Hiyaaa! Judulnya mellow!
Padahal isi tulisannya biasa saja, wakakakak. #senyum.lebar
Jadi, selain serpihan kenangan #hoeks, buat umumnya orang, Jogja adalah gudeg, bakpia, bakmi godhog, ronde, dan angkringan.
Tapi, buat seorang Wijna, Jogja juga adalah steak.
Eh, steak?
Ya, steak yang makanan daging yang dipanggang itu: rare, medium, atau well done.
Eh, steak yang daging sapi lho!
Dari awal kenal steak, aku tahunya daging steak itu ya daging sapi: sirloin (has luar) atau tenderloin (has dalam). Kalau sekarang, daging steak macam-macam.
Steak dan Bapak
Kemudian, terlahir pada tahun 1986 dan menghabiskan masa muda #sekarang.sudah.tua di Jakarta hingga tahun 2004, bagi seorang Wijna steak adalah makanan yang muncul pada momen-momen tertentu. Misal, pas sehabis sakit. #senyum.lebar
Eh, aku nggak bisa bilang apakah dulu steak itu tergolong makanan mahal atau murah karena yang mengeluarkan uang buat membelinya kan Bapak. #senyum.lebar
Omong-omong, terima kasih ya Pak sudah berkenan membelikan steak buat aku dan Tiwul pas kami masih kecil. #i.know.they.read.my.blog #senyum.lebar
Oh dan ya, artikel ini juga bakal menyinggung-nyinggung tentang Bapak sih. Mungkin karena Bapak yang mengenalkan kedua anaknya dengan makanan yang bernama steak.
Walaupun sebetulnya, steak adalah makanan yang haram disantap Bapak dikarenakan tingkat kolesterol beliau.
Sementara itu, asalkan bukan ayam, ikan air tawar, atau kambing, Ibu sih doyan-doyan saja. #hehehe
Steak Masa Kecil di Jakarta
Jadi, steak ketika seorang Wijna kecil sudah jelas adalah ABUBA! Para penghuni Jakarta Selatan yang sering wira-wiri di Jl. Cipete Raya pastinya tahu warung steak ini.
Eh, dulu pas aku kecil masih warung sih. Kalau sekarang sudah jadi restoran yang cabangnya bertebaran di mana-mana. #senyum.lebar
Steak di Kereta ke Jogja
Kemudian dan kemudian, selain Jakarta, kehidupan seorang Wijna juga berkutat di Jogja. Dulu pas masih kecil, mudik ke Jogja adalah ritual yang lazim dilakukan 2 kali dalam setahun, pas libur tahun ajaran baru sekolah dan pas libur lebaran.
Dari sekian banyak agenda mudik, paling sering ya naik pesawat. Mungkin karena waktu tempuhnya lebih singkat. Mungkin pula karena Bapak ada rezeki.
Nah, dari sekian banyak agenda mudik itu, beberapa kali naik kereta api, dengan iming-iming nanti di kereta makan steak!
Yes! Dulu, kereta api eksekutif menyediakan menu steak. Biasalah, ada mbak pramugari yang berkeliling menawari penumpang apa mau memesan makanan atau minuman dari kereta restorasi.
Seingatku, dulu itu steak di kereta disajikan dengan wadah baja hot plate yang bentuknya sapi itu. Soal rasanya, seingatku dagingnya terlalu empuk dan kuahnya cokelat encer.
Steak pas Mudik di Jogja
Kemudian dan kemudian, sekitar tahun 1999 – 2000 Bapak menempuh kuliah S2 di UGM seusai pensiun dini. Nah, sejak saat itu setiap kali kami sekeluarga mudik ke Jogja, hampir selalu ada suatu malam yang mana Bapak mengajak makan di warung steak Obonk.
Bapak seringnya mengajak makan ke warung steak Obonk di dekat bundaran Samsat Kota Jogja (Pertigaan Jl. Bumijo Tengah). Karena letak warungnya dekat dari rumah, jadi ke sananya jalan kaki deh.
Warung steak Obonk itu termasuk warung steak kaki lima yang harganya murah meriah. Walaupun begitu, rasanya masih bisa dipertanggungjawabkan alias nggak asal-asalan.
Sayang, sekarang warung steak Obonk sudah menghilang dari Jogja. Padahal beberapa tahun setelah lulus kuliah masih eksis.
Kabarnya, usaha warung steak Obonk dilanjutkan oleh putra almarhum pemilik di bawah bendera Warung Steak and Shake alias WS.
Steak Baru-Baru Ini
Pada akhirnya, Senin (17/12/2018) yang lalu aku akhirnya makan steak. Makan steaknya ya di Warung Steak and Shake yang cabangnya bertebaran di seantero Yogyakarta.
Setelah sekian tahun lamanya nggak makan steak, agak kaget juga pas melihat wujud sajian seperti di bawah ini. Porsi potongan kentang, tumis sayur, dan daging sapinya kok minimalis ya?
Kuahnya encer pula. Alhasil, sendok pengaduk minum berfungsi ganda sebagai penyuap kuah ke mulut. #hehehe
Sepertinya itu karena yang dipesan Black Pepper seharga Rp37.000 (sudah termasuk pajak). Jikalau memesan Sirloin New Zealand (Rp82.500 termasuk pajak) atau Wagyu Steak (Rp125.000 termasuk pajak) mungkin sajiannya bakal lebih meyakinkan.
Tapi, ya menyantap steak ini untuk sekadar merangkai serpihan kenangan sih boleh juga.
Yang jelas, steak bukan tergolong makanan yang mengenyangkan sekaligus ramah dompet. Nasi ayam seharga Rp12.000 (dengan nasi ambil sepuasnya) di Rumah Makan Padang Giwangan boleh jadi adalah pilihannya.
Barangkali, steak digolongkan ke dalam makanan langka yang disantap pada momen-momen tertentu. Misalnya saja, memperingati setahun berbagi kasur. #hehehe
Tapi aku ya heran. Pas lewat di depan Warung Steak and Shake, aku sering melihat di sana ramai mahasiswa.
Itu tandanya mahasiswa yang kuliah di Jogja sekarang banyak yang berduit lebih ya? Apa orang tua mereka yang punya duit berlebih?
Mungkin bakal jadi ngawur jika mengaitkan fenomena warung steak ini dengan UMP Yogyakarta tahun 2018 yang berada di kisaran Rp1,5 juta. #hehehe
mewah banget.. cuma beberapa kali makan karena dulu sama seorang mbakmbak..
setelah putus, lama banget nggak makan steak sampe sebelum merantau kemaren
sempet mampir di waroeng.. terakhir beberapa bulan lalu, nampaknya ada yang berbeda
dan lebih mahal.. temen-temen pada mikir-mikir lagi untuk kesana sekarang.. wkwkkw
steaknya keturunan ke 2 atau 3. Kalau steak
yg dulu lumayan tebal dan besar ya maklum
saja mas, namanya juga indukan steak.