Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Tangis sang istri terlucyu pecah di tengah perjalanan. Duduk di jok belakang si Vario, dirinya berusaha supaya bulir-bulir air matanya nggak tertangkap pelintas jalan yang lain.
Sebagai orang yang mengemudikan si Vario, aku sempat beberapa kali menoleh ke belakang. Pertanyaan “kamu kenapa e Laav?” yang terucap lagi dan lagi seakan menunjukkan kebodohan seorang suami yang pernah menyandang gelar cowok yang tidak peka. #hehehe #halah
“Nggak tahu.”
“Nggak bisa mikir.”
“Nggak jadi aja.”
Adalah jawaban-jawaban singkat yang diucapkan sang istri. Nggak perlu tebak-menebak. Aku tahu mood-nya sang istri bagaikan kulit telur yang digilas truk tronton. Hancur remukz berantakan.
Tapi, yaaa... mau bagaimana lagi? Pada Sabtu pagi (28/9/2019) yang lalu, rentetan hal nggak mengenakkan tiba-tiba datang bertubi-tubi. Bagi sang istri yang apa pun hampir selalu dipikir serius, yang seperti ini jelas mengobrak-abrik perasaannya.
SILAKAN DIBACA
Selang beberapa puluh menit kemudian, kami berhenti sebentar di SPBU Sapiturang. Selain memberi si Vario minum, dengan smartphone aku berusaha menyingkirkan hal-hal yang sekiranya bisa membuat mood sang istri makin jeblok. Sejauh perjalanan ini, sang istri masih tetap diam walaupun matanya sudah nggak berkaca-kaca. #ada.peningkatan #hehehe
“Ini di luar kuasaku!”
“Ini bukan salahku!”
“Ini nggak bisa aku cegah!”
Seruan-seruan di atas itu terngiang-ngiang dalam batin. Semacam ada defence keyakinan yang mendadak aktif ketika seorang Wijna hendak disalahkan. Benar-benar sifat menjengkelkan yang sering membuat orang lain emosi. #hehehe
Inginnya sih lepas tangan dari masalah dan penyebab yang merusak mood sang istri ini. Tapi, seruan lain di dalam batin yang ikut nimbrung,
“Lha kowe kok yo goblok tenan! Ngopo sewengi bojomu kok gawe mangkel!?”
seakan meruntuhkan pertahanan diri yang tidak mau disalahkan itu #hehehe.
Kalau merunut-runut adegan beberapa belas jam yang lalu... ya... akulah yang menggelincirkan kerikil yang kelak membuat batu raksasa jatuh di atas mood sang istri. #hehehe
Tapi, ulahku kan tetap hanya menggelincirkan kerikil. Mana tahu aku karena kerikil itu bakal ada batu raksasa yang ikut jatuh? #keras.kepala #tetap.tidak.mau.disalahkan #hehehe
“Ke pantai di Gunungkidul aja.”
Alhamdulillah #senyum. Perkataan itu terucap dari mulut sang istri yang masih bertahan duduk di jok belakang si Vario. Tetap, perkataan itu terucap dengan nada datar, tanpa keceriaan secuilpun.
Berdasarkan analisa tanpa memakai perasaan #hehehe, perkataan sang istri di atas itu jelas bukan suatu bentuk keinginan. Bisa jadi, sang istri menjawab todongan pertanyaan,
“jadinya, pantai yang mana nih?”
dengan berat hati dalam mood-nya yang remukz itu.
Oleh sebab (diasumsikan) ucapan sang istri di atas itu nggak membuat weekend terakhir di bulan September 2019 menjadi ceria, jadilah si Vario tetap dipacu bablas menyusuri jalan raya ke arah timur. Batinku,
“Sithik meneh wis Pracimantoro, mosok batal?”
“Tur aku yo ra nduwe backup plan liyane. Pantai nang Gunungkidul sing opo? De e dijak rembug paling yo gur meneng wae.”
“Ah, sing penting sarapan sik lah. Ngelih aku, ket mau motoran terus, ra tau mandeg ngemil meneh.”
Jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi lebih banyak. Tibalah kami dengan selamat sentosa di perempatan Pasar Pracimantoro yang masuk wilayah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Seperti ucapan batin di atas itu, karena lapar jadilah sang istri diajak untuk sarapan dulu sebelum melanjutkan lagi perjalanan ke timur.
Kalaupun sang istri ditanya mau sarapan apa, dia pasti bilang “terserah”. Apalagi kalau ditanya mau sarapan di mana, dia pasti bilangnya “nggak tahu”. Punya ilmu pengetahuan kuliner apa dirinya di Wonogiri ini? #hehehe
Karena sepertinya pagi ini sang istri kurang kooperatif dalam menentukan ini dan itu, jadilah si Vario diberhentikan di depan warung mie ayam dan soto utaranya perempatan Pasar Pracimantoro. Aku pesan mie ayam sementara sang istri pesan soto ayam.
Alhamdulillah. Setelah sarapan mood-nya sang istri mulai membaik. Mungkin ya lapar adalah salah satu penyebab jeleknya mood sang istri. Walaupun ya... di lidahku rasa mie ayam dan sotonya “B aja”. #hehehe
Selanjutnya, tanpa merajut banyak obrolan, perjalanan pun berlanjut ke provinsi lain. Kalau tadi sudah menyeberang dari DI Yogyakarta ke Jawa Tengah. Kali ini, menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Rekor juga ini membawa si Vario jalan-jalan hingga Jawa Timur. Walaupun ya hanya ke Kabupaten Pacitan.
Jalan-jalan jauh seratusan kilometer seperti ini enaknya jelas naik mobil. Tapi, mengingat umur si mobil yang lebih tua dari umur sang istri, ada baiknya tetap bersabar menahan nyeri bokong di jok si Vario daripada ujung-ujungnya menyetor berlembar-lembar uang merah ke bengkel. #hehehe
Harusnya ya menyewa mobil ya? Tapi, kok ya eman-eman duitnya buat ongkos sewa mobil dibandingkan dengan menebus beberapa liter Pertamax. #senyum.lebar #kere
Sebagaimana judul artikel ini, tujuan keluyuran kami adalah ke Pantai Kasap yang terletak di Desa Watukarung, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Kalau menurut Google Maps, jaraknya sekitar 120 km lah dari pusat Kota Jogja. Yah, 11 – 12 dengan jarak ke Tawangmangu. #sudah.pernah.pemanasan
Dengan kecanggihan teknologi Google Maps, nggak ada susah-susahnya memilih rute ke Pantai Kasap. Kalau aku sih patokannya,
- Dari Kota Jogja bablas ikuti terus Jl. Raya Jogja – Wonosari sampai pindah ke Pracimantoro, pindah lagi ke Pacitan.
- Di pertigaan Punung belok kanan (selatan) arah ke Pantai Klayar, lewati parkiran Gua Gong.
- Di perempatan Kantor Desa Kalak ambil arah ke Pantai Klayar.
- Di tengah jalan ambil arah ke Pantai Warungkarung.
- Pantai Kasap dekat dari Pantai Watukarung, di timurnya.
Pemandangan paling the best di sepanjang perjalanan adalah pemandangan lembah Sungai Maron dari ketinggian. Tempat ini terletak di pinggir jalan aspal, dekat tikungan tanjakan/turunan irung petruk antara Dusun Sendang dan Sungai Maron.
Sungguh luar biasa membayangkan bahwa dahulunya lembah-lembah ini adalah sungai besar.
Sekitar pukul 10 siang lewat beberapa belas menit, kami pun tiba dengan selamat di parkiran Pantai Kasap. Di sana ada sejumlah mobil dan motor yang terparkir. Suatu tanda bahwa pantai ini sudah banyak dikenal orang.
Nggak ada tiket masuk Pantai Kasap. Kami hanya ditarik tarif parkir sepeda motor sebesar Rp3.000. Untuk tarif parkir mobil Elf Rp10.000 sementara mobil non-Elf Rp5.000.
Dari parkiran butuh sekitar dua menit jalan kaki untuk tiba di Pantai Kasap #dekat. Terbentanglah pemandangan teluk mungil yang ujung-ujungnya dibatasi bukit kapur. Wujud pantainya mirip dengan pantai di Gunungkidul. Seperti yang terekam pada foto di bawah, hamparan pasirnya putih.
Sebelum ke sini, aku blas sama sekali nggak mencari foto-foto di internet yang mempertontonkan wujud Pantai Kasap. Aku cuma menuruti keinginannya sang istri untuk singgah di sini. Asal keluyuran ke tempat-tempat baru (dan sepi), aku sih sudah happy.
Kata sang istri, Pantai Kasap itu bagus buat foto-foto. Tapi, kalau melihat wujud pantai seperti jepretanku di atas itu, sepertinya Pantai Kasap juga tergolong “B aja”. #hehehe
Respon sang istri agak-agak gimana gitu ketika ditawari berfoto di hamparan pasir itu. Jadi, kami pun duduk di sebuah bangku yang nggak jauh dari hamparan pasir. Sementara sang istri minum, aku memastikan peralatan memotret aman.
Karena merasa pemandangan pantai yang tersaji “agak kurang” menarik, kami pun memutuskan untuk keluyuran menyusuri jalan setapak, mengikuti petunjuk arah di papan kayu di atas. Siapa tahu di sana ada spot foto yang lebih menarik.
Aku sebetulnya lebih senang menjelajah area pantai dibandingkan bermain dengan air laut. Hanya saja, agenda keluyuran ini seakan dipertaruhkan mengingat terik matahari yang mulai menyengat ubun-ubun.
Ah, Alhamdulillah mood sang istri sudah kembali baik seperti biasanya. Jadi, nggak ada masalahlah jikalau dirinya diajak panas-panasan jalan kaki. #hehehe
Jebul ternyata, nggak sia-sia jalan kaki panas-panasan menyusuri jalan setapak. Di sepanjang jalan pemandangannya lebih wow sehingga cocok jadi spot foto. Apalagi ombak sedang dahsyat-dahsyatnya. Tapi, mendapatkan momen ombak besar itu susah pakai banget. #senyum.lebar
Spot foto yang nggak kalah the best berikutnya adalah tanjung karang yang mirip pulau karang raksasa. Weee... jebule tanjung karangnya sedang jadi lokasi pemotretan prewedding personil berseragam. Ya sudah, terpaksa antre deh. #hehehe
Selang beberapa belas menit menunggu sambil memotrat-motret deburan ombak yang beringas nan ganas, akhirnya sesi pemotretan prewedding-nya itu rampung juga. Gantian kami yang kini bebas menjamah tanjung karang.
Di puncak tanjung karang pemandangannya wow tapi nggak pakai banget #eh. Dari sana terlihat berbagai pulau-pulau karang dan juga pantai-pantai. Mbuh bagaimana caranya untuk ke sana itu (terutama pulau karang). Mbuh pula pantai-pantai apa saja itu (lha nggak kelihatan plang namanya #hehehe). Yang jelas, jikalau di-zoom lebih dekat, sebagian besar pantai itu relatif sepi manusia.
Hmmm... kok ya jadi penasaran ke sana?
Rampung menikmati pemandangan dari puncak tanjung karang, kami kembali turun menuju jalan setapak utama yang sedari tadi kami lalui. Karena jalan setapaknya masih belum berujung, jadi ya lanjut disusuri sajalah. Dari puncak tanjung karang tadi sudah dapat sinopsis bahwa jalan setapak ini sebentar lagi bakal end.
Weee... eee... eeeee... di ujung jalan setapak kok malah ada penampakan pantai mungil cantik sepi tak terjamah bagaikan paradise lost seperti di bawah ini? Haduuh... haduuuh... mana hamparan rumputnya luas dan bergoyang-goyang dititup angin pula. The best sekalilah ini jadi spot pemotretan! #senyum.lebar
Jebul pantai mungil ini sudah bukan Pantai Kasap. Nama Pantai Bercak tercantum di papan yang terpaku di pohon yang meranggas.
Dibandingkan Pantai Kasap, aku lebih senang dengan Pantai Bercak. Suasananya lebih sepi. Pemandangannya lebih fotogenik. Plus, walaupun sama-sama berbentuk pantai teluk, tapi ombak di Pantai Bercak lebih tenang nan damai. Anak-anak cocok dibawa ke Pantai Bercak ini.
Minusnya, dasar Pantai Bercak adalah batu-batu karang. Mungkin dasar Pantai Kasap juga sama. Jadinya, untuk lari-lari ke sana ke mari bakal membuat telapak kaki sakit (kalau nyeker #hehehe).
Enaknya itu rebahan di Pantai Bercak sambil tubuh dibelai-belai lembut oleh ombak Samudra Hindia. Tapi, karena nggak mau basah kuyup, jadinya aku cuma jalan-jalan nyeker di Pantai Bercak. Masak jauh-jauh ke pantai sama sekali nggak merasakan nikmatnya air laut? Sang istri diajak malah nggak mau pula. #hehehe
Oh ya, walaupun ombaknya tenang, tetap harus berhati-hati memotret di pantai macam ini. Jangan sampai tragedi di Pantai Buyutan dulu itu terulang lagi. #senyum.lebar
Matahari semakin menyengat karena jam mulai bergeser mendekati pukul 12 siang. Jadilah kami putuskan untuk balik ke parkiran. Apalagi muncul serombongan mas-mas yang juga mengarah ke Pantai Bercak.
Tapi, balik ke parkiran bukan berarti pertanda selesai keluyuran. Sang istri ingin menyusuri sungai naik perahu.
Yaaa, sekali-kali bikin istri senang lah. #senyum.lebar
Adalah namanya Sungai Cokel atau Kali Cokel. Sungai yang bermuara di Pantai Watukarung ini membentang di dekat parkiran. Warga setempat memberdayakan Sungai Cokel sebagai objek wisata naik perahu susur sungai..
Ada dua dermaga objek wisata naik perahu susur Sungai Cokel. Dermaga terdekat dari posisi kami berada di dekat parkiran. Waktu itu kondisinya sepi. Baguslah nggak harus antre. #senyum.lebar
Tarif objek wisata susur Sungai Cokel adalah sebesar Rp20.000 per orang. Satu perahu muat diisi sekitar 8 orang dewasa (termasuk mas-mas pengemudi perahu). Untuk bisa berangkat nggak perlu menunggu perahu terisi penuh penumpang.
Setiap penumpang disediakan jaket pelampung. Tapi ini sepertinya opsional karena kami nggak pakai. #senyum.lebar
Dari dermaga, perahu bergerak ke arah hilir. Mendekati muara sungai dekat Pantai Watukarung, perahu memutar balik lagi ke arah hulu. Kalau bisa bablas sampai laut lepas kayaknya seru juga. Sepertinya menarik keliling pantai naik perahu. #senyum.lebar
Di pinggir-pinggir sungai ke arah hilir ini terdapat banyak tambak udang. Kata mas pengemudi perahu, pemilik tambak-tambak udang itu punya hubungan dengan presiden keenam negara kita yang notabene adalah putra asli Kabupaten Pacitan.
Di pinggir sungai ke arah hilir ini juga berdiri sejumlah rumah kayu. Kata mas pengemudi perahu, rumah-rumah kayu itu digunakan sebagai homestay. Nggak jauh dari bangunan homestay ini ada dermaga perahu susur sungai yang kedua.
Sepertinya asyik juga ya menginap di homestay ini. Pas buka pintu utama langsung melihat hamparan air (sungai). Ya, asal sungainya nggak banjir hebat saja sih. #hehehe
Bergerak ke arah hulu, pemandangannya menjadi sangat alami. Tambak-tambak udang blas lenyap semua. Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi di pinggir-pinggir sungai. Suasananya adem dan damai. Pantas saja ada rombongan pengunjung yang piknik di pinggir sungai. #senyum.lebar
Inginnya sih menyusuri terus bagian Sungai Cokel yang masih alami ini ke arah hulu. Tapi apa daya, di satu titik mas pengemudi memutar perahu lagi buat balik ke arah hilir. Mungkin rute susur sungainya ya hanya segitu.
Tapi, mas pengemudi sempat agak susah memutar balik perahu di area hulu ini. Penyebabnya, dasar sungainya dangkal, jadi baling-baling motornya sempat nggasruk objek tak terlihat di dalam air. Mungkin kalau lanjut ke arah hulu dasar sungainya jadi lebih dangkal.
Rute susur sungainya ya memang hanya bolak-balik hulu-hilir berulang kali. Mungkin ya ada sekitar 2 sampai 3 kali bolak-balik. Jarak satu lintasan perahu dari titik balik hulu ke hilir itu nggak begitu jauh. Mungkin ada sekitar 1,5 km lebih.
Awalnya, mas pengemudi mengemudikan perahunya pelan-pelan sesuai permintaanku. Eh, akhir-akhir malah perahunya dipakai ngebut! Antara seru, tegang, dan cemas sih. Lebih ke cemas seumpama peralatan motret basah atau nyemplung ke sungai karena atraksi perahu ngebut ini. #hehehe
Terakhir, mas pengemudi memarkirkan perahu di dekat spot foto ayunan sungai. Sang istri antusias sekali berfoto di sana. Padahal ya boleh nyebur. Tapi, karena kami nggak mau berbasah-basahan plus nggak pakai jaket pelampung jadi ya hanya foto-foto thok.
Dengan berakhirnya aktivitas naik perahu susur Sungai Cokel, berarti ya acara berwisata di Pantai Kasap dan sekitarnya juga sudah selesai. Sudah nyaris pukul satu siang pula. Kami terpaksa(strike) masih harus menempuh jarak seratusan kilometer untuk kembali ke Kota Jogja.
Coba tadi pagi pas istri nangis memutuskan nggak jadi lanjut ke Pantai Kasap. Mana bakal dapat pengalaman seru seperti sekarang ini? Nggak sia-sia toh tetap nge-gas pol sambil membonceng cewek yang lagi bad mood? #hehehe
Semoga lain kali bisa main ke sini lagi. Pantai Watukarung yang tetanggaan saja belum sempat disambangi karena pas itu jalan masuknya sedang diaspal. #senyum.lebar
blog ini. Ternyata Mas Mawi masih rajin
menghadirkan cerita2 yang dari dulu selalu
seru. 😊
Aku baru kepikiran mau nulis ini eh keduluan. Baiklah.