Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Waduk Sermo, Hargowilis, Kokap, Kulon Progo.
Pada tengah kemarau 2018.
Sepuluh tahun sejak kunjungan terakhir.
Pagi itu, boleh dikata tidak begitu cerah. Langit barat tertutup awan mendung. Padahal hujan lama tak menyapa Jogja.
Untungnya, langit timur memberi sedikit harapan. Semburat lembayung perlahan muncul. Artinya, masih ada peluang menyaksikan pesona matahari terbit.
Pukul enam pagi di salah satu sudut Waduk Sermo. Nama Taman Bambu Air tersemat di gapura yang tertutup. Tak ada penjaga, tapi suasananya ramai. Banyak yang berkemah di sini.
Dengan kamera di genggaman, Mbak Mar, Tirta, dan sang istri terlucyu sigap menanti terbitnya matahari. Sedangkan aku masih duduk malas. Menikmati sejuknya semilir udara pagi di tempat yang berjarak puluhan kilometer dari rumah.
Tidak sia-sia berangkat pagi buta ke sini. Tidak sia-sia pula menyambangi tempat ini kala kemarau. Rerumputan hijau bersanding elok dengan hamparan air waduk. Ideal sekali sebagai tempat melepas penat
Kala sedang duduk-duduk itulah aku tersadar. Batu yang sedari tadi dijamah tangan ternyata berbentuk unik.
Mirip…
Batu nisan!?
Mata lalu menyapu ke berbagai sudut. Mengamati satu demi satu batu yang bersanding akrab dengan rerumputan. Mengamati sisa-sisa pondasi yang awalnya dikira rumah.
Suasana hati yang semula damai berubah menjadi was-was. Tak ada tetes keringat dingin pun bulu kuduk yang merinding. Hanya gelisah yang mbuh harus disingkirkan dengan apa.
Di sekeliling kami, nisan-nisan bergeletakan. Sebuah tanda yang cukup kuat bahwa tempat ini (dahulunya) adalah pemakaman.
Sekarang ini kami memotret di lahan kuburan!?
Adalah cerita lama. Bahwa, banyak dusun yang dibedol akibat pembangunan Waduk Sermo. Aku terlewat memikir. Selain rumah dan ladang, rupanya pemakaman juga ikut terdampak.
Tapi, pembedolan itu terjadi puluhan tahun yang lalu. Nisan-nisan ini bisa jadi hanya sisa. Besar kemungkinan, makam-makam sudah dipindah. Tapi, mungkin pula ada makam yang masih tetap di sini.
Apa pun kemungkinan itu, selayaknya tempat ini tergolong sakral. Tempat di mana perilaku dan tutur kata dijaga baik-baik.
Tapi, mbuh kenapa, tiga wanita itu tidak begitu terkejut. Mungkin mereka sudah tahu. Mungkin pula karena pagi sehingga tidak terkesan angker. Jika disuruh ke tempat ini malam hari, boleh jadi nyali mereka bakal ciut. #hehehe
Agak mikir, bagaimana dengan pengunjung yang berkemah di sini? Apakah mereka tidak takut bermalam di tempat (bekas) pemakaman?
Aku duduk lagi di rerumputan. Bersebelahan dengan nisan yang terguling. Menyaksikan pemandangan hamparan air Waduk Sermo yang kian indah berlatar langit biru.
Rasa-rasanya, beliau, yang dulu terbaring di sini ikut hadir. Tidak dalam wujud nyata. Hanya bertamu dalam batin.
“Tempat istirahat Anda digusur,” kataku.
“Orang hidup banyak perlunya,” jawabnya.
“Anda tidak marah?” tanyaku.
“Buat apa?” jawabnya, “Semua orang pasti mati, dilupakan, tapi banyak yang tidak memikirkan.”
Obrolan tentang kematian ini membuatku termenung agak lama. Pandanganku tertuju kepada sepasang burung yang terbang mesra di atas hamparan air yang tenang.
“Apa burung-burung itu juga memikirkan kematian?” batinku.
Pertanyaan itu belum terjawab, namun tamu batin itu berujar singkat.
“Setidaknya, pemandangannya indah.”
Semoga kalian yang terbaring di Waduk Sermo beristirahat dalam damai. Aamiin.
-traveler paruh waktu