HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Menggung yang Tersisa

Senin, 30 November 2020, 22:29 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Dalam beberapa kesempatan, tak jarang diri ini merasa “kafir”. Seperti misal, tertarik dengan peradaban beratus-ratus tahun silam. Mereka-mereka yang telah mewariskan segelintir jejak bagi generasi kini.

 

Terkadang pula, rasa-rasanya diri ini betul-betul “kafir”. Sekian tahun mengkaji alam. Kok ya berpaling ke ranah sosial. Tak lazim katanya orang. 

 

Adalah penasaran dan butuh. Dua hal yang melatarbelakangi hubungan nan intim. Yang terakhir dianggap lebih berbobot. Padahal, penasaran itu tak lain kebutuhan memuaskan rasa ingin tahu.

 

Pada akhirnya, baik penasaran dan butuh, sama-sama mengantarkan seseorang ke titik yang lebih tinggi. Walaupun hanya setinggi lereng Gunung Lawu. Setidaknya, sudah lebih tinggi dari samudra di selatan. 

 

Pun, segala rintangan diterjang. Seberapapun jauhnya. Seberapapun lamanya. Demi sesuatu yang menurut orang tak lazim.

 

Selazimnya itu adalah hujan yang turun pada Februari. Apalagi di lereng gunung. Lumrah hujan menyapa. Walaupun secercah cerah turut mewarnai hari.

 

 

Rintik. Gerimis. Basah. 

 

Mendung pada Rabu (20/2/2019) yang lalu. Pelan, air meluncur jatuh dari atap-atap rumah. Antara memakai mantel hujan atau tidak. Tapi, ingin mampir ke sini dan ke sana.

 

Desa Nglurah namanya. Di Tawangmangu kecamatannya. Sentra tanaman hias murah meriah julukannya.

 

Sepi. Sebab gerimis mungkin. Hari kerja juga mungkin. Tak ada pembeli tanaman hias yang berlalu-lalang, selain kami.

 

“Di pohon besar itu Mas,” tunjuk seorang ibu. 

 

Ibu yang halaman rumahnya penuh tanaman hias. 

Ibu yang menerima beberapa lembar uang dari sang istri terlucyu.

 

Jalan desa yang beraspal. Ke arah barat ia terbentang. Menuju ke rumah-rumah pedagang tanaman hias yang lain. Menuju ke suatu pohon besar di paling ujungnya.

 

Jadi, setelah mencuci-cuci mata di halaman rumah-rumah pedagang tanaman hias, tibalah kami di puncak jalan. Di mana gerbang masuk ke Situs Menggung berada. Di mana pohon besar itu berdiri.

 

 

Masih. Rintik. Gerimis. Basah.

 

Sang istri terlucyu duduk berteduh di tritisan pendopo. Sementara itu sang suami menuntaskan rasa penasarannya. Walaupun gerimis. Mumpung sudah jauh-jauh ke sini. Sebentar saja. #hehehe

 

Kompleks Situs Menggung. Gapura candi bentar bergaya Bali berdiri di muka. Gerbang besi bercat hijau di tengahnya. Gembok terpasang namun tidak dikunci. Tapi, gerbang dalam kondisi tertutup.

 

Ini, boleh dimasuki?

 

Di warung yang berdampingan dengan gapura tak ada orang. Pun, tak ada warga yang lewat. Nihil yang bisa ditanyai. 

 

Ya sudah. Diawali ucapan “kulo nuwun”, dibukalah gerbang bercat hijau. Ndilalah, mata menangkap sekelebat bayangan di dalam bilik jaga. Ini memang tempat keramat. Tapi ya mosok ada dhemit muncul di siang bolong? #hehehe

 

Lalu, dihampirilah bangunan pos jaga. Pintu kayu terbuka sedikit. Dari kaca bilik, duduk tiga remaja cowok di dalam. Gestur mereka waspada. Seperti terburu-buru mengamankan gawai. Ah, jangan-jangan... jangan-jangan.... #hehehe

 

Bukan penjaga resmi, tapi, tak ada salahnya meminta izin masuk. Dari dalam bilik, remaja-remaja itu mengangguk. Jari jempol mengacung ke atas sebagai balasan. 

 

Tenang wae. Jalani saja perbuatanmu dengan penuh tanggung jawab le. #hehehe 

 

 

Di lereng bukit, tersusun deretan anak tangga batu. Kemudian, naik-naik kita ke puncak bukit. Tanah yang lebih tinggi dari pemukiman para warga. Tempat di mana yang dipuja berada.

 

Menatap langit nan mendung. Menggapai langit yang tak berbatas. Mereka percaya, di sanalah dewa-dewa tinggal. 

 

Semakin tinggi dari yang hidup, semakin dekatlah ia kepada sang maha. Semakin agunglah ia dipandang oleh nyawa-nyawa yang menengadah. Segala yang hidup berada di bawah langit. Di bawah yang hidup, adalah sisa mereka yang telah tiada.

 

Dari bawah menuju ke atas. Dimulai dari bersimpuh menyucikan diri. Lalu bangkit menjalani hidup. Diakhiri diangkat oleh penghuni langit. Itulah jalan hidup sebaik-baik manusia.

 

Selaras. Tirta ada di dasar. Sementara punden ada di puncak.

 

 

Yang berasal dari atas adalah karunia dari yang disakralkan. Rintik gerimis, berkah kehidupan. Meskipun mungkin hanya sebatas percik bilas sang dewa.

 

Manusia pun meniti anak-anak tangga. Hendak menuju puncak. Menghaturkan puji dan syukur kepada Sang penurun karunia. Berharap murka tak sekali pun terjadi.   

 

Berjaga di antara batas yang sakral dan yang profan adalah Dwarapala. Dwara berarti gerbang dan pala berarti penjaga. Empat patung batu setinggi kurang dari pinggang pria dewasa mengamati para manusia yang meniti anak-anak tangga. 

 

Pagi. Siang. Sore. Malam. Dwarapala berjaga. Dengan senjata di genggaman. Dengan raut wajah nan sangar. Mengawasi. Menjaga. Melindungi.

 

 

Kemudian, di penghujung anak-anak tangga adalah puncak bukit. Di sanalah terbentang tanah yang tidak lapang. 

 

Pohon-pohon besar tumbuh tinggi menjulang. Beberapa batang dibalut poleng. Sekelumit tanda bahwa mereka disakralkan.

 

Entah sudah berapa usianya. Puluhan tahun? Mungkin ratusan tahun. 

 

Merekalah saksi bisu berubahnya sebuah peradaban. Orok yang pertama kali bertamu, lalu menjadi dewasa, renta, dan berakhir sirna. Dari generasi ke generasi. Pohon-pohon yang hidup bersama peradaban Dusun Nglurah.   

 

Tentang susunan batu yang membentuk petak-petak persegi, mungkin mereka yang lebih fasih bercerita. Tentang apa yang pernah berdiri di tempat ini. Tentang apa yang pernah terjadi di tempat ini. Kemarin dan bertahun-tahun lampau.

 

Entah hingga kapan mereka akan tegak menjulang. Usia akan senantiasa fana. Semoga hanya alam yang berkuasa untuk menumbangkan. Bukan tangan-tangan serakah manusia.

 

NIMBRUNG DI SINI