HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Lagi, Setelah 12 Tahun

Sabtu, 30 April 2022, 23:59 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Pandemi… oh, Pandemi….

 

Pandemi bikin suami nggak perlu terlalu kreatif mengarang alasan ketika sang istri terlucyu ngajak keluyuran. #hehehe

 

Ya, apalagi sekarang sudah punya bocil. Kalau Whippi kenapa-kenapa, kan nanti istri juga mumet. Apalagi, varian Omicron cepat menular. Bisa repot satu rumah kalau ada yang kena.

 

Jadinya ya... mending di rumah saja kan? Toh, TKP keluyuran juga nggak bakal ke mana-mana ini. Toh, orang juga nggak bakal mati kalau nggak keluyuran.

 

 

Tapi….

 

Lama-lama, di mata istri, suami terlihat sebagai “manusia PHP” alias Pemberi Harapan (keluyuran) Palsu. Bisa-bisa, suami bakal dicap sebagai pembohong juga ini. 

 

Hadeeeh…

 

Jadi ya, karena: 

 

  1. Pemerintah sudah melonggarkan syarat keluyuran tanpa tes-tes colok hidung, dan
  2. Penularan Omicron di Jogja (sepertinya) sudah nggak seganas 2-3 minggu yang lalu,

 

maka dari itu sepertinya agenda keluyuran bisa dieksekusi lagi.

 

Berhubung ini masih minggu ketiga Maret 2022, keluyuran ke curug kayaknya boleh juga. Apalagi beberapa hari ini hujan masih hobi tumpah dari langit. Sepertinya, hari-hari ini curug-curug di Jogja belum zonk kering-kerontang.

 

Nah, kalau TKP-nya curug, maka ke sananya jelas menunggang sepeda motor. Soalnya, curug sepi yang disenangi sang istri biasanya ngumpet nan terpencil di dalam hutan. 

 

Akan tetapi, karena sekarang sudah ada Whippi, jadi aku tawarkan keluyuran ke curug yang dekat-dekat saja. Contohnya, Curug Pulosari di Pajangan, Bantul itu.

 

Eeeeh... sayangnya usulan ke Curug Pulosari ditolak sang istri. #duh

 

Alasannya, dari video Tik-Tok yang dilihat istri, Curug Pulosari sekarang sudah ramai. #hehehe

 

Sebagai gantinya, sang istri request keluyuran ke Curug Sidoharjo.

 

 

HAH!?

 

 

Yes! Curug Sidoharjo di Samigaluh, Kulon Progo itu katanya sang istri.

 

Du du du duuuuh….

 

Kadang-kadang aku heran sama sang istri ini. Sudah punya bocil, tapi kok pinginnya ke curug yang jauuuh plus harus masuk-masuk hutan?

 

Gimana kalau nanti ada apa-apa? Ini kan keluyuran bawa anak kecil usia 1,5 tahun yang polahnya sulit diprediksi. #over.thinking

 

Belum lagi ini berangkat keluyuran sudah lewat pukul 12 siang. Seumpama di lokasi turun hujan ya bakal repot ini. Kalau membaui aroma langit, sepertinya sore nanti bakal hujan.

 

Hmmm….

 

Tapi, ah daripada kebanyakan mikir A, B, C, D, E, F, G, sampai Z, mending tak turuti saja request-nya sang istri buat keluyuran ke Curug Sidoharjo. Daripada berakhir kena cap sebagai “suami PHP”. #hehehe 

 

Oh ya tentu dengan syarat bahwasanya bakal berputar balik bilamana kondisi di tengah perjalanan jadi meragukan. Entah itu cuaca mendadak berubah atau si bocil kenapa-kenapa.

 

 

Oke! Berbekal ingatan 12 tahun silam, si Vario pun digas menuju Curug Sidoharjo. 

 

Yes! Terakhir kali aku ke Curug Sidoharjo ya saat bersepeda bareng rombongan SPSS, Mei 2010. Sedangkan pertama kali ke sana itu Februari 2010, saat langsir Suroloyo bareng Emma, Sari, dan Dika.   

 

Walaupun terakhir ke sana sudah lama banget, tapi, karena ancer-ancer rute ke Curug Sidoharjo itu mudah diingat, jadi ya nggak perlu memberdayakan Google Maps. 

 

  1. Dari Kota Jogja ke Terminal Jombor
  2. Dari Terminal Jombor lewat Jl. Kebon Agung hingga menyeberangi Kali Progo untuk masuk wilayah Kabupaten Kulon Progo,
  3. Di Kabupaten Kulon Progo, susuri Jl. Nanggulan - Mendut ke utara melewati Pasar Dekso
  4. Belok ke barat di pertigaan arah ke Gereja Boro
  5. Setelah itu nanjak, nanjak, dan nanjaaak terus. #duh

 

Setelah melewati Gereja Boro, tepatnya setelah melewati jembatan, ada tanjakan nan jahanam yang kecuramannya 11-12 dengan tanjakan irung petruk-nya Cinomati. Sang istri sempat ketar-ketir karena si Vario mulai menunjukkan gelagat nggak kuat nanjak.  

 

Aku sendiri malah membatin.

 

“Mbiyen kok yo goblok pekok banget aku gelem-gelem e ngepit lewat tanjakan jahanam koyo ngene iki? Ngejak wong akeh ngepit meneh. Okeh wedok e. Ono newbie meneh.”

 

Akan tetapi, saat melihat ada bapak paruh baya yang sedang bersepeda siang-siang seorang diri di jalan yang menanjak ini, aku pun membatin.

 

Mungkin sakjane mbiyen aku ora pekok-pekok banget. Jebul tahun 2022 ono wong sing kelakuane koyo aku mbiyen. Luwih tuwo meneh. #hehehe

 


Jembatan difoto tahun 2010 silam.

 

Perjalanan menanjak pun berlanjut hingga pada akhirnya tibalah di suatu pertigaan jalan aspal yang mencengangkan. Di kanan, ada cabang jalan aspal kecil yang tetap menanjak. Sedangkan di kiri, ada cabang jalan aspal lebar, bagus, dua lajur, dilengkapi marka jalan dan… wujudnya turunan. #hehehe

 

Karena jelas cabang jalan yang kiri lebih menggoda, jadilah tanpa panjang kali lebar, perjalanan dilanjut menyusuri jalan turunan yang bagus itu. Apalagi, papan bertuliskan Curug Sidoharjo mengarahkan lewat ke jalan itu.

 

“Kok turun?” tanya istri yang bingung kenapa aku memilih jalan turunan yang bagus.

 

“Lha, itu ada papan arah ke Curug Sidoharjo disuruhnya lewat jalan turunan yang ini,” jawab aku.

 

Sebetulnya, aku ya juga agak ragu. Seingatku, jalan ke Curug Sidoharjo itu nanjak terus sampai ketemu sama musala (tempat menumpang parkir kendaraan) di kiri jalan. Seingatku pula, jalan ke Curug Sidoharjo itu nggak pakai adegan lewat jalan turunan. Apalagi, lewat jalan bagus nan lebar semacam ini.

 

Sang istri yang juga ragu-ragu lalu bertanya ke seorang ibu yang berumah di pinggir jalan. Oleh beliau, kami diberitahu untuk terus mengikuti jalan lebar yang bagus ini. Nanti di kanan ada cabang jalan dengan papan arah ke Curug Sidoharjo. 

 

Oke Bu! 

 

 

Eh, jebul ternyata cabang jalan ini mengarah ke Embung Canggal alias Embung Sidoharjo. Aku memang pernah baca berita kalau di dekat Curug Sidoharjo dibangun embung. Tapi, mbuh berita tahun kapan itu. Mungkin pembangunannya sepaket dengan jalan besar lebar tadi.   

 

Balik lagi ke jalan menuju Curug Sidoharjo. Dengan mengikuti sejumlah papan arah, tibalah kami di cabang jalan setapak berkonblok yang bertuliskan arah menuju curug. Sayangnya, sepeda motor dilarang lewat jalan setapak itu. 

 

Doh!

 

 

Karena sang istri ragu-ragu, bertanyalah dirinya kepada seorang mbak belia penjaga angkringan di dekat tempat parkir. Mbak belia bilang, kalau ke Curug Sidoharjo memang betul lewatnya jalan setapak itu. Kira-kira 10 menit jalan kaki santai. Sepeda motor bisa diparkir di samping angkringan, gratis.

 

Dengan begitu, si Vario pun diparkir di samping angkringan. Kemudian kami lanjut berjalan kaki menyusuri jalan setapak itu. 

 

Eh, baru beberapa belas meter melangkah, sol sandal gunungnya istri lepas! Sepertinya si sandal gunung kelamaan nggak diajak keluyuran ini. #hehehe

 

 

Aku kira insiden sandal rusak ini bakal mengurungkan niat sang istri buat ke curug. Eh, ternyata tetap lanjut! Sang istri memutuskan jalan nyeker sambil menggendong Whippi. 

 

Ditawari untuk dibelikan sandal jepit dulu, nggak mau. 

Ditawari Whippi gantian aku yang gendong, juga nggak mau.

 

Ya wislah sak karepmu Laav. #hehehe

Tak mlaku nang mburi wae, sambil motret-motret.

 

Untungnya sih jalan setapaknya itu bagus, dilapisi batu sabak yang permukaannya nggak tajam. Jadinya, nggak terlalu rekoso kalau dipakai jalan nyeker. #hehehe

 

Jarang-jarang ini, ada jalan setapak ke curug yang wujudnya bagus seperti ini. #senyum

 

 

Eh, rupanya jalan setapak yang bagus ini nggak tuntas hingga ke lokasi curug. Di tengah jalan berubah jadi jalan setapak yang “alami”. 

 

Duh, mesakne sang istri. Mulai tersiksa dia jalan nyeker. #hehehe 

 

Untungnya, perjalanan melintasi jalan setapak yang “alami” ini hanya sebentar. Setelah melewati jembatan tua, tersambung lagi dengan jalan setapak yang dilapisi batu sabak.

 

Piye iki? Keterbatasan dana pembangunan kah? #hehehe

 

Sepertinya, ini adalah jalan setapak lama ke Curug Sidoharjo. Sepertinya, dulu aku lewatnya ya jalan setapak ini dari musala tempat menumpang parkir kendaraan. Bedanya, dulu jalan setapak ini belum diperbagus dengan lapisan batu sabak.

 

 

Betul katanya mbak belia penjaga angkringan. Setelah berjalan kaki beberapa belas menit dari angkringan, kami pun tiba di lokasi Curug Sidoharjo. Yang bikin happy, airnya deras dan jernih. Sepertinya, minggu ketiga Maret 2022 ini memang waktu yang ideal buat menyambangi air terjun. #senyum.lebar

 

Hei, Curug Sidoharjo!

Setelah 12 tahun, aku datang mengunjungi kamu lagi lho lho lhooo! #senyum.lebar

Apakah kamu masih ingat dengan aku?

 

Eh, 12 tahun itu, ibaratnya singgah pertama pas masuk SD, kemudian singgah lagi pas lulus SMA?

 

Weh, lama juga ya?

Padahal tempatnya “cuma” di Kulon Progo yang masih sama-sama berplat AB.

 

 

Kalau dibilang, berselang 12 tahun, jelas ada banyak perubahan di kawasan Curug Sidoharjo. Paling terasa ya lokasi parkir kendaraan dan akses jalan setapak bagus yang dilapisi batu sabak. Lumayan nyaman buat jalan kaki. Asal jangan cepat rusak karena dilewati sepeda motor saja. #hehehe

 

Suasana di sekitar curug juga berubah. Sekarang ada “hiasan” papan nama Curug Sidoharjo yang bisa digunakan untuk latar foto... tapi sebetulnya bikin kawasan curug jadi terkesan nggak alami. #hehehe

 

Aku termasuk golongan orang yang ingin agar suasana di sekitar curug itu tetap alami tanpa “hiasan-hiasan” artifisial. Perkara hiasan yang nonartifisial, dulu itu di tepian Curug Sidoharjo ada hamparan bunga kuning yang pernah aku jadikan foreground foto. Sekarang, sudah digusur oleh selasar beton. #sedih

 

 

Selain hiasan “artifisial”, sekarang di dekat curug juga sudah dibangun toilet. Tapi, dilihat sepintas, toiletnya nggak terawat! #hadeh Untung pas waktu itu nggak ada yang pingin ngendog. #hehehe

 

Selain toilet juga ada tempat sampah sih. Kondisinya penuh. Semoga saja sampahnya tetap rutin diangkut atau dibakar.

 

Apa mungkin ya, sekarang orang-orang sudah jeleh dengan Curug Sidoharjo? Seingatku, dulu pernah ada masanya curug ini terkenal banget. Kalau curugnya sudah terkenal, akunya jadi malas ke sana. Makanya selang waktunya sampai 12 tahun. #senyum.lebar

 

 

Siang itu Curug Sidoharjo lumayan sepi. Wisatawan yang datang bisa dihitung jari. 

 

Nah, karena sepi, aku jadi agak leluasa memotret Curug Sidoharjo. Tahun 2010 silam itu kan kendalanya memotret Curug Sidoharjo adalah lensa yang kurang lebar. Sekarang, aku sudah punya senjata lensa Nikkor 10-20 DX. Dendam 12 tahun yang lalu terbalaskan deh. #senyum.lebar

 

Sayangnya, aku nggak bawa tripod. Jadi, nggak bisa motret pakai teknik slow speed. Sebetulnya, mau bawa tripod agak repot, soalnya kan sekarang juga bawa perabotannya Whippi.

 

Perkara Whippi, dianya malah takut main air. Sepertinya dirinya takut nyemplung ke air di mana dia nggak bisa melihat kakinya sendiri. Padahal sudah dicontohkan sama orangtuanya kalau sungainya nggak dalam-dalam banget. Yang ada malah minta digendong terus. #hadeh

 

Piye toh leleee… padahal bapak sama ibumu doyan curug. #hehehe

 

Kami hanya sekitar 40-an menit di Curug Sidoharjo karena langit mulai mendung dan perjalanan pulang masih panjang. Senggaknya, Whippi sudah kenal dengan sama yang namanya air terjun. Curug Sidoharjo adalah air terjun pertama yang Whippi dan aku sambangi seumur hidup di Yogyakarta.

 

 

Sebelum pulang, kami mencari "kewarasan" dengan meneguk dulu milo dingin di angkringan. Aku juga membelikan sandal jepit buat istri di toko kelontong dekat sana. Mesakne nek dirinya jadi tontonan karena motoran sambil nyeker. #hehehe

 

Berangkat dari rumah pukul setengah satu siang. Tiba di Curug Sidoharjo pukul dua siang. Tiba kembali di rumah pukul setengah lima sore. Benar-benar akhir pekan yang singkat di Curug Sidoharjo, Samigaluh, Kulon Progo, DI Yogyakarta.

 

Eh, apakah kunjunganku yang berikutnya juga berjarak belasan tahun dari sekarang? #hehehe

NIMBRUNG DI SINI