Dari atas tanggul itu aku bisa menyaksikan pemandangan yang selama ini menghiasi layar kaca. Tidak sulit bertandang kemari. Dari Surabaya naiklah kereta komuter jurusan Surabaya–Porong dengan tiket Rp2.000 per orang. Serta turunlah di Stasiun Tanggulangin atau Stasiun Porong.
Dari atas tanggul itu aku melihat geliat rakyat. Hanya bisa pasrah. Mau apalagi? Hampir 4 tahun berlalu dan tak pernah berhenti. Mereka tetap berusaha bertahan hidup. Ada yang menjajakan VCD lumpur. Adapula yang menawarkan jasa ojek keliling tanggul. Kini, mereka hidup mengandalkan musibah yang menimpa mereka.
Dari atas tanggul itu aku melihat sisa-sisa peradaban yang musnah ditelan alam. Andaikata dahulu tidak pernah ada rencana kilang gas disini.
Ketahuilah, gas ini dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia.
Sebab itu manusia mengeksploitasi alam hanya untuk bertahan hidup. Sebab itu kiranya manusia sudah mulai berlebihan. Namun manusia tak sekalipun berhak menyalahkan alam.
Dari atas tanggul itu aroma lumpur terbang membonceng angin. Untung saja bukan aroma mayat manusia. Hanya aroma penderitaan rakyat kecil. Uang Rp3.000 sebagai bea masuk tak pernah cukup untuk menghilangkan bau itu.
Dari atas tanggul itu aku hanya bisa terdiam. Tak mampu berbuat apa-apa. Selain berbalik dan pergi dari sana. Aku tak sudi berwisata dengan penderitaan rakyat.
terlepas dari faktor alam atau manusia penyebabnya, yang jelas ini musibah. tragedi yang terlupakan, kecuali bagi yang mengalami.
2km dari tanggul itu ada 2 candi lho, ga ke sana ?
Semua profesor geologi seluruh dunia sudah sepakat bahwa lumpur Porong itu sama sekali bukan bencana alam.
doa tulusku untuk kebahagiaan para korban itu