HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Empat Perjaka ke Pantai Ngrenehan

Rabu, 5 Mei 2010, 20:36 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

PANTAI! Aku yakin, semua orang senang ke pantai. Seenggaknya di pantai kan kita bisa main air, main pasir, atau "cuci" mata. Ya toh? #hehehe

 

Berhubung kami berempat: aku, Mbah Gundul, Vendy, dan Raditya "Brindhil" masih perjaka, jadi pergi ke pantai tidak boleh hanya sekadar cari pasir atau cari air laut saja. Mungkin sekali-kali perlu dicoba ke pantai mencari tantangan? #hehehe

 


Pria-pria perjaka yang mencari pantai itu.
Ki-Ka: Mbah Gundul, Aku, Raditya "Brindhil", dan Vendy.

 

Oleh sebab kami sudah bosan bolak-balik pergi ke Pantai Parangtritis, aku mengajukan usul untuk pergi ke pantai yang ada di Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta saja.

 

Ah iya, tentu saja kami pergi ke pantai dengan naik sepeda. Pantai di Gunungkidul yang menjadi tujuan dipilih yang jaraknya lumayan dekat dari kota Jogja, yaitu Pantai Ngrenehan. Kira-kira jaraknya dari Kota Jogja ya sekitar... ehm... 60 km saja #hehehe. Dengan demikian, jarak pergi-pulang berarti ya 120 km dong! Lebih jauh dari jarak Jogja-Kebumen.

 

EDAAAN!

 

Perjalanan edan kami bersepeda dari Kota Jogja ke Pantai Ngrenehan dilaksanakan pada hari Senin (3/5/2010) dengan rincian etape sebagai berikut.

 

Etape 1: Jogja – Pasar Piyungan (16 km)

Aku berangkat dari rumah (dekat Stasiun Tugu) pukul 6 pagi. Tujuan pertamaku adalah menuju perempatan Ringroad Jl. Wonosari guna berkumpul dengan tiga perjaka yang lain. Selepas itu, perjalanan dari Ringroad Jl. Wonosari menuju Pasar Piyungan ditempuh lewat Jl. Wonosari. Kontur jalannya landai halus-mulus. Sayangnya, banyak kendaraan bermotor.

 

Etape 2: Pasar Piyungan – Patuk (4 km)

Tanjakan Patuk adalah rute sejuta umat kalau mau berpindah lokasi ke Gunungkidul. Umumnya orang-orang yang berpergian arah ke Wonosari bakal melewati rute tanjakan curam dan berkelok ini. Aku sendiri terakhir kali menaklukkan tanjakan Patuk ini saat bersepeda ke Gunung Api Purba Nglanggeran di bulan Januari silam. Oleh karena kami berempat tergolong pesepeda tangguh #sombong, tak butuh banyak istirahat untuk melahap tanjakan Patuk ini.

 

Etape 3: Patuk – Lapangan Gading (15 km)

Dari Patuk ke Lapangan Gading mayoritas kontur jalannya turunan. YES! Lumayanlah untuk hiburan setelah berjuang menaklukkan tanjakan Patuk. Meskipun ya tetap ada beberapa tanjakan yang lumayan panjang, seperti di sekitar hutan Wanagama Bunder. Sekitar pukul 9 pagi kurang sedikit kami sarapan soto di dekat Lapangan Gading.

 


Rambu yang diidolakan ini kok ya jarang dijumpai.

 


Ke mana-mana sarapannya selalu soto. #senyum.lebar

 


Sesat! Jangan dipercaya! Kata siapa cuma 27 km dan hanya 25 menit? Beh! #hehehe

 

Etape 4: Lapangan Gading – Paliyan (12 km)

Kebetulan aku lupa di sini medan jalannya seperti apa, hahaha #senyum.lebar. Tapi seingatku sih, kontur jalannya masih didominasi turunan. Jalannya relatif sepi dari kendaraan bermotor dan sekelilingnya adalah hutan lebat.

 


Ada semacam menara intai. Mau manjat sampai atas nggak berani. #hehehe

 

Etape 5: Paliyan – Sendang (6 km)

Kebahagiaan kami mendadak usai. Sebab, dari kejauhan kami menyaksikan sebuah bukit menjulang tinggi, tepat setelah melewati kota Kecamatan Paliyan. Mampus....

 

Betul saja! Medan jalan di bukit ini tidak lain adalah TANJAKAN yang (terpaksa) harus ditaklukkan.

 


Di Sendang ini banyak yang nyuci dan mandi lho. Sayangnya kami nggak ketemu gadis yang lagi mandi. #hehehe

 

Di atas bukit ini terdapat sendang (mata air) yang letaknya persis di pinggir jalan raya. Lagi-lagi, aku lupa mencari tahu apa nama sendang ini.

 

Di dekat sendang ini aku sempat mengisi angin ban sepeda di sebuah bengkel motor. Mungkin karena tahu aku bersepeda dari Jogja, makanya ongkos isi angin digratiskan pemilik bengkel. Alhamdulillah. #senyum.lebar

 

Etape 6: Sendang – Reklame Besar (1 km)

Aku lupa seperti apa kontur jalannya. Yang jelas sih tidak begitu menyulitkan kami. Yang aku maksud dengan reklame besar adalah papan informasi Pantai Ngrenehan yang dipasang di dekat pertigaan. Di sana tercantum jarak ke Pantai Ngerenehan hanya sekitar 12 km lagi. Sementara itu, waktu menunjukkan pukul 11.15 siang.

 

Etape 7: Perjuangan 12 km Menuju Pantai Ngrenehan (12 km)

Posisi Pantai Ngrenehan itu kan di permukaan laut (ya iya lah!). Sedangkan posisi kami sendiri ada di puncak bukit, yang notabene bermeter-meter di atas permukaan laut. Jadi sudah jelas toh? Kontur jalan ke Pantai Ngrenehan adalah turunan! YIIHAAA! #senyum.lebar

 

Alhasil, semua pada ngebut menuju Pantai Ngerenehan. Bahkan anak-anak SD sampai mau tanding balapan dengan kami. Weleh-weleh...

 

Istirahat di Pantai Ngrenehan

Kami tiba di Pantai Ngrenehan sekitar pukul setengah 12 siang. Artinya, sudah hampir 5 jam kami bersepeda sejauh 60-an kilometer dari kota Jogja. Tapi ya pas mendekati Pantai Ngerenehan, kami sempat nyasar ke Pantai Ngobaran yang jaraknya terpaut 1 kilometer dari Pantai Ngerenehan, hehehe. #hehehe

 


Sempat-sempatnya nyasar ke Pantai Ngobaran. Sayang di sini nggak ada pasirnya.

 


Akhirnya sampai juga deh di Pantai Ngerenehan! #senyum.lebar

 

Di Pantai Ngerenehan kami bersantap siang di sebuah warung yang menyajikan aneka hasil laut. Harga yang mesti kami tebus untuk sajian 1 kg ikan laut goreng + 1 bakul nasi + lalapan + sambal super pedas adalah Rp35.000. Murah kan? #senyum.lebar Kalau minumnya Rp2.000 per gelas.

 


Isi perut di Pantai Ngerenehan dengan olahan hasil laut yang murah meriah. #senyum.lebar

 

Kami hanya beristirahat selama 1 jam di Pantai Ngerenehan. Soalnya, jarak pulang ke Kota Jogja MASIH JAUH! #hehehe

 

Etape 8: 12 km Pergi dari Ngrenehan (12 km)

Kalau di Etape 7 tadi kan kontur jalannya turunan terus. Nah, berhubung hanya ada satu jalan menuju Pantai Ngerenehan, jadi ya... untuk rute pulang terpaksalah berlaku kebalikannya. Gampangnya, aku sebut perjalanan 12 km pulang ini sebagai 12 KM TANJAKAN JAHANAM!

 

Aku sebut tanjakan jahanam karena ya memang benar-benar jahanam! Jalan aspal sepanjang 12 km itu wujudnya tanjakan curam. Apalagi cuacanya....panaaaaassss! Komplit sudah penyiksaan....

 


Berpose sejenak di tengah jalan tanjakan.

 

Etape 9: 20 km Menuju Panggang (20 km)

Kami paham, kalau rute pulang adalah kebalikan dari rute pergi, maka kami akan kembali berhadapan dengan tanjakan jahanam menuju Patuk. Oleh sebab stamina dengkul sudah kelap-kelip merah, kami memutuskan rute pulangnya lewat Kecamatan Panggang saja. Tembusnya nanti bisa di dekat Pantai Parangtritis. Kontur jalannya juga lumayan banyak turunan.

 


Kami menjumopai bangunan tua mirip istana yang dikelilingi sawah saat menuju Siluk.

 

Etape 10: Panggang – Imogiri (Siluk) (16 km)

Rute ini mengingatkanku pada hutan pinus di Mangunan. Medannya adalah tanjakan jahanam yang dikelilingi oleh rimbunnya hutan. Ini adalah etape yang benar-benar menguras tenagaku. Ditambah lagi, aku nggak berani berhenti lama-lama untuk memulihkan tenaga karena jalannya sepi dan sepertinya rawan kejahatan.

 

Etape 11: Imogiri (Siluk) – Jogja (19 km)

Di etape terakhir ini staminaku drop total. Kondisi tubuhku nggak karu-karuan. Seusai melibas turunan dari Panggang menuju Jembatan Siluk, tiba-tiba aku cegukan!

 

Hik! Hik! Hik!
Begitu.

 

Benar-benar menganggu banget ketika bersepeda. Apalagi bikin dada ikut sakit. Aku pikir ini karena jantungku yang nggak kuat. Itu karena jantungku lumayan berdebar keras saat aku melahap tanjakan. Tapi setelah aku amat-amati, ini bukan karena jantung melainkan karena paru-paru. Terpaan angin dan gerimis sepanjang jalanlah yang membuatku cegukan.

 

Hik! Hik! Hik!

 

Waktu itu aku cuma mikir kalau AKU NGGAK BOLEH MATI DI TENGAH JALAN! Aku kayuh sepeda perlahan-lahan. Setiap menempuh jarak 5 km cegukanku muncul lagi. Mana waktu itu kami lewat Jl. Imogiri Timur yang lebih jauh dari rumah dibanding Jl. Imogiri Barat. Aku berpisah dengan teman-teman selepas Pasar Giwangan.

 

Akhirnya, di Jl. Tamansiswa aku menyerah. Di depan suatu toko kelontong aku berhenti dan mencoba untuk muntah. Nggak ada makanan yang keluar, hanya angin dan suara mengenaskan orang yang muntah. Aku jadi obyek perhatian pengguna jalan deh, hehehe. #hehehe

 

Seorang ibu pelanggan toko berbaik hati ingin membantuku. Tapi aku menolak. Sebab aku sudah menggunakan opsi pertolongan terakhir, meminta dijemput tetanggaku naik sepeda motor. Alhamdulillah pukul setengah delapan malam aku sampai dengan selamat di rumah.

 


 

EDAN! Itulah yang terlintas di pikiranku dan sepertinya memang iya sih, hehehe. #hehehe

 

Aku sih SANGAT TIDAK MENYARANKAN untuk bersepeda ke Pantai Ngerenehan. Yah, kecuali kalau Pembaca ingin menorehkan sejarah kelakuan edan seperti aku ini, hehehe. #hehehe Setidaknya, aku bisa merasakan bagaimana susahnya orang-orang di masa lampau untuk pergi ke Pantai Ngerenehan. Keindahannya benar-benar sebanding dengan perjalanannya.

 

Ingat ya Pembaca, jangan pernah bersepeda ke Pantai Ngrenehan! #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI