HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Situs Watugudig

Sabtu, 31 Januari 2009, 16:25 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Didorong rasa penasaran, pada hari Rabu pagi (28/1/2009), aku dan Andreas kembali menelusuri Jl. Raya Prambanan – Piyungan untuk menemukan situs purbakala yang katanya sih jaraknya lumayan dekat dari jalan raya. Setelah berkali-kali keluar masuk kampung plus bertanya kepada warga sekitar, akhirnya kami sampai juga di Situs Watugudig.

 

Rute ke Situs Watugudig

Sebenarnya rute menuju Situs Watugudig ini gampang banget. Kalau dari Kota Jogja, ikuti saja Jl. Raya Yogyakarta – Solo sampai di pertigaan lampu lalu lintas Pasar Prambanan. Di pertigaan ini belok ke arah selatan yaitu arah ke Kecamatan Piyungan, Bantul yang searah juga kalau mau menuju ke Keraton Ratu Boko, Candi Banyunibo, atau Candi Ijo.

 

Nah, nanti kan setelah menyebrang jembatan Kali Opak bakal ketemu dengan gudang alat-alat PT Telkom di sisi kiri jalan raya. Di dekat sana ada gapura biru dusun Jobohan. Masuk ke gapura itu sekitar 50 meter, persis di sebelahnya pemakaman adalah Situs Watugudig. Dari jalan raya Situs Watugudig itu kelihatan kok. Walau ya agak kurang jelas sih.

 


Gapura masuk ke Dusun Jobohan.

 

Dari Dugaan Umpak Sampai Pencurian Arca

Di Situs Watugudig ini terdapat sejumlah batu-batu bulat, besar, yang tersebar hampir di mana-mana. Nama Watugudig sendiri berasal dari kata watu (batu) dan gudig (bercak-bercak). Jadi, Watugudig berarti batu yang ada bercak-bercaknya. Seperti orang kena penyakit panu gitu lah.

 

Masih menjadi misteri buat kami tentang apa sesungguhnya fungsi batu-batu besar di Situs Watugudig ini. Kalau memperhatikan bentuk batu yang mirip dengan umpak (kaki pondasi bangunan), kami sih menduga batu-batu besar itu dahulunya adalah pondasi sebuah bangunan besar. Apakah bangunan yang dimaksud itu candi? Masih misteri.

 


Batu-batu berserakan dengan posisi yang nggak karuan.
Bercak pada batu candi diduga jamur.

 

Untuk menguak misteri Situs Watugudig ini aku ngobrol-ngobrol dengan salah satu penjaga situs yang bernama Pak Udiyana. Berhubung aku yang wawancara, jadinya Andreas lah yang bertugas motret-motret. Sekali-kali ganti tugas lah. Padahal Andreas yang ogah terus-terusan dapat tugas wawancara, hehehe. #hehehe

 

Dari Pak Udiyana aku mendapatkan sekelumit informasi mengenai Situs Watugudig ini. Menurut beliau, keberadaan Situs Watugudig sudah diketahui semenjak tahun 1971. Namun pihak BP3 Yogyakarta baru melakukan perawatan dan penelitian di Situs Watugudig semenjak tahun 1982.

 

Dahulu kala, lahan Situs Watugudig merupakan tanah kas Desa Bokoharjo. Oh iya, Situs Watugudig itu letaknya di Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

 


Wawancara dengan Pak Udiyana. Kok ya tegang ya? Hahahaha. #senyum.lebar

 

Pak Udiyana juga cerita, di hari Sabtu malam (17/1/2009) silam, ada tangan-tangan jahat yang mencuri salah satu arca di Situs Watugudig ini. Eh, bukan arca sih. Lebih tepatnya saluran pembuangan air yang punya nama keren jalawadra. Bentuk jalawadra-nya itu mirip seperti gajah.

 

Setelah terjadi pencurian jalawadra, barulah Situs Watugudig ini dibuatkan pintu besi yang...cukup sederhana #hehehe. Kalau menurutku sih maling ya tetap bisa masuk....

 

Aku menyayangkan sikap BP3 Yogyakarta yang baru bertindak setelah terjadi kasus pencurian benda purbakala. Apalagi sepertinya tindakan mereka tidak sepenuh hati. Padahal Situs Watugudig ini dapat menjadi sarana pembelajaran sejarah bagi generasi muda.

 


Bukan tembok rumah, tapi percobaan kimia para peneliti di BP3.

 

Mencari yang Tersebar dan Terbengkalai

Dari cerita Pak Udiyana pula, aku dapat informasi kalau di daerah ini, di sepanjang Jl. Raya Prambanan – Piyungan, banyak tersebar batu-batu purbakala yang nggak terawat. Tergelitik dengan cerita beliau, maka selepas kami mengunjungi Situs Watugudig, aku dan Andreas menjelajah di desa tetangga yaitu Desa Madurejo, untuk mencari keberadaan batu purbakala yang dimaksud Pak Udiyana.

 


Apakah masih ada batu-batu lain selain yang berukuran kecil ini?

 

Pencarian kami ternyata nggak sia-sia. Di Dusun Keblak kami menemukan bebatuan candi yang teronggok begitu saja di halaman rumah seorang warga. Menurut penuturan warga tersebut, dahulu kala banyak batu-batu lain, akan tetapi sudah diamankan ke Prambanan.

 

Entah benar atau tidak, yang jelas batu-batu itu punya nilai jual yang tinggi dan kondisinya yang tidak terawat memudahkan bagi pihak-pihak nakal yang ingin mengeruk keuntungan dari benda cagar budaya tersebut.

 


Yoni yang teronggok di halaman belakang rumah warga.

 

Mungkin masih banyak benda-benda bersejarah lain yang teronggok begitu saja, tidak terawat. Ah, apakah bangsa ini masih belum bisa menghargai sejarah bangsanya sendiri? Ataukah memang sejarah bangsa ini sengaja dilupakan?

NIMBRUNG DI SINI