“Mas! Aku punya ide buat Sabtu pagi!” kata Dwi pada suatu malam Ramadan 1439 H.
“Apaan? Janjian sama temenmu motret sesek (jembatan bambu) kan?” tebak aku.
“Iiih, kok kamu tahu Mas? Hehehe.”
Karena ya begitulah. Kalau istri terlucyu meminta keluyuran pagi-pagi, pasti topiknya nggak jauh-jauh dari acara motret-motret alias hunting foto alias berburu foto. #hehehe
“Mas, jangan lupa baterai kameranya di-charge!” sahutnya begitu melihatku mau keluar kamar.
“Jangan lupa juga memory card-nya dipasang!” tambahnya.
Weh!
SILAKAN DIBACA
Dengan demikian, demi memenuhi keinginan sang istri, pada Sabtu subuh (2/6/2018) berangkatlah kami dari rumah Pundong dengan tujuan menyambangi jembatan bambu di Dusun Mangir di Kecamatan Pajangan, Bantul.
“Mas, kamu siap kan blusukan lewat jalan-jalan kampung?” tanya Dwi pada malam sebelumnya.
“Siap nanya-nanya orang kan?” tanyanya lagi.
Waduh!?
Mungkin ini akibat dari pernyataan “Jalannya aku manut kamu lho Wi!” yang terlontar pada malam sebelum berangkat. #hehehe
Berbekal pengalaman berkali-kali ke sana, Dwi mengaku tahu rute tercepat dari Pundong ke Mangir. Aku sendiri baru sekali ke Dusun Mangir dengan rute ke sana lewat Jl. Palbapang – Srandakan.
Jadilah dengan begitu aku manut terhadap instruksi arah sang istri yang duduk di jok belakang sepeda motor. Kami pun melaju, menyeruak gelapnya pagi, melintasi jalan-jalan dusun yang dikepung sawah.
Siksaan pada pagi itu adalah hawa yang DINGIN BUANGET! Belum lagi terpaan angin sepeda motor yang melaju kencang. Alhasil, badan menggigil + ingus meler adalah kombinasi yang tak terelakkan. #hehehe
Kalau bukan demi memenuhi keinginannya sang istri, mending pagi ini tidur saja deh! #hehehe
Mana ini kan bulan Ramadan. Sehabis sahur dan salat Subuh enaknya ya tidur lagi dong! #eh
Ngantuk je! #hehehe
Setelah melintasi sekian kilometer jalan beraspal, tahu-tahu njedul-lah kami di pertigaan Jl. Palbapang – Srandakan. Weh, perasaan tadi baru melewati Gereja Ganjuran deh?
Aku yang masih kebingungan arah hanya bisa manut terhadap titah istri yang menyuruh berbelok ke kiri. Itu tandanya, kami mengarah ke barat. Posisi Kali Progo kan di baratnya Bantul.
Eh, jebul ternyata, Dwi ya lupa cabang jalan yang tembus ke Dusun Mangir! #doh
Aku sendiri juga lupa-lupa ingat. Pertama dan terakhir kalinya ke Dusun Mangir itu kan 4 tahun silam. Seingatku, cabang jalannya itu terletak di sisi utara jalan setelah melewati RS UII.
Ah, daripada bingung mending nge-jog bensin di SPBU Pandak dulu lah. #hehehe
Setelah menuntaskan urusan di SPBU dan melaju sekian detik, akhirnya Dwi menanyai seorang bapak warga di pinggir jalan. Jebul ternyata, cabang jalan ke Dusun Mangir itu berada persis di seberang kami.
Holadala! #senyum.lebar
Dari sini ya rutenya tinggal mengikuti jejak-jejak kenangan bersepeda 4 tahun silam. Melewati pinggir selokan, melewati jalan dekat tambang pasir yang masih rusak #hehehe, menyeberangi Dam Ngancar, lalu tiba deh di Dusun Mangir Kidul. #senyum.lebar
Eeeeh, Dwi malah lupa cabang jalan dusun yang mana yang mengarah ke lokasi jembatan bambu.
Wedalah....
Seorang ibu warga yang sedang menyapu halaman rumah pun ditanyai. Beliau bilang kalau mau ke jembatan bambu nanti di perempatan dekat pos ronda ambil cabang jalan ke kanan. Lebih persisnya, di papan arah hijau ini yang ke arah Kulon Progo. #senyum.lebar
Selang beberapa detik berkendara dari papan hijau, dari kejauhan terlihat hamparan Kali Progo. Selain itu, terlihat pula deretan sepeda motor yang terparkir di halaman rumah warga.
“Itu motornya Tirta,” kata Dwi menunjuk salah satu sepeda motor yang terparkir.
“Lha, njuk yang lain motornya siapa?” tanyaku.
“Motornya teman-temannya kali. Kan, pagi ini dia janjian motret sama temen-temennya juga.”
Weh! Jadi, ceritanya perburuan foto pada pagi ini sama banyak orang nih?
Bakal sepadat apa itu nanti jembatan bambunya sama orang-orang berkamera?
Kok mereka ya pada nggak malas motret sih?
Kan pagi pada bulan buasa yang hawanya adem begini lebih enak buat tidur? #hehehe #eh
Setelah sepeda motor terparkir di halaman rumah warga (yang nggak ada orang yang menjaga akan tetapi bertarif parkir #hehehe), perjalanan dilanjut dengan berjalan kaki menuruni jalan ke tepi Kali Progo. Jaraknya hanya beberapa puluh langkah dari tempat parkir.
Di sana terbentanglah jembatan bambu yang sungguh amat mencolok mata itu. Lebarnya kira-kira 1,5 meter. Panjangnya sekitar 50 meter lebih. Benar-benar jembatan bambu yang cukup panjang dengan sensasi berbunyi dan bergetar ketika dilewati. #hehehe
Di sisi seberang jembatan bambu berkumpul banyak manusia berkamera. Tirta salah satunya. Bersalamanlah aku dan Dwi dengan mereka semua.
Kata Dwi, para pemotret teman-temannya Tirta itu adalah anggota komunitas Instagram Lensa Bantul. Beberapa katanya jawara foto. Weh!
Aku pun segera mengobservasi sudut pemotretan mana yang menarik. Masak sudut pemotretannya mau samaan dengan para pefoto kawakan itu? #hehehe
Jika memotret dengan latar pemandangan sisi Kulon Progo, maka yang didapat adalah hamparan tanah tandus. Mana “bocor” penampakan para manusia berkamera pula. #hehehe
Jika tetap bersikeras memotret dari atas jembatan bambu, maka latar pemandangan yang sekiranya indah dilihat mata adalah sisi Bantul. Rimbunnya pohon-pohon bambu seakan memberikan kesan asri.
Tapi ya nggak bisa berlama-lama memotret di tengah jembatan karena kan dipakai untuk melintas orang-orang toh? #hehehe
Sempat juga keluyuran di sepanjang tepi Kali Progo. Tapi, selang beberapa langkah, sepertinya di sini bukan tempat yang sip untuk memotret. Tanahnya berlumpur!
Seandainya di lokasi ada semacam perahu, mungkin bakal lebih enak untuk memotret dari atas Kali Progo.
Eh, menyinggung tentang perahu, seandainya ada perahu nelayan yang sedang berlayar di tengah Kali Progo, sepertinya bakal bagus juga untuk menjadi objek foto bernuansa syahdu.
Tapi, memang bakal ada perahu nelayan yang berlayar di Kali Progo bagian sini? Paling ya perahu penambang pasir atau gethek. #hehehe
Setelah keluyuran ke sana-sini akhirnya diperolehlah kesimpulan bahwa tempat memotret yang paling sip itu berada di tepi sungai yang masuk wilayah Kulon Progo. Di dekat bibir jembatan bambu ada gundukan tanah yang posisinya agak tinggi.
Karena tempat memotretnya lumayan luas, jadi setiap manusia berkamera nggak perlu berdesak-desakan. Aku menyasar tempat memotret beralaskan rumput yang memungkinkan untuk duduk tanpa terkotori tanah.
Lha, kalau berdiri terus ngantuk je. #hehehe
Karena kondisi langit cerah, jadi aku asumsikan kondisi pencahayaan juga nggak berubah-ubah. Oleh sebab itu, memakai mode manual sebetulnya nggak masalah. Tapi, untuk amannya aku pakai mode aperture priority.
Karena memakai panjang fokal lensa > 50 mm (APS-C) dengan bukaan diafragma f/8, maka nilai ISO di-set ke 400 supaya kecepatan rananya bisa lebih cepat dari 1/100 detik. Motor autofokus di lensa dan di kamera juga dimatikan dengan sebelumnya sudah mengunci titik fokus.
Selanjutnya ya tinggal bersabar menunggu datangnya momen. Ketika ada yang melintasi jembatan bambu, tombol rana segera dipijit. Gampang toh? #senyum.lebar
Teknik memotret yang seperti ini ibarat menanti buruan masuk ke perangkap. Tapi, penantiannya penuh perjuangan karena kedua mata sudah semakin nggak kuat melek. #hehehe
Coba ada kasur atau nggak tikar, jadinya kan bisa memotret sambil tiduran. #hehehe #eh
Eh, awalnya foto jepretanku terkesan gelap. Biasalah, supaya menghindari over exposure, aku selalu mengatur nilai kompensasi eksposur ke –0,7 atau –1,0.
Pikirku, toh nanti terangnya foto bisa didongkrak lewat bantuan software. Kan dipotretnya dengan format RAW. #senyum.lebar
Tapi, saat melihat hasil fotonya Tirta yang sengaja dipotret secara over exposure, kok hasilnya malah jadi lebih menarik ya?
Jadilah dengan demikian, nilai kompensasi eksposur aku atur ke +1,0. #senyum.lebar
Setelah sekian kali menjeprat-jepret, kok nggak ada pelintas yang fotogenik ya? Misalnya, simbah-simbah yang memakai jarit atau siapa sajalah yang berbusana tradisional sambil membawa benda antik. #hehehe
Boleh dikata pula, jembatan bambunya lumayan sepi pelintas. Mungkin karena Sabtu tergolong hari libur dan bertepatan dengan Ramadan. Alhasil, pagi ini sebagian besar orang lebih memilih melanjutkan mimpi daripada menyebrangi jembatan. #hehehe
Akhirnya, setelah menunggu agak lama, muncullah suatu momen yang lumayan menarik. Ada sekumpulan anak-anak yang mendatangi jembatan dengan ditemani pemuda-pemudi. Sepertinya mereka rombongan TPA.
Begitu mereka menyeberangi jembatan, didapatlah hasil foto seperti di bawah ini.
“Nggak nunggu sampai jam 9 Mbak? Nanti dari sisi timur banyak orang bersepeda lewat bawa damen,” tawar Tirta kepada Dwi.
Damen yang dimaksud Tirta itu adalah jerami. Beberapa kali memang ada pelintas jembatan yang membawa damen, tapi semuanya naik sepeda motor.
Tapi, sepertinya hari ini bakal langka deh kalau menunggu hadirnya orang yang membawa damen dengan naik sepeda. Jadi, Dwi tetap aku bujuk supaya mau pulang. #hehehe
Jikalau ingin menyaksikan geliat pelintas jembatan bambu yang lebih semarak mungkin bisa pada pagi hari kerja. Katanya, banyak anak yang melintas ketika berangkat sekolah. Tapi, karena minggu depan sudah libur sekolah, jadi mungkin harus menunggu bulan depan. #hehehe
Jadi, sebaiknya pagi ini perburuan foto di jembatan bambu (sesek) yang menghubungkan Kabupaten Bantul dan Kulon Progo disudahi dulu. Saatnya pulang ke rumah Pundong untuk melanjutkan tidur selepas subuh yang tertunda. #hehehe
Untung masih sanggup mengemudikan sepeda motor dengan selamat walaupun ngantuk. #hehehe
kesana itu dapetnya gethek karena musim hujan.. belum sempet kesana lagi sih, pas pulkam
sebentar sudah penuh aja agendanya wkwkwk..