HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Sesore Sunyi Curug Kedung Bendo

Kamis, 8 Agustus 2019, 04:59 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Azan Zuhur bakal berkumandang beberapa belas menit lagi. Sementara itu, aku dan sang istri terlucyu masih ngglundang-nggelundung di atas kasur. Memilah-milah curug mana yang bakal menjadi sasaran pada Minggu (9/12/2018) silam itu.

 

“Curug di Kulon Progo aja Mas,” saran Dwi, “yang deket, udah siang ini.”

 

Saran sang istri masuk akal juga. Agak beresiko berangkat menyambangi curug di Purworejo zuhur-zuhur begini. Bisa-bisa tiba di sana sore dan berakhir pulang gelap-gelapan menembus hutan. #hehehe #duh

 

 

“Ke (Curug) Kedung Gandu aja Mas,” kata Dwi.

 

“Yang pernah ada korban itu,” tambahnya.

 

Weh! Kok ya “agak-agak” ini request-nya sang istri? #hehehe

 

,

 

Google pun diberdayakan guna mencari posisi Curug Kedung Gandu. Singkat penelusuran, didapat informasi bahwa curug yang dimaksud berada di aliran sungai yang sama dengan Curug Glimpang

 

Eh, Curug Glimpang?

 

Itu kan curug yang aku sambangi pas ber-PEKOK ria ke Girimulyo awal tahun 2017!?

 

 

 

Alhasil, setelah menunaikan salat Zuhur, sepeda motor pun digas menuju ke TKP. Nyaris dua tahun berlalu, patokan arah ke sana masih sangat segar di ingatan:

 

  1. Dari Tugu Pal Putih di Kota Jogja, susuri Jl. Godean sampai pindah provinsi ke Kulon Progo (Kecamatan Nanggulan).
  2. Di perempatan lampu lalu lintas Kenteng, tetap ambil cabang jalan lurus yang ke barat, arah ke Gua Kiskendo.
  3. Lewati Pasar Jonggrangan. Di pertigaan jalan lebar ke Gua Kiskendo, ambil cabang jalan ke arah SDN Jonggrangan.
  4. Nanti bakal ketemu pertigaan yang di tengahnya ada tamannya. Di sini ambil cabang jalan yang lurus ke arah Desa Purwosari.
  5. Di pertigaan jalan SDN Tegalsari ambil cabang jalan ke kanan, ke arah Gua Maria Lawaningsih. (Sebetulnya, dari perempatan Kenteng ikuti saja petunjuk arah ke Gua Maria Lawaningsih #hehehe).
  6. Di pertigaan gapura RT 07 Dusun Tegalsari ambil cabang jalan ke kiri. Sekadar info, kalau mau ke Gua Maria Lawaningsih silakan ambil cabang jalan yang lurus.
  7. Ikuti jalan desa ini dan masuk gapura Dusun Prangkokan. Nanti bakal ada pos tiket di kiri jalan. 
  8. Dari pos tiket menuju gerbang masuk curug jalannya turunan curam. Kendaraan roda empat bisa diparkir di halaman rumah dekat pos tiket. Sementara kendaraan roda dua bisa dibawa turun dan diparkir di halaman PAUD Melati.

 

Sekitar pukul 3 sore lebih seperempat kami tiba di PAUD Melati. Di sana sudah terparkir manis sejumlah sepeda motor. 

 

Hooo... rupanya sepeda motor-sepeda motor itu tunggangannya para mas-mas pemain voli. Lapangan rumput di muka PAUD Melati sekarang sudah dirombak menjadi lapangan voli. Jadi, sekarang harus melewati lapangan voli dulu untuk menuju gapura kawasan curug.

 

 

Kondisi gapura masuk masih sama seperti kunjungan tahun 2017 silam. Masih sepi tanpa penjaga. Kondisi sepi yang sama dialami pula oleh pos tiket masuk sebelum turunan ke halaman PAUD tadi.

 

Aneh. Kok sepertinya objek wisata curug di Dusun Prangkokan ini sudah nggak dikelola ya?  Berbeda sekali dengan Taman Sungai Mudal atau Kedung Pedut yang hingga sekarang masih tenar.

 

 

Tapi, sebelum menyambangi curug, aku mesti menuntaskan “misi” yang nggak bisa dieksekusi di PAUD Melati. Aku ingat kalau ada toilet di dekat pos gapura masuk. #senyum.lebar

 

Alhamdulillah, pintu toiletnya nggak dikunci. Ada kloset berlubang pula untuk “sasaran tembak” #hehehe

 

 

Tapinya lagi, kondisi toiletnya sangat-sangat-sangat mengerikan untuk diceritakan #hehehe. Bayangkan saja wujud toilet yang lama nggak dirawat. Untung nggak ada dhemit yang lagi nongkrong di dalam. #hehehe

 

Tapi, berhubung sudah kebelet banget, jadi ya sebodo amat lah dengan kondisi toiletnya! Tembaaak! #cuuur #hehehe

 

Untung sang istri membawa air minum di botol yang bisa dipakai untuk bersuci. Untung pula di dalam toilet tersedia gayung untuk mengguyur cairan berbau pesing #hehehe. Air untuk mengguyur didapat dari sungai imut yang mengalir di dekat gapura.

 

Memang repot ya kalau di curug mendadak muncul “panggilan alam”? #hehehe

 

 

Selesai menjawab "panggilan alam", perjalanan pun berlanjut. Jalan setapak kami susuri menuju ke sungai besar. Di beberapa sudut, gubuk-gubuk tempat beristirahat masih berdiri kokoh.

 

Hanya sekitar 100 meter dari toilet kami tiba di Curug Glimpang. Nggak ada perubahan signifikan dari curug yang tetap sulit dipotret ini. 

 

Seperti biasa, sang istri pun kegirangan dan meminta untuk difoto di sana. Berani pula dia naik ke bebatuan curug. #hehehe

 

 

Walaupun wujud Curug Glimpang tetap sama, akan tetapi kondisi di sekitar curug sudah berubah banyak. Sekarang ada bendungan kecil yang membendung aliran sungai. Di atas sungai pun berdiri jembatan bambu ciamik.

 

Sedihnya, keberadaan bendungan ini menghalangi akses jalan yang dulu aku gunakan untuk mencapai titik pemotretan curug di seberang sungai (foto di awal artikel ini). Semakin sulit sajalah Curug Glimpang ini untuk dipotret dari muka.

 

 

Puas bercengkerama singkat dengan Curug Glimpang, kami pun melanjutkan perjalanan. Aku perhatikan di sekitar Curug Glimpang nggak ada spanduk petunjuk arah ke curug-curug lain. Padahal, spanduk itu masih ada pada kunjungan awal tahun 2017 silam.

 

Sempat terpikir, apakah mungkin eksistensi curug-curug yang lain ini “disembunyikan” setelah ada insiden yang memakan korban itu ya?

 

 

Karena sebelumnya sudah pernah ke sini, jadi aku tahu jalan setapak mana yang harus dilewati untuk menuju ke curug-curug lain itu. Jalan setapak yang sekarang kami lalui terasa jarang dijamah manusia.

 

Kami pun semakin dalam memasuki hutan. Suara sungai sayup-sayup menghilang. Demikian pula dengan ocehan serangga hutan. Suasana tiba-tiba menjadi agak mencekam. Apalagi jika mengingat bahwa (sepertinya) hanya kamilah manusia di dalam hutan itu.

 

 

Alhamdulillah kecemasan itu nggak singgah lama. Papan-papan yang menunjukkan arah ke Curug Bendo dan Curug Gandu terlihat di sana-sini. Angka 100 meter yang tertera pada papan menambah kelegaan hati bahwasanya curug sasaran kedua sudah dekat.

 

Selaras dengan peringatan “Hati-Hati Jalan Licin” yang tercetak di kertas berlaminating, cabang jalan setapak menuju ke Curug Bendo licinnya bukan main! Tumpukan guguran daun lumayan tebal. Ditambah basah karena diguyur hujan kemarin malam.

 

 

Dalam perjalanan menuruni jalan setapak yang licin ini kami sempat melewati bangunan toilet lagi. Sepertinya, toilet ini lebih “angker” dari toilet di dekat gapura itu. #hehehe

 

Selain toilet, kami juga melewati gubuk tempat menyimpan ban-ban pelampung. Kalau memperhatikan ban-ban pelampung yang agak penuh terisi angin, sepertinya curug ini masih disambangi pengunjung.

 

 

Singkat cerita, inilah Curug Bendo yang menjadi curug kedua di kawasan ini. Sebagaimana dengan Curug Glimpang, hanya kami berdualah manusia yang menjamah tempat indah ini.

 

Curug Bendo sedalam 2 hingga 3 meter ini cocok sebagai tempat berenang dan bermain air. Tetap waspada karena lokasi curug ini sangat jauh dari hiruk-pikuk warga desa.

 

 

Di Curug Bendo inilah perjalanan kami berakhir. Nggak disangka, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Jika tetap melanjutkan perjalanan ke Curug Gandu, bisa-bisa nanti harus gelap-gelapan di dalam hutan.

 

Sesore sunyi di Curug Bendo adalah cerita tentang curug yang terkenal namun kini seakan terlupakan. 

 

Tapi, mungkin ia tidak terlupakan, melainkan hanya perlahan menyatu kembali dengan keheningan alam dan membuat takjub para pengembara yang singgah.

 

 

Sungguh suatu sore nan sunyi yang berkesan di Kulon Progo, DI Yogyakarta.

NIMBRUNG DI SINI