HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Manguntapa Tentang Nikah

Sabtu, 31 Oktober 2020, 13:38 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Pernah pada suatu ketika, seorang Wijna berpikir bahwa menikah itu adalah sesuatu hal yang mustahil untuk ia lakukan. Pernah pula berpikir untuk tidak menikah seumur hidup. Kosakata selibat pun bukanlah sesuatu yang asing baginya.

 

Kenapa?
 

Yah, macam-macamlah alasannya. #senyum.lebar

 

Boleh dikata, saat itu seorang Wijna memiliki banyak keinginan. Selepas terbebas dari mengenyam pendidikan strata, tentu ada banyak rencana yang menanti untuk direalisasikan.

 

Akan tetapi, menikah tidak termasuk di dalamnya. Mungkin karena selama dua puluh tahun terakhir hidupnya, seorang Wijna tak pernah memiliki hubungan spesial dengan lawan jenis. Eh, yang ada malah false love. #hehehe

 

Kedua orangtuanya yang menikah di usia kepala tiga pun tak ambil pusing. Toh, usia si anak sulung itu masih kepala dua awal.

 

 

Maka dari itu.

 

Setiap kali terlontar wacana untuk menikah, seorang Wijna akan berlindung di balik misi-misinya. Seorang Wijna masih menikmati kesendiriannya, walaupun apa yang dilakukan tidak berjalan mulus sesuai dengan yang direncanakan. 

 

Di lain sisi, beberapa kali terdengar suara tak kasatmata yang seakan mengusik kenikmatan seorang diri itu. Pertanyaan-pertanyaan menggema berulang-kali. 

 

“Mau sampai kapan?”

“Sudah puas?”

“Manusia itu pasti bakal mati lho?”

 

 

Bagi seorang Wijna, bau tanah akan selalu mengingatkan pada peristirahatan terakhir. Penyemangat agar tidak menyia-nyiakan hidup. Pengingat agar berhati-hati dalam hidup. Bau tanah adalah akhir dari perjalanan manusia.

 

Sedangkan puncak memang masih jauh. Tidak seperti Merapi yang pucuknya terlihat. Perkara puncak ambisi ini tak jelas sejauh apa. Pun, ada atau tidaknya belum jelas.

 

“Memangnya betul, mau tidak menikah seumur hidup?”

“Memangnya ada wanita yang mau diajak menikah?”

 

Oleh sebab itulah, ego yang menjelma seperti singa pelan-pelan melunak. Bukan menyerah, melainkan kompromi. Tidak sampai segitu, tapi cukup segini.

 

 

Hingga pada suatu ketika, Tuhan seakan membentangkan jalan menuju pelaminan. Ada wanita yang hadir, berkenan menemani. 

 

Ibarat keluar dari belantara rimba yang bebas melakukan apapun sesuka hati. Kini berjalan bersama menapak terjalnya jalan menuju puncak.

 

Pelan-pelan muncul keyakinan dalam diri. Sesuatu yang dulu dirasa mustahil perlahan tampak nyata. Menikah mungkin tak lagi sekadar wacana.

 

Mungkin inilah imbal kompromi yang dibalas Tuhan.

 

 

Akan tetapi, nun jauh kemudian, jalan itu mulai retak. Apa yang tadinya mulus, kini membuat terseok.

 

Alhasil, langkah tak lagi ringan. Diam menjadi lumrah. Letih adalah jamak. Peluh dan air mata bercampur aduk.

 

“Apa salahku?”

 

Lirih suara samar menjawab, “banyak.”

 

Hingga kemudian hanya tandus yang menemani. Seorang diri.

 

Agaknya, Tuhan marah, lalu menarik pemberian-Nya.

 

 

Selepas itu, keraguan sempat muncul. Apa yang tampak nyata, kini menjadi mustahil kembali. 

 

“Mungkinkah menikah itu memang hanya sebatas wacana?”

“Mungkinkah wanita memang sulit dimengerti?”

 

Akan tetapi, saat menoleh ke belakang, dan melihat sejauh dan seberat apa usaha untuk mencapai titik ini... sepertinya... menyerah bukanlah pilihan yang tepat. Harus tetap yakin bahwasanya menikah itu bukanlah sesuatu yang mustahil.

 

Mungkin, yang demikian itu sudah digariskan oleh Tuhan. Apa yang datang kelak akan pergi. Walaupun berat, harus diterima dan dijalani.

 

Hubungan pria dan wanita adalah hal yang rumit. 

 

 

Selama perjalanan itu, ada kalanya harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Pria bisa memilih. Wanita yang pada akhirnya menentukan.

 

Mungkin karena terlalu gegabah. 

Mungkin karena tak paham yang dimaui wanita.

 

Di satu titik pernah merasa seperti sampah yang berceceran. 

Merasa tak diinginkan. 

Merasa tak berarti.

 

Semua disimpan dalam hati. Tak guna berkoar. Tak usah memelas. Cukup yakin dan lakukan apa kata hati,

 

“Bukannya kamu punya sesuatu yang harus diselesaikan?” begitu katanya. 

 

 

Tak terasa usia sudah menginjak kepala tiga. Seorang Wijna tiba di usia tatkala orangtuanya menikah.

 

Hingga pada akhirnya tibalah di momen ketika suara itu bertanya,

 

“Sudah selesai?”

 

Ketika dijawab sudah, suara tanpa wujud itu seakan tersenyum.

 

Berbulan-bulan-bulan kemudian, seorang Wijna akhirnya menikah. Sesuatu yang dulu dirasa mustahil menjadi benar-benar nyata.

 

Tak ada sorai,

 

“Horeee! Akhirnya ada wanita yang mau jadi istriku!”

 

Melainkan,

 

“Semudah ini bisa menikah?”

 

Tak percaya.

 

Ibarat dalam sebuah gim petualangan, sang pemain dengan mudahnya mengalahkan bos tersulit. Mungkin sang pemain sudah naik tingkat. Tapi, kapan naik tingkatnya? Mungkin pula ini akibat campur tangan Tuhan.

 

Tentu, setelah menikah pun hidup tetap bagaikan petualangan. Ada susah dan senangnya. Perjalanan masih jauh. Puncaknya belum terlihat jelas.

 

Tapi, dari gambaran besar yang terlihat. Sepertinya, ini bakal jadi perjalanan yang menyenangkan. #senyum

 

 

Seperti biasa, ketika tombol rana ditekan dan kamera berhasil menyimpan keindahan Gunung Ciremai dalam kartu memori, tampilan prasunting pun muncul di LCD. Apakah jepretan akan diulang atau dipertahankan itu urusan belakangan. Yang jelas....

 

Doh! Sudah hampir satu jam sang istri aku tinggal sendirian di bawah!

 

Buru-buru layar handphone diaktifkan. Tak ada pesan yang masuk. Oh, ya cetha! Lha wong tidak ada sinyal sama sekali di puncak ini.

 

Jadi ya bergegas pula merapikan peralatan memotret lalu turun ke dasar bukit Seribu Satu Tangga Manguntapa. Entah kenapa perjalanan pulang selalu terasa lebih cepat dari saat berangkat.

 

 

Inilah suatu Minggu siang (7/7/2019) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Niat hati hanya ingin “sedikit” tahu bukit Seribu Satu Tangga Manguntapa seperti apa. Eh, malah bablas hingga ke puncak.

 

Hanya naik sendiri, sebab sang istri terlucyu memilih duduk menunggu di bawah rimbunnya pohon pinus dekat parkiran mobil. Tak mau capek-capek. Besok dirinya masuk kerja.

 

Sementara itu Bapak dan Ibu menghadiri resepsi pernikahan kawannya Tiwul di area hutan pinus. Kami hanya menunggu, sebab tidak kenal dan tidak diundang. Pun yang melekat di tubuh tak mencerminkan orang yang berniat kondangan. #hehehe

 

Oleh karena itu, pikiran liar sekian paragraf ini pun lahir saat meniti langkah menuju puncak bukit Seribu Satu Tangga Manguntapa. Merasa serupa dengan alasan menghindari pernikahan belasan tahun silam.

 

Ah, nikah... nikah....

 

 

Akhir kata, selamat untuk Arlavinda dan Bernd. 

 

Semoga kalian senantiasa berbahagia dan berada dalam lindungan-Nya. #senyum

 

 

Hmmm....

 

Sedangkan bagi dia yang sekarang terpisah jarak 10.000 km, apa pernah memikirkan tentang menikah seperti tulisan ini ya?

NIMBRUNG DI SINI