Ada jalan menurun.
Ada jalan menurun yang melintasi jembatan untuk kemudian kembali menanjak.
Wew....
Sebetulnya, aku sudah “terbiasa” dengan wujud jalan yang seperti itu.
Bahwa jalan turunan adalah suatu nikmat yang melenakan. #senyum.lebar
Bahwa jembatan di penghujung jalan turunan adalah awal tanjakan penguji kesabaran. #hehehe
Pun hanya butuh sekian detik untuk melintasi jembatan.
Jembatan yang membentang di atas jurang.
Jurang yang menjadi sungai pada musim penghujan.
Hujan yang tak pernah lagi menyapa pada awal Agustus 2017 ini.
Di ujung jembatan, di awal tanjakan penguji kesabaran, lahan yang lumayan lapang terhampar di dekat sana.
Sebuah bangunan dari semen berdiri di lahan itu, memancing rasa penasaran.
Oleh sebab itu, sepeda pun dibelokkan menuju ke sana, seraya berteriak ke Mbah Gundul,
“Mbah, ada sendang!”
Sumur Kulon adalah nama yang tertera di dinding bangunan tersebut.
Sumur identik dengan bangunan melingkar, tapi Sumur Kulon ini tak ada bundarnya sama sekali.
Suatu lubang besar menganga dikelilingi pagar semen, dirindangi tanaman liar nan hijau.
Genangan air tampak menggenangi dasar sumur.
Dalamnya sumur kira-kira setinggi dua laki-laki dewasa.
Sayang, nggak ada ember atau tali untuk mengambil airnya.
Padahal, kepiting-kepiting mungil berlarian di dalam air.
Apakah sumur ini peninggalan zaman purbakala?
Entah.
Susunan batu dinding sumur tak bercerita banyak.
Hanya ada satu batu berceruk yang sepertinya dipakai untuk mewadahi sesuatu.
Adapun susunan batang besi yang membatasi bibir sumur terasa janggal.
Perasaanku mirip besi rel kereta api?
Tapi ya masak ada jalur kereta api yang melewati perbatasan Desa Jemowo dan Desa Sumur di Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah?
Mungkin ya memang hanya perasaanku saja. #hehehe
Setelah beristirahat sejenak di dekat sumur tanpa merasakan kesegaran airnya, perjalanan pun berlanjut.
Jajanan yang dibeli di Pasar Kembang, Kemalang hanya tersisa separuh.
Padahal Pasar Cepogo masih jauh.
Apalagi Kota Jogja tercinta. #hehehe
kita,sumur city. 081311360876