Hidup adalah sesuatu yang senantiasa direncanakan, tapi sulit diterka.
Maka dari itu, dekatlah kepada Tuhan. Sebab Ia selalu menjagamu, 24 jam, tanpa henti.
#1. Tak Tahu
Provinsi Riau. Rabu sore (27/4/2016). Menjelang magrib.
Di dalam suatu mobil travel, aku duduk. Melaju ke timur, dari Kampar ke Pekanbaru.
Baru saja melewati kampus UIN Sultan Syarif Kasim II. Sebentar lagi tiba di simpang empat Panam. Mas teman dudukku yang mirip Rifqy “Papan Pelangi” turun di sana.
Tinggal aku dengan dua penumpang lain. Mereka di baris depan. Kami tak saling sapa. Pun dengan abang kenek dan bapak sopir. Blas, tak ada percakapan.
Aku tak tahu mau turun di mana. Paling-paling nanti di tepi jalan raya. Lalu mbuh bagaimana lagi.
#2. Tiba-Tiba
Simpang empat Panam terlewati. Mobil berbelok ke utara, menyusuri Jalan Merpati Sakti. Turunlah dara yang duduk di bangku depan. Mahasiswi yang baru balik ke kos sepertinya.
Penumpang travel tersisa dua orang. Aku dan seorang bujang.
Tiba-tiba, abang kenek bertanya. “Turun di mana?”
Suasana hening pecah. Untung si bujang ditanya pertama. Untung aku duduk di bangku paling belakang. Hal yang tak favorit saat sekolah sekarang ada gunanya. #hehehe
Di genggaman ada gawai Android. Di aplikasi Google Map, letak Universitas Riau lumayan dekat. Pun mobil rupanya berbalik lagi menuju jalan raya.
Jadi, ketika ditanyai abang kenek, aku jawab saja turun di Universitas Riau. Beres urusan.
Eh, ternyata abang kenek belum puas. Ia minta tempat yang lebih spesifik. Kompleks universitas kan luas.
Tanpa pikir-lagi lagi, terucap jawaban muka gerbang Universitas Riau. Syukur abang kenek tak bertanya lagi. #lega
#3. Pilihan
Mobil travel menepi di Jalan Raya Panam. Aku turun tepat di muka gerbang Universitas Riau.
Baru beberapa detik memijak tanah, mobil travel berlalu. Tanpa ba-bi-bu dari abang kenek dan bapak sopir. Tinggallah aku sendiri di Pekanbaru. Dinaungi azan Magrib yang bersahut-sahutan.
Kini ada dua pilihan: mencari penginapan atau melanjutkan petualangan. Kedua hal ini harus dipilih salah satu, di tepi jalan raya nan ramai.
Perkara penginapan, blas sama sekali tak punya rencana. Tak tahu mau menginap di mana. Bahkan googling-googling penginapan saja tidak.
Ah, gampang lah. Masak nggak ada penginapan di Pekanbaru? Hotel berbintang banyak toh? #hehehe
Jadi, pilihan satu-satunya adalah melanjutkan petualangan. Malam-malam di Pekanbaru.
Bisa jadi, malam ini adalah satu-satunya waktu selo untuk keluyuran. Besok, rencananya sudah pindah ke Kepulauan Riau.
#4. Pengalaman
Ada ambisi lain, selain memburu curug di tanah seberang. Kaus khas daerah menjadi incaran. Macam Dagadu kalau di Jogja. Joger kalau di Bali. Sedangkan di Pekanbaru ialah PlatBM1912.
Itulah yang menjadi jarak tempuh 3 km. Menurut Google Maps sih. Dari muka gerbang Universitas Riau, lewat Jalan Bangau Sakti, disambung Jalan Kamboja.
Jalan kaki lagi. Mau naik ojek, teringat irit duit.
Malam-malam, jalan kaki di Pekanbaru, sepertinya bukan ide buruk. Ini kan area kampus. Pun, masih pukul 6 sore lebih. Dhemit baru keluar. Belum cemas begal. #hehehe
Berpengalaman pulang jalan kaki dari kampus FMIPA Utara. Plus, jalan kaki ke Kompleks Candi Muaro Jambi. Terpikir ringanlah jarak 3 km yang bakal ditempuh itu.
Toh ya toh, ini kan di kawasan kampus. Bukan pedalaman.
#5. Untungnya
Jadi, dari depan gerbang Universitas Riau balik lagi jalan kaki ke arah barat. Menyusuri tepi badan jalan raya yang tidak bertrotoar.
Agak menyesal juga. Saat di mobil travel tadi harusnya minta turun di Jalan Merpati Sakti saja. Ke Jalan Bangau Sakti lebih dekat dari sana. Sama-sama burung sakti soalnya. #eh
Sedangkan kalau dari depan gerbang Universitas Riau, perlu jalan kaki sekitar setengah kilometer lebih. Lumayan jauh juga.
Ya, untungnya cuaca cerah. Malam, jadi tidak panas. Di pinggir jalan raya jadinya ramai.
Tapi ya rasa sesal itu masih terasa dalam setiap langkah. Yang sudah terjadi ya terjadilah saja! #hehehe
#6. Sederhana
Setelah menyusuri tepi jalan raya. Melewati berbagai macam kios-kios kaki lima dan kompleks pertokoan. Akhirnya tiba juga di muka Jalan Bangau Sakti.
Dari sini tinggal jalan kaki lurus ke arah utara hingga bertemu cabang ke Jalan Kamboja. Sederhana sekali.
Pada peta, Jalan Bangau Sakti membentang di sisi barat Universitas Riau. Berbatasan dengan kompleks kampus.
Dalam pikiran, Jalan Bangau Sakti tak ubahnya Jalan Persatuan alias Jalan Kaliurang Bawah di Yogyakarta. Sama-sama membentang batas dengan kompleks kampus.
Dengan demikian, lumrah bilamana otak menyandingkan suasana jalan di dua provinsi yang berbeda itu. Otak membutuhkan hal yang terasa akrab, untuk memacu semangat berjalan kaki di tempat asing.
Akan tetapi....
#7. Kenyataan
Yah, kenyataan acap kali berbeda dengan perkiraan. Tak terkecuali dengan ini.
Jalan Bangau Sakti itu sepi sekali! Tak perlu jauh-jauh membandingkan dengan Jalan Persatuan di Yogyakarta. Cukup dengan Jalan Raya Panam yang tadi dilalui.
Melangkahkan kaki di sisi barat jalan beraspal. Lagi-lagi tanpa trotoar. Beresiko terserempet kendaraan karena jalan tak terlampau lebar.
Duh, tanpa penerangan jalan pula! Andaikan di sisi barat jalan tak diberkahi lampu-lampu dari rumah dan toko, mungkin cercah hanya bertumpu pada sorot lampu kendaraan yang melintas.
Sisi seberang timur sangat tak menarik dilirik. Hanya bentang monoton tembok kompleks Universitas Riau. Gelap tak berpenerangan. Pun lebat semak liar dan rimbun pepohonan. Cocok sebagai markasnya dhemit. #eh
Oleh sebab itu, berjalan di sisi barat Jalan Bangau Sakti adalah pilihan tepat.
Tapi, berjalan kaki malam hari di Jalan Bangau Sakti sepertinya bukan pilihan tepat. #hehehe
#8. “Diospek”
Memanggul tas carrier 40 liter dan menenteng tripod. Dengan suasana jalan yang tidak sesuai perkiraan. Lumayan berat juga beban jalan kaki malam ini. #hehehe
Untungnya, semakin ke utara, peradaban mahasiswa semakin terasa. Walau sepi mahasiswi #eh, tapi suasana familier perlahan eksis. Kios fotokopi, warung makan, kios pulsa, laundry-an, minimarket, you name it.
Yang terpenting, tembok kompleks Universitas Riau tak lagi memancarkan aura horor. Warung makan kaki lima berjejer di sisi timur jalan. Sebetulnya ya lapar, tapi nanti sajalah makan setelah beres urusan penginapan. #mbuh.kapan.cari.penginapan
Akhirnya tiba juga di cabang Jalan Kamboja. Kali ini menyusuri Jalan Kamboja ke barat hingga bertemu dengan toko kaus PlatBM1912.
Suasana di sepanjang Jalan Kamboja tidak ada apa-apanya setelah tadi “diospek” di Jalan Bangau Sakti. Hanya jalan kecil yang lumayan sempit untuk papasan dua mobil. Kanan kiri banyak warung makan dan rumah (kos-kosan?). Tanah kosong juga banyak. Tapi, setidaknya tak berpohon lebat macam hutan. #hehehe
Tiba sudah di titik yang ditunjukkan Google Maps. Toko kaus Plat BM1912 bertempat di halaman bangunan kos-kosan. Jejer dengan warung kelontong.
Suatu kompleks usahakah ini?
#9. Kebetulan
Weladalah....
Pintu toko terkunci. Lamp-lampunya padam. Pun tak ada orang.
Modyar....
Pertanda harus balik besok. Menyambangi toko kaus pada malam hari sepertinya bukan aksi yang bagus.
Ketika sedang mengulik nomor toko yang bisa dihubungi, muncullah seorang abang dari warung kelontong. Dikiranya aku ingin beli sesuatu.
Iya Bang. Mau beli. Tapi, bukan kelontong. Maunya kaus. #hehehe
Eeeh... rupanya si abang pemilik toko kaus Plat BM1912! Alhasil, pintu toko dibuka. Lampu-lampu dinyalakan. Kemudian berjagalah si abang di balik meja kasir.
Eeeh... rupanya pula si abang satu almamater! Hanya beda fakultas sekaligus beda angkatan #seketika.merasa.tua. Obrolan kami tersambung ketika menyinggung Mirota Kampus dan Sunmor.
Ah, benar-benar suatu kebetulan. #senyum
#10. Siapa Tahu
Transaksi kaus selesai. Bertanyalah aku kepada si abang pemilik toko. Apalagi kalau bukan perihal penginapan. Siapa tahu ada di dekat sini.
Sayang sekali. Si abang bilang tak ada penginapan di sekitar sini. Yang banyak ya kos-kosan.
Eh, si abang memberi ide bagus. Saran darinya adalah menginap di kos-kosan. Kan ada itu kos harian. Siapa tahu boleh.
Yang jelas tidak boleh itu adalah menginap di kos-kosan yang dikelola orangtuanya si abang ini. Kos-kosan khusus cewek soalnya. #hehehe
#11. Rencananya
Menuruti saran si abang. Aku berjalan menghabiskan sisa Jalan Kamboja menuju ke Jalan Garuda Sakti. #burung.sakti.lagi
Rencananya, jika nanti di Jalan Garuda Sakti tak ada kos-kosan yang bisa diinapi, ya... terpaksa cari ojek buat cari penginapan. Daripada tidur di serambi masjid? #hehehe
Menjelang ujung Jalan Kamboja, mata melihat spanduk besar. Tertempel di tembok samping suatu bangunan berlantai dua. Tulisan di spanduk tentu saja “Kos Harian”.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Tanpa pikir panjang langsung saja menghampiri bangunan yang mirip ruko itu.
#12. Warung
Di lantai dasar bangunan berderet kios-kios. Salah satunya warung makan Padang. Ramai, mungkin karena sudah jam makan malam.
Demi mencari informasi perihal kos harian, warung Padang itu disambangi. Uni warung menyarankan agar menyambangi warung pecel lele di kios terujung. Katanya, itu warungnya pemilik kos harian.
Pindahlah posisi dari warung makan Padang ke warung pecel lele. Di muka warung pecel lele, seorang abang sedang menggoreng lauk. Pertanyaan pun terlontar kepada si abang.
Apa benar ini warungnya pemilik kos harian?
Apa bisa bertemu dengan pemilik kos?
Si abang menanggapi pertanyaan di atas dengan mengundang seorang ibu paruh baya. Ibu itu sedari tadi me-momong anak kecil di depan warung. Si abang bilang, ibu itu istrinya pemilik kos harian.
Oooooh....
#13. Kalau Begitu
Aku dan sang ibu duduk di bangku-meja santap di luar warung. Sementara si abang masih berkutat mengolah pesanan pelanggan.
Kepada sang ibu aku menjelaskan maksud menyewa kamar kos harian untuk semalam. Eh, rupanya sang ibu kurang paham manajemen kos. #doh
Sang ibu bilang, ia hanya menangani warung pecel lele. Perkara kos-kosan ditangani suaminya.
Kalau begitu, ke mana gerangan suami sang ibu?
Dapatkah bertemu pada malam ini?
Ibu kos #supaya.mudah.menyebut bilang bahwa suaminya sedang pergi menunaikan salat Magrib di masjid. Tapi, mungkin pulangnya agak lama. Sebab, sekalian membeli beras untuk persediaan warung pecel lele.
Oleh karenanya, ibu kos meminta aku untuk menunggu.
#14. Favorit
Sambil menunggu bapak kos datang, aku putuskan untuk makan malam di sana. Kepada si abang dipesan seporsi nasi + tempe-tahu goreng + sambal pecel. Harganya murah, Rp10.000 saja. Mungkin karena para pelanggannya adalah mahasiswa.
Aku makan ditemani ibu kos. Kami bertukar cerita. Beliau antusias ketika tahu asalku dari Yogyakarta (padahal masih ber-KTP ibukota #hehehe). Putri beliau rupanya satu perguruan denganku (walaupun beda fakultas #hehehe). Lagi-lagi suatu kebetulan.
Ibu kos cerita, ia sangat suka dengan gudeg. Setiap menjenguk putrinya di Yogyakarta, ia tak pernah absen menyantap gudeg. Favoritnya adalah gudeg Yu Djum di kawasan Mbarek.
Heran aku. Kok bisa-bisanya orang Pekanbaru suka gudeg? Sebab, rasa manis gudeg umumnya kurang “ramah” bagi lidah orang luar Yogyakarta.
#15. Tidak Juga
Selain gudeg, ibu kos juga cerita tentang mahasiswa Riau. Umumnya, keluarga Riau yang mampu akan menguliahkan anaknya di Yogyakarta. Seakan ada anggapan, kalau mau kuliah ya harus kuliah di Yogyakarta.
Apa itu karena mutu perguruan tinggi di Yogyakarta lebih bagus dari di Riau?
Ibu kos bilang tidak juga. Umumnya, orang tua Riau menguliahkan anaknya di Riau karena si anak tidak boleh pergi jauh.
Aku teringat Rizka ketika ibu kos menyinggung mahasiswa Riau. Dia kan asalnya dari Riau dan sudah kerasan tinggal di Yogyakarta. Semoga Allah SWT memberi yang terbaik bagi kesehatan dirinya.
Aamiin.
#16. Jawaban
Beberapa puluh menit setelah makan malam ludes. Akhirnya, datanglah seorang pria paruh baya. Bersarung. Berpeci. Mengendarai sepeda motor. Itulah bapak kos yang dinanti-nanti.
Sekarung beras dan sejumlah belanjaan termuat di atas sepeda motor. Abang yang sudah senggang membantu menurunkan barang belanjaan.
Setelah suasana tenang, kepada bapak kos aku jelaskanlah maksud dan tujuan. Sama seperti yang aku utarakan ke ibu kos beberapa menit yang lalu.
Tak disangka, jawaban bapak kos membuat terkejut.
Kamar kosnya sedang penuh semua! #doooh
#17. Lalu
Akan tetapi, yang terjadi setelahnya adalah seperti judul artikel ini. #senyum
Bapak kos menawarkan, jika hanya sekadar bermalam menunggu pagi, silakan menempati kamar si abang warung pecel lele di belakang. Kebetulan ada satu kasur kosong. Tapi, maaf hanya kamar seadanya.
Lha, lalu biaya menginapnya bagaimana?
GRATIS, kata bapak kos. Tak perlu bayar.
Tenane Pak!?
Alhamdulillah! #senyum.lebar
#18. Yang Terpenting
Bapak kos kemudian mengantar aku ke kamar si abang. Aku dipersilakan bersih diri dan istirahat.
Sejurus kemudian, beliau kembali ke depan warung. Seorang diri kini aku di kamar si abang.
Wujud kamar si abang tak ubahnya kamar kos pria pada umumnya. Tak terkecuali kondisinya yang sulit untuk disebut rapi. #hehehe
Ukuran kamar si abang sekitar 3 kali 3 meter. Lantainya keramik. Tiga dindingnya disekat triplek. Tak ada jendela. Untung ada kipas angin dan colokan listrik.
Sepertinya kamar si abang juga merangkap sebagai gudang. Di dekat kasur yang kosong tertumpuk banyak kardus dan juga kursi-kursi.
Sekiranya yang demikian itu sama sekali tak membuat kenyamanan berkurang. Aku sudah capai sekali. Yang terpenting bisa merebahkan tubuh di tempat layak. Karenanya, sehabis mandi dan salat, aku pun segera terlelap.
#19. Gang
Kamis pagi (28/4/2016). Pukul setengah enam.
Aku terbangun di kamar si abang. Sendiri. Kasur sebelah sudah kosong. Sewaktu nglilir semalam, sempat lihat si abang terlelap di sana.
Aku periksa isi carrier-ku. Aman. Kamera dan lensa masih utuh. Gawai masih tersambung ke pengisi daya.
Keluar kamar. Tepat di depan pintu terbentang gang sempit. Lebarnya sekitar satu setengah meter. Di sana ada meja tempat rempah dan penanak nasi.
Menghadap gang, ke kanan adalah tempat bersantap warung sekaligus letak pintu utama. Sedangkan ke kiri adalah dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi dan pintu belakang.
Di dapur, si abang sedang menyapu. Aku ucap salam singkat. Bergegas ke kamar mandi untuk berwudu. Lanjut menunaikan salat subuh yang hampir kesiangan.
#20. Aa
Rampung salat, mengobrollah aku dengan si abang. Terlalu sekali, semalam langsung terlelap tanpa menunggu si abang menutup warung.
Kaget. Si abang mengenalkan diri sebagai perantau dari Sukabumi. Mendadak kental logat Sundanya.
Duh. Kurang peka aku semalam. Harusnya ia kuundang “A” atau “Aa”, layaknya mengundang mas-mas warung Burjo. #hehehe
Si Aa cerita, ia sudah enam tahun merantau di Pekanbaru. Selama itu, ia berprofesi sebagai juru masak pecel lele sebagaimana keahliannya. Hingga pada akhirnya bekerja di warung pecel lele ini.
Tinggal di sini, ia seorang diri. Mengurus segala hal terkait warung, hampir semuanya seorang diri. Luar biasa sekali. #salut
#21. Pamit
Tak ingin merepotkan Aa lebih lama, segera semua barang bawaan dikemasi. Setelah bersih diri, aku pun pamit ke Aa.
Aku pun bilang ke Aa. Ingin pamit juga dengan bapak dan ibu kos. Semalam, sudah banyak merepotkan mereka.
Akan tetapi, Aa bilang bapak dan ibu kos tak tinggal di sini. Rumah mereka jauh. Ke sini hanya ketika malam.
Ya, sudah. Aku titip salam ke Aa. Tolong sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Atas kemurahan dan kebaikan hati mereka, aku sudah dibolehkan bermalam di sini. Semoga kelak Allah SWT membalas semua kebaikan mereka.
Aamiin.
#22. Terima Kasih
Sungguh suatu pengalaman yang langka. Bisa menumpang menginap di warung pecel lele. Di Pekanbaru. Di tempat yang sama sekali asing.
Alhasil, selama 3 hari 2 malam bertualang di Riau, blas sama sekali tidak mengeluarkan ongkos menginap. Apa ini salah satu berkah Allah SWT kepada para musafir?
Dari warung pecel lele, petualangan di Pekanbaru berlanjut. Pesawat ke Kepulauan Riau baru berangkat sore nanti. Alhamdulillah, Pangeran Wortel menyanggupi ajakan untuk menemani keluyuran.
Terima kasih untuk semuanya wahai Pekanbaru dan warga-warganya. #senyum