HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Pelarian Hati ke Taman Sari

Jumat, 30 Mei 2008, 10:41 WIB

Selasa, 27 Mei 2008

 

Seharusnya aku sadar bahwa perilakuku sudah melampaui batas. Lambat laun, pergaulanku dengan kaum wanita tak lagi berbatas sungkan serta pakewuh. Yang paling terlihat adalah ketika aku berinteraksi dengan adik-adik angkatan 2005, 2006, dan 2007.

 

Entahlah....

Entah apakah gosip tentang wanita yang mencoba mendekati diriku itu sudah sampai ke telinganya.

 

 

Pikiranku kacau....

Aku butuh pelampiasan....

 

Hal pertama yang terbesit di benakku adalah memotret. Aku berharap bisa meredakan pikiran kalutku terhadapnya dengan menyalurkan hobi memotret.

 

 

 

Oleh sebab itu, sepulang dari kampus aku memutuskan singgah ke Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta. Di sanalah tempat favoritku untuk menenangkan diri dari kusutnya irama hidup.

 

Akan tetapi, kedua kakiku ternyata menolak untuk berhenti di Alun-Alun Utara. Jadi, aku terus melangkah menyusuri kawasan Keraton Yogyakarta hingga tibalah aku di Pasar Ngasem. Karena sudah kepalang basah, kuputuskan untuk sekalian mengunjungi Situs Taman Sari.

 

Di kawasan Situs Taman Sari aku memuaskan diri berjalan-jalan tanpa arah, memotret sesuka hati, dan sebisa mungkin berusaha agar tidak terjebak memikirkan dirinya. Seakan-akan aku merelakan diriku tersesat di dalam labirin bangunan lawas yang kian uzur ditelan zaman.

 


Di tengah halaman ini dahulu berdiri menara bernama Gedhong Lopak-lopak.

 


Pintu keluar resmi Taman Sari pada zaman dahulu kala adalah Gedhong Gapura Hageng ini.

 


Bagian puncak Gedhong Gapura Hageng disangga tiang besi karena tidak kokoh semenjak gempa tahun 2006 silam.

 

Situs Taman Sari dahulunya merupakan taman kerajaan yang merangkap sebagai kompleks peristirahatan (pesanggrahan) Sultan Hamengkubuwono. Tempat ini mulai dibangun sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I dan selesai pada zaman Sultan Hamengkubuwono II sekitar tahun 1760-an akhir.

 

Situs Taman Sari terkenal sebagai istana air. Dahulu kala, situs ini memiliki danau buatan yang lumayan luas. Sayangnya, karena gempa dan perang, danau buatan itu pun rusak dan mengering. Tidak hanya itu, sejumlah bangunan istana juga ikut rusak sebagaimana yang bisa disaksikan pada foto-foto di artikel ini. #sedih

 

Karena hari sudah terlampau sore, aku tidak diperkenankan masuk ke kawasan kolam pemandian Sultan yang bernama Umbul Binangun. Jadi, aku hanya bisa menjelajah ke bagian Situs Taman Sari yang bebas disambangi tanpa harus membayar tiket.

 

Pilihanku adalah melanjutkan perjalanan ke bagian Situs Taman Sari yang bernama Pulo Kenanga. Di "pulau" inilah dahulu kala berdiri istana megah di atas danau. Tapi ya sayang, istana itu kini tinggal puing-puingnya saja. #sedih

 


Halaman Gedhong Ledoksari yang konon difungsikan sebagai tempat peraduan Sultan.

 


Proses pemugaran bangunan Gedhong Garjitawati.

 


Tempat memasak dengan cerobong di Gedhong Madaran yang difungsikan sebagai dapur Taman Sari.

 

Pulo Kenanga terletak di belakang (selatan) Pasar Ngasem. Untuk menuju ke sana pengunjung harus melintasi perkampungan warga. Akses jalannya tidak sulit walaupun minim petunjuk arah.

 

Dari atas Pulo Kenanga kita bisa melihat pemandangan Situs Taman Sari secara keseluruhan. Aku mencoba membayangkan bahwa dulu kala tanah yang kupijak adalah pulau di tengah danau buatan. Sungguh aneh rasanya bahwa beratus-ratus tahun silam Pasar Ngasem itu adalah danau buatan.

 

Sayangnya, aku kurang leluasa menikmati kesendirian di Pulo Kenanga. Ternyata tempat ini menjadi lokasi favorit para insan muda dalam memadu kasih.  Ah, salah sekali aku ke mari. Lagi-lagi, sosoknya kembali hadir mengetuk gerbang pikiranku.

 

Tapi, setelah melalui serangkaian pergumulan batin, aku pun memutuskan mengirim pesan singkat ke handphone-nya. Sekedar sebagai penghilang penat di tubuh sekaligus pikiranku.

 


Istana di Pulo Kenanga hanya menyisakan dinding yang tak beratap.

 


Siluet pasangan yang memadu kasih di Pulo Kenanga. #hehehe

 

Lenyapnya mentari di ufuk barat merupakan tanda bahwa aku harus segera menyudahi blusukan-ku di Situs Taman Sari. Aku harus pulang ke rumah. Pulang ke tempat di mana seharusnya aku berada.

 

Kalau aku hitung-hitung, perjalanan pergi pulang ke Situs Taman Sari memakan waktu 3 jam dengan total jarak kurang-lebih 7 kilometer. Itu semua aku lakoni dengan berjalan kaki!

 

Benar-benar kurang kerjaan toh? #hehehe

 

Seandainya dirinya tahu hal ini, ia pasti akan mengomentari tingkahku sebagai suatu perbuatan edan. Sama seperti ketika aku bepergian ke Semarang dan ke Pantai Siung. Bagiku, petualangan adalah melakukan perjalanan tanpa rencana, dengan resiko tersasar. #hehehe

 


Suasana perkampungan warga di sekitar bangunan Tajug (ventilasi udara untuk lorong bawah tanah).

 


Pemandangan matahari yang beranjak undur diri dari Pulo Kenongo.

 

Aku tidak bisa mengendarai motor dan bagiku menggunakan mobil tidak menimbulkan kesan petualang. Sehingga dengan demikian aku memilih untuk berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum.

 

Aku berharap bahwa apa yang aku lakukan ini dapat memberikan manfaat bagi sesama. Setidaknya, aku menikmati menyaksikan ritme kehidupan warga Jogja di sepanjang perjalanan. Suatu hal yang tidak bisa aku peroleh di Jakarta.

 

Hari sudah malam saat aku tiba di rumah. Tak lama lagi aku kan segera terlelap. Apakah malam ini engkau akan kembali hadir di mimpiku?

NIMBRUNG DI SINI