Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Major Tom pernah bilang bahwa di Jogja waktu berjalan lambat. Sehingga, pada hari kerja pun masih tersedia waktu untuk menikmati pagi di air terjun. #senyum.lebar
Maka dari itu, kenapa nggak mencoba sarapan di hadapan Curug Ci Biru pas hari kerja?
Sarapannya pun sederhana. Hanya nasi bungkus mungil seharga Rp2.000 yang dibeli di lapak jajanan di selatan Kantor Kecamatan Minggir.
Untuk minumnya bisa meneguk air yang mengalir dari air terjun. Tapi, amannya minum air rebusan yang dibawa dari rumah saja deh. #hehehe
Coba, nikmat mana yang bakal didustakan ketika punya kesempatan untuk sarapan di dekat karya-Nya yang sungguh sangat menggetarkan jiwa ini?
Rasa-rasanya, suasana seperti ini tidak bisa dibeli dengan uang.
Sarapan yang sederhana pun menjadi terasa nikmat. #mungkin.karena.lapar #hehehe
Betul toh? #senyum.lebar
Sarapan di hadapan Curug Ci Biru sebetulnya bukan agenda yang jauh-jauh hari direncanakan. Awalnya, pada Selasa pagi itu (15/1/2019) sang istri terlucyu berencana mengajak Mbak Mar untuk hunting curug di Kabupaten Kulon Progo.
Eeeh, tapi ternyata sehari sebelumnya Mbak Mar sudah hunting curug. Jadi, ya nggak jadi hunting bareng deh.
Oleh karena sudah diniatkan menyambangi curug, alhasil pada Selasa pagi itu sang istri tetap berangkat. Tentu, dengan ditemani si suami yang hobinya bikin jengkel. #hehehe
Buatku, eksistensi Curug Ci Biru sudah “terendus” sejak tahun 2016 silam. Persisnya, ketika iseng-iseng blogwalking ke blog-nya saudara Ghozaliq.
Seperti biasa, foto-foto Curug Ci Biru aku pamerkan ke sang istri. Eh, yang ada malah sang istri jadi nggak tertarik buat pergi ke sana. #duh
Sang istri beralasan, Curug Ci Biru ramai sama “hiasan-hiasan” buatan manusia. Penampakan curugnya juga biasa-biasa saja. #duuuh #hehehe
Akan tetapi, berkat bujuk rayu dari sang suami yang menyebalkan itu #hehehe, sang istri akhirnya luluh. Siapa tahu, Curug Ci Biru yang di foto terkesan biasa-biasa saja menjadi luar bi(n)asa setelah dipotret slow speed oleh sang suami. #sombong #senyum.lebar
Sesuai informasi di blog-nya saudara Ghozaliq, Curug Ci Biru berada di Dusun Ngentak, Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Google Maps pun diberdayakan untuk mencari lokasi persisnya.
Oooh, jebul ternyata Curug Ci Biru berlokasi nggak jauh dari Puskesmas Samigaluh 2! Sebagai orang yang sudah berkali-kali keluyuran ke curug-curug di Purworejo dengan melewati Jl. Samigaluh – Loano, tentu Puskesmas Samigaluh 2 adalah tempat yang akrab. #senyum
Karena patokannya adalah Puskesmas Samigaluh 2, maka Jl. Godean – Jl. Kebonagung – Jl. Kalibawang – Samigaluh disusuri hingga tiba di Pasar Plono. Jangan lupa, tanjakan jahanam sepanjang belasan kilometer masih membuat mesin sepeda motor kepayahan menuju Pasar Plono. #hehehe
Dari Pasar Plono perjalanan dilanjut menyusuri jalan raya aspal yang mengarah ke Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Lebih tepatnya, ke Kecamatan Loano yang mana menyebabkan munculnya nama Jl. Samigaluh – Loano. #hehehe
Singkat perjalanan dan tanjakan #hehehe, tibalah kami di muka Puskesmas Samigaluh 2 yang sekarang sudah menempati bangunan baru nan megah. Di sini kebingungan melanda karena muncul adegan nyasar! Apalagi kalau bukan salah memilih cabang jalan perkampungan. #senyum.lebar
Alhamdulillah, berkat petunjuk dari seorang ibu warga yang baik hati, berjumpalah kami dengan cabang jalan perkampungan yang benar. Di muka cabang jalan berdiri papan biru bertuliskan “CIBIRU”.
Eh, tapi kok papan petunjuk arahnya tertutupi rerumputan liar?
Tanpa berlama-lama menaruh curiga, cabang jalan yang berada tepat di seberang kios pengepul kelapa tua dan penggilingan beras itu disusuri. Suasana sepi nan syahdu khas pedesaan di pelosok Yogyakarta menemani perjalanan.
Pelan-pelan muncul kekhawatiran. Di sepanjang jalan nggak terlihat ada petunjuk arah ke Curug Ci Biru. Pun, nggak ada warga yang berkegiatan di luar rumah.
Eh, di luar rumah ada satu warga sih. Simbah-simbah putri yang sedang menyapu jalan. #hehehe
Untuk menghindari adegan nyasar yang berpotensi berkelanjutan, pada akhirnya mampirlah kami ke rumah bapak ketua RT #seperti.kkn #hehehe. Dari beliau, kami memperoleh kabar yang sangat mengejutkan,
“Curugnya sudah rusak Mas!”
Weladalaaa Pak… sejak kapan curug bisa rusak?
Setahuku, curug hanya bisa “mampet” saat kemarau. Masak ya ada curug yang “mampet” pada Januari yang notabene masih musim hujan di Yogyakarta? #hehehe
“Dulu dikelola, tapi sekarang sejak kemarau sudah nggak dikelola lagi.”
Holadalaaa… mendulang pendapatan dari curug memang butuh kesabaran Pak RT. Apalagi jika curugnya hanya mengucurkan air saat musim penghujan thok. #hehehe
Walau demikian, Pak RT tetap memberi arahan menuju Curug Ci Biru. Beliau menginstruksikan kami untuk mengikuti jalan kampung yang lebar, mulus, licin, dan menurun terjal #duh hingga berjumpa dengan tempat parkir kendaraan pengunjung di sisi kanan jalan.
Betul kata Pak RT. Kurang dari lima menit kami sudah tiba di tempat parkir kendaraan pengunjung. Sesuai dugaan, tidak ada yang menjaga. Kan kata Pak RT tadi Curug Ci Biru sudah lama tidak dikelola.
Perjalanan berlanjut dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak membelah hutan. Mungkin karena sudah lama nggak dibersihkan, jadi jalan setapaknya mulai tersamar rumput liar.
Di beberapa tempat, terlihat sejumlah benda yang menandakan objek wisata Curug Ci Biru dulu pernah dikelola. Agak sedih melihatnya. Dulu sudah susah payah dibuat, eh sekarang malah terbengkalai.
Tapi, ya benda-benda "peninggalan" itulah yang mengantarkan kami dengan selamat ke Curug Ci Biru tanpa adegan nyasar di dalam hutan #hehehe. Dengan berjalan santai, Curug Ci Biru dapat dijangkau sekitar 10 menit dari tempat parkir.
Ada untungnya sih perihal Curug Ci Biru yang sekarang nggak dikelola. Curug ini kembali alami. Hiasan-hiasan buatan manusia lenyap tak bersisa.
Rasa-rasanya, Curug Ci Biru seperti curug yang tersembunyi dari pelancong kekinian. Inilah jenis curug yang disenangi sang istri. #senyum
Dari sisi fotografi, Curug Ci Biru pun fotogenik. Curugnya tidak terlalu tinggi sehingga pas dipotret dengan format landscape. Kolam di dasar curug dan tebing di sekelilingnya juga bersih dari sampah-sampah plastik dan batang-batang pohon.
Satu yang disayangkan adalah langit pada waktu itu mendung. Juga, hembusan air dari curug membuat kamera basah kuyup #duh. Jadi, amannya memotret dari jarak yang lumayan jauh. Untung area pemotretannya cukup luas.
Setelah nasi bungkus mungil habis dan keindahan Curug Ci Biru terabadikan dalam berkas .NEF, baliklah kami menyusuri jalan setapak ke tempat parkir. Sekembalinya di sana, tetap saja nggak ada orang yang berjaga. Alhamdulillah sih sepeda motor aman.
Sebelum mesin sepeda motor meraung lagi, sepertinya musala setengah jadi yang berada di dekat sana menarik untuk diselidiki. Bisa jadi musala ini diperuntukkan bagi pengunjung Curug Ci Biru karena tempat ini agak jauh dari rumah-rumah warga.
Mbuh ya apakah musala ini tetap lanjut pembangunannya walaupun Curug Ci Biru nggak lagi dikelola.
Aksi menghampiri musala setengah jadi sepertinya membawa berkah. Di sana terdengar gemuruh air yang mirip suara air terjun.
Oooh, rupanya di dasar lembah ada aliran sungai. Bisa jadi sungai ini adalah kelanjutan dari aliran air Curug Ci Biru. Tapi, kok di sungai ada suara gemuruhnya?
Didorong rasa penasaran, kami pun blusukan menuju sungai di dasar lembah itu. Jalan menuju ke sana lumayan “menantang” karena harus melewati ladang-ladang palawija. Bingung menentukan mana wilayah yang boleh dipijak dan mana yang tidak. Bingung pula mana tanah yang tidak mendelep ketika dipijak. #hehehe
Blusukan singkat yang ora kalap ini #hehehe jebul membuahkan hasil yang spektakuler. Ada curug kembar di aliran sungai! #wow “Surga” yang tersembunyi kah ini? #senyum.lebar
Berbeda dengan di Curug Ci Biru tadi, sekarang pemotretan di sini lebih menantang. Selain sulit mendapatkan sudut pemotretan tanpa menjadikan celana dalam basah #eh, pencahayaan pun semakin terik karena hari semakin siang.
Tapi, matahari yang sudah meninggi ini pun membawa keuntungan. Matahari yang pancaran sinarnya merayap dari rimbunnya dedaunan memungkinkan untuk diabadikan sebagai bintang. #senyum.lebar
Memang hanya Mbak Mar yang bisa teknik pemotretan seperti ini? #hehehe #sombong
Apakah perjalanan kami ini berakhir seusai mengabadikan “bonus” curug kembar?
Oh, ya tidak dong!
Dikarenakan sang istri naksir dengan keladi yang tumbuh di pekarangan salah satu rumah warga, ia pun melampiaskan hasratnya membawa pulang tanaman itu. Tentu dengan seizin ibu penghuni rumah yang terheran-heran dengan tanaman favoritnya sang istri. #hehehe
Sepertinya, modal tenaga untuk petualangan pagi ini tidak cukup hanya dengan sarapan nasi bungkus mungil di hadapan Curug Ci Biru. #hehehe