Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Dikisahkan, ada seorang wisatawan yang berkunjung ke Keraton Ratu Boko. Tak ubahnya wisatawan lain, ia juga membawa serta kameranya. Saat membayar retribusi, perihal kamera sama sekali tak disinggung. Namun saat ia hendak pulang, barulah petugas menyodorinya dengan daftar harga yang dikenakan pada kamera.
Pengalaman buruk bagi pengunjung obyek pariwisata bukan?
Seminar dari MADYA
Curahan hati semacam itu terumbar dalam seminar Dokumentasi Dalam Pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB), yang merupakan salah satu rangkaian acara peringatan ulang tahun pertama Masyarakat Advokasi Budaya (MADYA). Seminar bebas biaya tersebut digelar pada hari Kamis sore (7/1/2010) dan bertempat di ruang F Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Aku ucapkan terima kasih pada Tiwi, personil B2W yang sudah mengabarkan adanya acara ini.
Seminar tersebut menghadirkan dua pembicara; Bu Wiwiek dari Balai Konservasi Borobudur, dan Mas Dwi Oblo selaku fotografer majalah National Geographic Indonesia.
Bu Wiwiek lebih banyak menjelaskan perihal Benda Cagar Budaya dan mesin 3D Laser Scanning seharga 3 Milyar #wuih yang merupakan bantuan dari UNESCO. Sedangkan Mas Oblo lebih menekankan kepada peran fotografi dalam dokumentasi benda cagar budaya.
Dilarang Motret Candi?
Namun yang menjadi pertanyaan adalah,
“Bolehkah Benda Cagar Budaya didokumentasikan?”.
Sebab, tak jarang muncul kasus tak menyenangkan seperti contoh di awal artikel ini. Seakan-akan menjadi tidak boleh atau harus ada kompensasi tertentu.
Apa sebab kameranya terlihat canggih nan mewah?
Apa sebab khawatir muncul efek negatif–semacam pencurian arca?
Ataukah karena ingin terciprat lahan basah?
Entahlah.
Namun yang pasti, seperti kata Mas Oblo, mendokumentasikan BCB tidak boleh sembarangan. Sebab dokumentasi dapat menjadi media promosi, yang akan mengundang masyarakat untuk berkunjung ke sana. Sehingga masyrakat akan lebih mengenal dan mecintai budaya negerinya sendiri, Indonesia. Yang seperti ini tidak diperbolehkan?
Nah, berhubung di blog ini ada banyak dokumentasi mengenai benda cagar budaya, apakah Pembaca jadi tertarik untuk berkunjung ke sana? #senyum.lebar
kan kalo di prambanan atau borobudur diperiksanya cuman di pintu masuk, lagian kalo udah di dalem objek wisatanya gak ketauan.
tapi kalo kameranya gedhe kayak punyamu itu ya bakal ketauan karena tasnya juga diperiksa :P
pengen ngunjungin, tapi belom ada kesempatan, atau aku sendiri yang tidak menciptakan kesempatan itu, hehehe.
and gak ada niat mencuri arca lhoooo bener deh :)
Gw Juga heran, waktu ke prambanan, ada tempat buat nonton film **di museumnya** tapi begitu Gw tanya, \"bisa donlot atau beli CDnya gak?\" eh jawabannya \"Gak mas, kalo ada, nanti gak ada yg mau nonton disini lagi\" bah.. komer-sial-isasi ilmu pengetahuan.
dulu sih
tapi ya gitu aja, boleh motret sepuasnya, lagian bagus kan buat nyebarin info gitu :)
Tapi saya geli membaca kasus di atas, Na. Sejak kapan motret harus mbayar? Kalau memang dokumentasi itu dipamerkan untuk alasan komersial, jual sajalah fotonya. Tidak usah pakai acara menge-charge kamera segala.
saya suka themes blog ini.
salam kenal
sayang dak ngajak-ngaak saya
lanjut terus masalah aturan selama ga nyinggung KUHP heheheh jepret terussss