Kayangan
Aku bersama Angga, meluncur ke Bendung Kayangan di hari Rabu siang (2/2/2011). Bendung Kayangan sendiri bukan tempat yang asing buatku. Aku bersama teman-teman SPSS pernah berkunjung ke sini di bulan Oktober 2010 silam.
Jarak Bendung Kayangan dari Kota Jogja sekitar 25 km. Rute ke Bendung Kayangan tetap sama. Dari Kota Jogja ikuti Jl. Godean sampai berpindah wilayah ke kabupaten Kulon Progo. Tepatnya di perempatan Kenteng yang bertempat di Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo.
Dari perempatan Kenteng tetap ambil jalan lurus menuju barat yang mengarah ke Gua Kiskendo. Nanti bakal bertemu dengan SD di sisi kiri jalan raya, tepat sebelum jalan turunan. Ambil cabang jalan ke kanan di dekat SD ini. Sekitar 50 meter dekat masjid, nanti ada papan petunjuk arah ke Bendung Kayangan.
Sekadar info, jalan kampung menuju Bendung Kayangan kondisinya rusak dan berlumpur parah. Medan ini mengingatkanku akan medan di Gunung Suru. Kami sampai dengan selamat di Bendung Kayangan sekitar jam 11 siang.
Tradisi Makan Bersama Layaknya Saudara
Pukul 12 siang acara dimulai. Diawali dengan kata-kata sambutan yang lamanya bukan main. Setelah itu berlanjut ke pembacaan doa dan baru diikuti oleh tradisi Kembul Sewu Sedulur. Seperti apa tradisi Kembul Sewu Sedulur tersebut?
Kembul Sewu Sedulur berasal dari bahasa Jawa yang berarti Santap Bersama Seribu Saudara. Tradisi ini tidak jauh berbeda dengan tradisi kenduri, yaitu makan bareng untuk memperingati suatu peristiwa, meminta berkah, dan lain sebagainya. Tradisi kenduri ini merupakan bagian dari budaya Jawa yang umumnya masih dipraktekkan di desa-desa.
Pada tradisi Kembul Sewu Sedulur ini, setiap keluarga memasak jamuan yang nantinya akan disantap bersama-sama. Menunya seragam namun sederhana, yaitu nasi liwet, sayur gudangan, dan tempe-tahu goreng. Beberapa warga ada yang menambah variasi menu dengan sajian bothok lele dan panggang mas (telur ceplok tanpa garam). Dua menu ini merupakan santapan favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya.
Oh iya, peserta makan bareng ini tidak hanya untuk warga desa saja lho! Melainkan juga terbuka untuk para pengunjung yang bukan warga desa seperti kami ini. Lumayan lah, dapat makan siang gratis, hehehe. #hehehe
Tradisi Mengenang Mbah Bei Kayangan
Seperti yang aku singgung di paragraf atas, tradisi Kembul Sewu Sedulur ini erat kaitannya dengan sosok yang bernama Mbah Bei Kayangan. Konon, Mbah Bei Kayangan ini adalah salah satu pengikut Prabu Brawijaya yang melarikan diri dari kerajaan Majapahit. Beliau kemudian sampai di daerah yang kini bernama Bendung Kayangan dan kemudian membuka pemukiman di sana.
Nama Bendung Kayangan sendiri muncul karena disana terdapat bendungan yang dibangun oleh Mbah Bei Kayangan. Bendungan ini menampung air pertemuan sungai Ngiwa dan sungai Gunturan. Di area Bendung Kayangan ini juga terdapat sebuah bukit tinggi besar bernama Gunung Kayangan yang konon adalah tempat favoritbta Mbah Bei Kayangan untuk bersemadi.
Selain tradisi Kembul Sewu Sedulur, pada Rabu pungkasan ini juga dilangsungkan tradisi Ngguyang Jaran yang secara harfiah artinya adalah memandikan kuda. Tapi jangan salah! Bukan kuda sungguhan yang dimandikan, melainkan kuda-kuda lumping para penari jathilan. Ritual ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang semasa hidupnya berprofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Oh iya, yang turut dimandikan juga termasuk kuda jathilan "keramat" yang usianya sudah ratusan tahun lho.
Berbeda dengan tradisi Saparan lain yang pernah aku ikuti, tradisi Saparan Rabu pungkasan di Bendung Kayangan ini terasa lebih sederhana dan bermakna. Apa mungkin karena nggak banyak pengunjung yang kemari ya? Wajar sih, soalnya beberapa daerah juga ada yang menggelar tradisi saparan Rabu pungkasan. Lokasi Bendung Kayangan ini juga cukup terpencil dan tidak banyak warga Jogja yang tahu. Ditambah lagi, waktu pelaksanaan tradisi saparan ini di hari kerja dan jam kerja, sehingga pengunjungnya terbatas.
Eh, di tempat tinggal Pembaca juga ada tradisi saparan dan makan bersama (kenduri) nggak ya?
khayangan ..masih kental adat jawanya
boleh copast foto bapak yang pake topeng itu ya.... untuk melengkapi artikel saya tentang wayang topeng....
Fotonya bagus-bagus Na :)
Itu bendungannya kurang jelas, lebih mirip sungai ya kang ??