HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Telusur Dusun Sewugalur Bersama Rini

Jumat, 7 Desember 2018, 03:10 WIB

Rini ... Rini ... kamu di mana?

 

Di Jl. Raya Srandakan – Brosot dia ngebut dan menghilang.

 

Duh....

 

 

Sebelum menghilang, Rini sempat mengirim pesan ke WhatsApp-nya sang istri terlucyu. Rini bilang, ia akan menunggu di ujung Jembatan Srandakan.

 

Akan tetapi, kok setelah menyeberangi Jembatan Srandakan nggak terlihat tanda-tanda keberadaan Rini ya? Sudah pula mencoba menelpon Rini, tapi kok ya nggak diangkat-angkat? #doh

 

Jadi, aku dan sang istri akhirnya berhenti agak lama di pinggir jalan. Tepatnya di pertigaan gapura Pancasila Desa Kranggan.

 

 

Bosan motrat-motret nggak jelas, mengintiplah aku ke layar smartphone-nya istri. Di layar smarphone tertera pukul 17.07 WIB pada hari Sabtu (18/11/2018).

 

Selang beberapa menit kemudian Rini pun nongol. Holadala! Rupanya, Rini tadi berhenti untuk membeli “sesuatu” di toko dekat Jembatan Srandakan. Pantas saja sepeda motornya nggak kelihatan. #hehehe

 

 

Kemudian, seperti yang Rini janjikan siang tadi, ia mengajak kami menyambangi kerkhof di dekat rumahnya. Kerkhof itu kuburannya orang Belanda.

 

Eh, sebetulnya siang tadi itu Rini bertamu ke rumah kami di Kota Jogja. Padahal sang istri sudah bilang kalau kami mau main ke rumahnya di Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo.

 

Tapi, karena hari itu Rini sepertinya sedang mbuuuh #hehehe, jadilah sore itu kami bertamu ke rumahnya setelah siang harinya ia bertamu ke rumah kami. Biar ke Kulon Progonya konvoi kata Rini.

 

Berarti, pergi-pulang sekitar 50 km lebih dirinya… weh. #hehehe

 

Eh, sebetulnya kami juga bakal menempuh jarak yang kurang-lebih sama sih. #hehehe

 

 

Berhubung matahari semakin condong ke ufuk barat, kami pun segera meluncur ke Dusun Sewugalur, tempat di mana kerkhof yang dimaksud Rini berada. Dengan membuntuti Rini, kami tiba di Dusun Sewugalur kurang dari lima menit.

 

“Eh, kebablasan, ayo balik!” kata Rini saat menyusuri jalan di selatan kantor Desa Karangsewu.

 

Beh! Rupanya orang Galur juga bisa nyasar di Galur. #hehehe

 

 

Kami pun berkendara menyusuri gang kampung yang diapit rumah-rumah berhalaman lebar dengan pepohonan kelapa yang menjulang tinggi. Hanya beberapa puluh detik menyusuri gang tersebut, kami tiba di suatu jalan kecil berpemandangan sawah.

 

“Itu kerkhof-nya,” kata Rini seraya memarkirkan sepeda motornya.

 

 

Hooooo!

 

Bertetangga dengan persawahan, terdapat tanah kosong yang ditumbuhi rumput liar dan pohon-pohon pisang. Di sisi tanah kosong itu berdiri tugu yang berukuran agak gemuk. Itulah nisan kuburan orang Belanda.

 

RUHE SANFT

MARIA ARABELLA

JUNEMANN

GEB 20 NOVEMBER

OVERL 24 AUGU

 

Kalau menurut Google Translate, mendiang bernisan itu adalah Maria Arabella Junemann. Lahirnya tanggal 20 November. Meninggalnya 24 Agustus.

 

 

Dari namanya, kemungkinan besar Maria Arabella Junemann itu bukan orang Jawa #hehehe. Bisa jadi dia orang Belanda yang dulu pernah tinggal di Dusun Sewugalur.

 

Lha, kenapa bisa ada orang Belanda yang tinggal dan dimakamkan di Dusun Sewugalur?

 

Itu karena di Dusun Sewugalur pernah berdiri pabrik gula. Tepatnya, saat Indonesia masih dikuasai Belanda. Sekitar tahun 1940-an awal. 

 

Pabrik gula yang dulu pernah berdiri di Dusun Sewugalur bernama Pabrik Gula (PG) Sewugalur. Petinggi PG Sewugalur adalah orang-orang Belanda. Mereka tinggal bersama keluarganya di rumah-rumah yang terletak di sekitar pabrik.

 

 

Aku nggak mau bercerita panjang lebar tentang sejarah PG Sewugalur karena sudah banyak blogger yang menceritakannya di internet, seperti saudari Rini dan saudara Lengkong. Silakan simak cerita mereka di bawah ini. #senyum.lebar

 

  1. https://riniarr.wordpress.com/2018/01/07/menelusuri-jejak-kejayaan-pabrik-gula-sewugalur/
  2. http://jejakkolonial.blogspot.com/2016/02/telusur-sisa-pabrik-gula-sewugalur.html

 

 

Singkat sejarahnya, PG Sewugalur pernah berjaya pada tahun 1920-an. Sayangnya, krisis ekonomi dunia pada tahun 1930-an (The Great Depression) membuat pabrik gula ini bangkrut karena harga jual gula menjadi sangat rendah.

 

Sangat disayangkan, saat ini bangunan PG Sewugalur sudah nggak berwujud. Pabrik gula ini dihancurkan pada masa penjajahan Jepang.

 

Dulu, di dekat PG Sewugalur juga pernah berdiri stasiun kereta api. Sangat disayangkan juga, saat ini stasiun kereta api beserta rel-relnya sudah lenyap tak bersisa.

 


Sumber foto: https://beeldbankwo2.nl

 

“Dulu tulisan di nisannya nggak dispidol,” kata Rini ketika mengamati nisan Maria Arabella Junemann, “siapa ya yang ngasih spidol?”

 

Waktu “dulu” yang dimaksud oleh Rini adalah pada Oktober 2017, ketika ia menapak-tilas peninggalan PG Sewugalur bersama Komunitas Roemah Toea. Pada waktu itu, area kerkhof sudah dibersihkan dari rumput liar. Akan tetapi, sekarang rumput liarnya sudah tumbuh subur lagi. #hehehe

 

 

“Dulu sempat menggelar tikar di sana kok,” kata Rini menunjuk rumput-rumput di antara nisan.

 

Selain nisan milik Maria Arabella Junemann, di kerkhof ini juga terdapat nisan-nisan lain. Mereka juga berkawan akrab dengan rumput liar dan pohon-pohon pisang #sedih. Ada nisan yang wujudnya seperti tugu. Ada juga nisan yang wujudnya terlentang.

 

Hanya saja, nisan milik Maria Arabella Junemann lebih beruntung karena plat marmer namanya masih ada (walaupun sudah terpotong #hehehe). Kata Rini, plat-plat marmer di nisan yang lain sudah hilang dicuri orang. Di black market, plat marmer nisan ini dihargai mahal.

 

Weh!

 

Semoga kalian yang dimakamkan di sini beristirahat dengan damai. Rest in peace. Ruhe sanft.

 

Aamiin.

 

 

Rampung menyambangi kerkhof, Rini mengajak kami menyambangi rumah tua peninggalan orang Belanda. Katanya, itu rumah tua terbesar di Dusun Sewugalur.

 

Sayang, saat ini rumah tua tersebut sudah nggak utuh. Struktur rumah yang tersisa hanya tembok-tembok yang retak karena digoncang gempa tahun 2006 silam.

 

“Nggak boleh masuk, soalnya gampang rubuh kalau kena getaran,” Rini mengingatkan.

 

Heeeee… iya sih. Jika melihat retakan besar di tembok ambang pintu, sepertinya rubuhnya rumah hanya tinggal menunggu waktu. #hehehe

 

 

Jadi, dengan tetap memasang helm di kepala, aku pun memotret-motret rumah tua Belanda itu dari luar. Penasaran, sisi samping rumah juga disusuri.

 

Dari lubang jendela yang mengaga, bagian dalam rumah terlihat jelas. Langit-langit rumah tinggi, lubang pintunya besar (mungkin dulu pintunya berdaun dua), dan lantainya dilapisi tegel semen bermotif sisik tanpa warna.

 

Sepertinya, sekarang rumah tua Belanda ini dimanfaatkan warga sebagai "gudang". Di dalam rumah terlihat tumpukan batu bata, sepet (kulit kelapa tua kering), dan ranting kayu yang biasa digunakan sebagai bahan bakar tungku.

 

 

Kata Rini, di halaman belakang rumah terdapat kandang kuda dan juga kolam renang #wow. Tapi, karena rumput liarnya tinggi-tinggi dan rawan jadi sarang ular, jadi ya... nggak usah dieksplorasi deh. #hehehe

 

Hal yang bikin tercengang dari rumah tua Belanda ini adalah sampah-sampah yang menumpuk di wot alias jembatan kecil selokan di depan rumah. Mengenaskan banget! Dulu, mungkin rumah besar ini dihuni pejabat tinggi pabrik gula. Eeeh... seratus tahun kemudian malah jadi tempat buang sampah. #sedih

 

Sedih nggak sih....

 

 

Selain rumah tua besar yang mengenaskan itu, untungnya Dusun Sewugalur masih memiliki rumah-rumah tua lain yang kondisinya masih utuh. Mumpung pancaran cahaya matahari belum sepenuhnya lenyap, Rini mengajak kami menyambangi rumah-rumah tua itu.

 

Di tengah perjalanan, Rini sempat mengajak mampir melihat lapangan yang dahulu adalah gudang lori pengangkut tebu PG Sewugalur. Sayang, sayang, sayang, sisa-sisa bangunan ataupun rel lori sudah lenyap tak bersisa.

 

 

Dari lapangan, Rini memandu kami menuju Pasar Mbabrik Sewugalur. Nggak jauh dari pasar, jejeran rumah-rumah tua berdiri rapi. Mirip kompleks perumahan. Alhamdulillah sebagian besar rumah tua itu masih terawat.

 

“Nanti kita salat magrib di sini,” kata Rini memandang Masjid Al-Mustofa.

 

Sepeda motor kami diparkir di pinggir jalan aspal. Tepat di seberang Masjid Al-Mustofa dan di depan suatu rumah tua berpohon mangga rindang. Ranum-ranum pula buah mangga apelnya, menggoda untuk dipetik. #hehehe

 

 

Belum ada lima menit kami mengamati rumah tua itu, datanglah dua cowok ABG berboncengan bersepeda motor. Mereka langsung masuk ke halaman rumah dan memarkirkan sepeda motor di sana. Tanpa ragu-ragu pula, dengan bilah bambu mereka memetik mangga-mangga apel yang sudah ranum.

 

Weh... siapa pula gerangan dua pemuda tanggung yang seakan tak punya rasa sungkan ini? 

 

“Ini rumahnya adiknya simbah saya Mbak,” kata salah satu cowok ABG yang seakan melegalisasi aksi mereka. #hehehe

 

 

Dibanding rumah tua besar, rumah tua di depan Masjid Al-Mustofa ini masih terawat. Halamannya bersih, cat temboknya masih putih, dan lampu rumahnya menyala. Di tembok dekat pintu masuk utama tertempel plakat bertuliskan bangunan cagar budaya.

 

Sayangnya (duh sayangnya lagi #hehehe), kata Rini serambi rumah tua ini menjadi tempat tidurnya orang edan pada malam hari #sedih. Terlihat di serambi ada semacam dipan dan juga ceceran camilan.

 

Eman-eman cah jadi tempat tidurnya orang edan. Kok ya nggak ada orang yang tinggal di rumah tua ini ya?

 

 

“Itu rumahnya Bu Jamal, narasumber Sewugalur,” kata Rini menunjuk rumah tua di sebelah selatan.

 

Rini bercerita bahwa ia pernah mengunjungi rumah tua Bu Jamal pada saat menapak-tilas peninggalan PG Sewugalur bersama Komunitas Roemah Toea, Oktober 2017 silam. Karena waktu itu sudah nyaris Magrib, jadi kami hanya melihat rumah Bu Jamal dari luar.

 

 

Sepengamatanku, pencahayaan rumah Bu Jamal lebih redup. Di sisi samping rumah terdapat paviliun, bangunan rumah kecil yang biasanya menjadi tempat menginap tamu.

 

Di sebelah selatan rumah Bu Jamal terdapat reruntuhan bangunan rumah tua. Di sebelah selatannya lagi terdapat rumah tua yang lampu halamannya menyala, akan tetapi tidak berpenghuni (kata Rini). Sang istri meminta difoto di muka rumah tua itu.

 

 

Selesai istri berfoto, azan magrib berkumandang dari Masjid Al-Mustofa. Kami pun menyudahi aktivitas berjalan kaki melihat-lihat rumah tua dan menuju masjid untuk menunaikan salat Magrib.

 

Rupanya, Masjid Al-Mustofa juga menempati bangunan tua. Akan tetapi, bagian dalam masjid sudah dipoles modern. Meskipun begitu, kesan antiknya masih terasa kental.

 

 

Ada hal yang bikin aku tercengang dari deretan rumah-rumah tua di seberang Masjid Al-Mustofa. Sejajar dengan masjid, rupanya berdiri kompleks perumahan! Namanya Sewugalur Village. Pihak pengembang menyediakan rumah tipe 36, 50, atau sesuai selera klien.

 

Agak gimana gitu melihatnya. Kompleks perumahan modern berhadap-hadapan dengan kompleks perumahan zaman penjajahan Belanda. Apa mungkin seiring dengan berjalannya waktu, rumah-rumah tua itu (terutama yang tinggal reruntuhan) akan bersalin rupa menjadi hunian modern ya?

 

Semoga saja nggak. Semoga Dusun Sewugalur tetap lestari menjadi saksi bisu adanya pemukiman Belanda di pesisir selatan Yogyakarta.

 

Aamiin.

 

 

Terima kasih Rini sudah menjadi pemandu keliling Dusun Sewugalur pada sore hari ini. #senyum.lebar

 

Senang ada orang Galur yang mengerti dengan sejarah tanah kelahiran mereka. #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI