Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Rasanya kok kebangetan. Padahal letaknya hanya di kabupaten tetangga. Bisa ditempuh kurang dari satu jam berkendara.
Tapi kok, berselang 9 tahun, akhirnya Gua Permoni dikunjungi lagi!
Padahal ini bukan tempat yang ada sangkut-pautnya dengan kenangan bersama mantan. #eh #hehehe
Rabu siang, pada 8 Juli 2020. Mbuh kenapa Mbah Gundul memilih rute pulang bersepeda lewat Gua Permoni. Ya, karena terakhir kali ke sini 9 tahun yang lalu, jadilah kesempatan mampir ini tidak disia-siakan.
Toh, Mbah juga iya-iya ini. #hehehe
Tanpa berlama-lama, sepeda pun diparkir di dekat mulut gua. Semak yang tumbuh lebat di sekitar sana ibarat tanda bahwa Gua Permoni ini jarang dijamah orang.
Kenapa ya?
Apa mungkin, orang-orang zaman sekarang jarang berminat dengan tempat unik dan berbau mistis? #hehehe
Padahal kan ya menarik. Ada gua dengan bentuk bebatuan unik. Dalam gua tergenang kolam nan luas. Itulah cuplikan memori 9 tahun lalu yang mendadak terputar di benak.
Ternyata, pada masa Covid ini.
Weee.... jebul ternyata kolamnya asat!
Kering-kerontang!
Blas nggak terlihat setetes air sedikit pun.
Weee… kenapa ya?
Padahal 9 tahun yang lalu gua ini penuh air seperti yang bisa dipelototi pada foto-foto di atas. Sembilan tahun kemudian kok perubahannya signifikan sekali?
Eh....
Apa mungkin....
Di dalam Gua Permoni ini memang nggak ada sumber mata air?
Gua Permoni ini penuh kebak air ketika musim hujan thok?
Kolam yang tampak pada foto 9 tahun lalu di atas itu artinya tampungan air hujan?
Tapi, karena Gua Permoni kering-kerontang, artinya bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan pada saat 9 tahun yang lalu itu.
Jelas apalagi kalau bukan eksplorasi gua! #senyum.lebar
Jelas siapa lagi yang penasaran dengan isi Gua Permoni kalau bukan seorang Wijna! #hehehe
Sementara itu, Mbah Gundul mengawasi dari atas mulut gua. Tentu sambil merekam kelakuan teman gemblung-nya itu. #hehehe
Longsoran tanah membentuk jalan setapak alami menuju ke dasar Gua Permoni. Kondisi di dalam gua lumayan bersih. Tapi tidak untuk dinding-dinding gua yang tercoreng dengan aksi-aksi vandalisme. #sedih
Tak ada kelelawar yang bergelantungan di langit-langit gua.
Tak ada semerbak bau yang membuat mual.
Tak ada pengap yang terperangkap.
Kalau dipikir-pikir, Gua Permoni yang kering-kerontang tak lagi menarik. Tak ada genangan air luas yang konon menjadi habitat ikan-ikan keramat.
Bahkan sisa-sisa tulang ikan pun tidak terlihat!
Duh!
Ceruk yang ada di ujung gua pun kosong melompong.
Duh!
Bayangan kemistisan yang terkonstruksi 9 tahun silam mendadak buyar.
Duh!
Satu-satunya sisa keunikan Gua Permoni hanyalah bentuk bebatuan dinding dan langit-langitnya. Meskipun demikian, kuat indikasi adanya campur tangan manusia dalam proses penciptaannya.
Iya kah?
Lha mbuh...
Kalau mau tahu ya tanya saja kepada orang-orang yang paham. Tapi, jangan terburu-buru bertanya kepada orang-orang muda. Sebab, mereka belum lama hidup di dunia.
Tanyalah kepada orang-orang tua. Sebab, orang-orang tua telah lama hidup di dunia. Mereka tahu sejarah karena mengalami. Mungkin mereka bisa menuturkan sedikit cerita perihal Gua Permoni.
Sayang seribu sayangnya, orang tua penunggu Gua Permoni selalu diam ketika ditanya. Mungkin ia sedang sakit, sehingga tercecer banyak bungkus obat batuk di sampingnya. Semoga bukan Covid.
Miris?
Gua Permoni menjadi tempat lodse-nya kaum proletar?
Jadi ingin supaya Gua Permoni kembali tergenang kolam.
Jadi ingin supaya Gua Permoni kembali terkesan mistis.
Biasanya, di tempat mistis orang-orang berusaha tetap mempertahankan kewarasan. #hehehe
Eh, tapi nanti malah jadi tempat ngalap berkah! #hehehe
Ah, mbuh lah.
Semoga suatu saat nanti bisa mampir ke Gua Permoni lagi.
Nggak perlu harus menunggu 9 tahun. #hehehe
usum corona nganti geger ngeneki😎🥺
lagi.