Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Di penghujung bulan Juli ini, tepatnya hari Kamis (30/7/2009), aku kembali ke kaki Gunung Lawu. Apalagi kalau bukan untuk mencari batu candi. Setelah sebelumnya aku mengunjungi Candi Sukuh seorang diri, kini aku ditemani oleh Andreas dan Agatha.
Kami pergi ke sana nggak naik sepeda motor atau angkutan umum. Aku mencoba menggunakan kendaraan pribadi, mobil Toyota Corolla tahun 90-an yang semakin jarang dipakai semenjak aku sering blusukan pakai sepeda. Yah, walaupun kami sempat mengalami masalah dengan mobil, pada akhirnya toh kami berhasil mendaki dan menuruni kaki Gunung Lawu yang terkenal ganas dengan tanjakannya itu. #hehehe
Rute Candi Cetho Arah ke Tawangmangu
Candi yang kami kunjungi kali ini adalah Candi Cetho yang terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Rute ke Candi Cetho jika menggunakan angkutan umum sebenarnya hampir sama dengan rute ke Candi Sukuh. Bedanya, dari pertigaan ke Candi Sukuh kita masih harus melanjutkan perjalanan sekitar 5 km melalui hamparan kebun teh yang penuh dengan tanjakan ekstrim.
Secara umum, dari Kota Jogja kita harus pergi ke kota Karanganyar dengan melalui Jl. Jogja – Solo dan Jl. Solo – Karanganyar. Perjalanan itu memakan waktu sekitar 3 jam. Setelah itu di kota Karanganyar kita tinggal mengikuti jalan ke arah obyek wisata Tawangmangu. Selanjutnya mengikuti petunjuk yang banyak terdapat di jalan untuk menuju ke Candi Cetho.
Candi Terpencil di Kaki Gunung Lawu
Candi Cetho berada di Dusun Cetho, suatu dusun di kaki Gunung Lawu dengan ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut. Selain hawanya yang dingin dan pemandangannya yang indah, berada di dusun Cetho ini seakan-akan menggiring kita ke suasana pedesaan di Pulau Bali.
Di Dusun Cetho ini hampir seluruh penduduknya merupakan umat Hindu. Alhasil, ragam corak bangunannya pun sama seperti yang ada di Pulau Bali. Candi Cetho sendiri merupakan living-monument, yaitu benda arkeologi yang masih difungsikan seperti aslinya oleh masyarakat setempat. Bisa dibilang kalau Candi Cetho ini merupakan pura yang mengambil wujud candi.
Untuk masuk ke Candi Cetho, pengunjung dikenakan retribusi Rp2.500 per orang. Sepanjang perjalanan memang ada banyak pos retribusi. Dari pintu utama Kompleks Wisata Candi Sukuh dan Candi Cetho, kami ditarik biaya Rp5.000 sebanyak dua kali. Sepertinya warga sekitar bergantung pada pendapatan sektor pariwisata ini.
Bertingkat-tingkat
Candi Cetho pertama kali ditemukan oleh Van der Vlis pada tahun 1842 dan semenjak itu candi ini mulai diteliti. Pada tahun 1928 Dinas Purbakala melakukan ekskavasi di sekitar candi untuk melengkapi batu-batu candi guna proses restorasi. Menurut laporan Van der Vlis, candi ini memiliki 14 teras dan di setiap tingkatnya dilengkapi gapura beserta tangga. Namun saat ini hanya terlihat 13 teras saja. Teras yang paling tinggi disakralkan dan dipagari. Menurut cerita Andreas, teras yang tertinggi itu cukup sakral bagi kaum wanita. Pasalnya hanya wanita yang masih perawan saja yang (katanya) bisa memasuki teras teratas dengan selamat. Duh!
Struktur candi ini hampir serupa dengan Candi Sukuh dan Candi Gembirowati, yaitu berbentuk punden berundak dan tanpa kehadiran lingga-yoni yang hampir bisa dijumpai di seluruh candi di Jawa Tengah. Patung-patungnya pun hampir serupa dengan di Candi Sukuh, tapi minus patung Garuda dan patung #ehem alat kelamin.
Patung yang juga ada di Candi Sukuh di antaranya adalah patung kura-kura yang seperti menjadi altar dan berbentuk surya Majapahit. Di candi ini juga ada relief Suddhamala yang menceritakan kisah Sadewa saat mensucikan Dewi Uma.
Pemugaran Candi Cetho yang Keliru
Yang patut disayangkan adalah proses pemugaran Candi Cetho ini tidak mengikuti kaidah pemugaran yang diatur dalam ilmu arkeologi. Ada banyak bangunan baru yang ditambahkan seperti gapura besar di pintu masuk kompleks candi dan bangunan-bangunan kayu untuk tempat pertapaan.
Memang sih dengan adanya bangunan-bangunan baru itu seakan menghidupkan kembali nuansa candi yang dibangun pada abad ke-14 Masehi ini. Tapi toh, saat ini candi Cetho tidak hanya diandalkan sebagai obyek studi arkeologi tetapi juga sebagai tempat beribadah umat Hindu di Desa Cetho.
Pembaca pernah berkunjung ke candi di kaki gunung Lawu ini belum ya? Tanjakannya mantap! #senyum.lebar
Gundukan tanah sebelum masuk ke ornamen bulus merupakan tempat tinggal asli pertapa (ada bekas umpak batu).
toh!
Mau ke sini sih, katanya ga boleh ma pemerintah...
masih terawat dengan baik kah?
Oh iya, patung alat kelamin itu merupakan buatan seniman yang disumbangkan ke candi itu pada tahn 1970an. Info ini didapat dari penduduk setempat. Sptnya Candi Cetho lebih menggambarkan suasana kemunduran majapahit karena ada patung Prabu Brawijaya, dan tokoh 2 orang pengikutnya (Sabdopalon & Noyogengggong). Patung yang mirip Brawijaya itu jugabisa dilihat di Situs Menggung, Tawangmangu, Karanganyar
Candi Cangkuang jg amat disayangkan pemugarannya krn gag sesuai dgn kaidah arkeologi. Pemugaran wkt itu cm bongkar pasang n menjiplak bentuk candi yg sekiranya mirip shg para arkeolog yg prihatin menyebutnya Candi Gedong Songo di Desa Cangkuang.
yach..nggak dapat infonya nih...
Emangnya kaidah pemugaran didalam ilmu arkeologi kayak Gmana mas? Bukannya kalo nilai manfaat saat ini lebih besar dari nilai sejarah masa lalu bisa aja dipugar?
ini maksudnya ke timur !
bagus poto2nya..
tapi tetep ya yg dipajang pertama yg narsis :D
Tapi ngliat reliefnya kok lucu ya?! bulet2 gitu... (lg2 komentar orang awam tt candi)
Btw, \"desa\" nya menarik ya...kayane aku pernah baca desa ini di satu majalah lawas. Tempo bukan ya?! [mencoba mengingat-ingat]