Tangga naik ke Puncak Suroloyo sudah di depan mata. Jaraknya... ah paling hanya kurang dari sepuluh meter. Tapi, untuk menggapainya rasanya bueraaaaat buangeet! Soalnya, sekujur tubuh masih ingin merebah manja di lesehan Warung Kopi Suroloyo-nya Mas Win. Bahkan untuk bangkit meraih gelas teh panas di meja saja malasnya bukan main! #hehehe
“Mbah, mengko munggah nang puncak (Suroloyo)?” [1] tanyaku dengan napas ngos-ngosan dan mata terpejam.
“Yo karepmu!” [2] jawab Mbah Gundul. “Cerak kene ono sendang lho! Sendang Kawidodaren. [3]
[1] Mbah, nanti naik ke puncak (Suroloyo)?
[2] Ya, terserah kamu.
[3] Di dekat sini ada sendang lho! Sendang Kawidodaren.
Mendengar nama kawidodaren, entah kenapa otakku lantas mengaitkannya dengan kata midodaren. Yang terbayang selanjutnya adalah malam midodareni. Disusul dengan bayangan gadis berparas ayu berbusana adat Jawa. Diakhiri dengan bayangan pasangan pria dan wanita yang duduk berdampingan di pelaminan. Ihiiir.... #senyum.lebar
Dan seketika itu juga mataku terbelalak. Badan yang sedari tadi susah untuk digerakkan tiba-tiba bangkit dengan sendirinya. Dengan tenaga yang mendadak muncul aku berpaling dan bertanya kepada si Mbah,
“Bar seko sendang mengko aku iso rabi Mbah!?” [4]
“Haaamboooh!” [5] jawab Mbah Gundul terkekeh.
Hadeh... #hehehe
[4] Habis dari sendang nanti aku bisa menikah Mbah?
[5] Nggak tauuuu!
SILAKAN DIBACA
Sekitar satu jam kemudian, setelah puas menge-jog perut dengan semangkuk indomie rebus (plus telur) dan segelas teh Menoreh panas, kami melanjutkan bersepeda ke Sendang Kawidodaren. #senyum.lebar
“Ah, gur sak nyuk an kae kok.” [6]
[6] Ah, cuma dekat situ kok.
Itulah jawaban yang dilontarkan Mbah Gundul untuk setiap pertanyaan perihal lokasi Sendang Kawidodaren. Memang betul sih, jarak dari warung kopinya Mas Win ke Sendang Kawidodaren paling ya kurang dari satu kilometer. Nggak begitu jauh lah jikalau ditempuh naik sepeda.
Tapi... (masih ada tapinya lho ini #hehehe), medan yang mesti kami tempuh itu berwujud jalan aspal yang konturnya naik-turun! Soal turunannya sih oke. Nah, soal naiknya itu yang bikin perkara! Walaupun perut sudah mendapat asupan sepiring mie rebus instan, tetapi tetap saja tenaga yang sudah kembali nggak lantas bisa dipakai melibas tanjakan yang kurang begitu jahanam. #hehehe
Selain itu, masih ada “tapi” lain yang membuat perjalanan kami ke Sendang Kawidodaren menjadi setengah niat.
“Mung nek meh mlebu (sendang) mesti karo juru kuncine lho!” [7] Mbah Gundul mengingatkan.
“Yo wis Mbah. Seko njobo wae lah, ora sah mlebu,” [8] kataku memberi solusi penengah.
“Weh! Mosok ora mlebu?” [9] Si Mbah sepertinya merasa belum afdol kalau ke sendang tapi nggak raup.
“Yoh pokok e nang kono sik lah!” [10] kataku sambil berlalu.
[7] Tapi, kalau mau masuk (sendang) harus sama juru kuncinya lho!
[8] Ya sudah Mbah, dari luar saja, nggak usah masuk.
[9] Weh! Masak nggak masuk?
[10] Ya pokoknya ke sana dulu lah!
Sebagaimana warung-warung makan yang tutup (dan membuat Mbah Gundul kecewa karena nggak menemukan penjual nasi #hehehe), pada Rabu siang (17/5/2017) itu Sendang Kawidodaren juga terlihat sepi. Sepeda-sepeda kami parkir di luar gapura sendang. Kami lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuruni puluhan anak tangga.
Saat menuruni anak tangga, aku perhatikan ada banyak bangunan permanen yang nggak terawat. Boleh jadi bangunan itu semacam “kantor”-nya juru kunci atau mungkin toilet umum. Sayang, karena masih dihantui rasa malas jadi aku nggak menjamah bangunan itu lebih jauh, hehehe. #hehehe
Kurang dari satu menit, kami pun tiba di pintu masuk sendang. Seperti yang dibilang Mbah Gundul barusan, untuk masuk ke Sendang Kawidodaren memang mesti ditemani juru kunci karena ya... pintunya digembok! #hehehe
Wew....
“Sik yo Wis! Tak jupuk dupa sik!” [11] ujar Mbah Gundul seraya berjalan kembali menuju sepedanya.
[11] Ntar ya Wis! Aku ambil dupa dulu!
Sambil menunggu Mbah Gundul mengambil dupa dan korek, aku berdiri di dekat sosok tak bernyawa yang menyambut di Sendang Kawidodaren. Sosok yang aku maksud itu nggak lain adalah patung berwujud wanita berbusana kebaya. Kedua tangan si patung memegang kendi dalam posisi miring. Seakan-akan si patung sedang mengucurkan air yang tertampung di dalam kendi.
Entah siapa sosok patung wanita tersebut. Yang jelas, saat kami tiba di pintu masuk Sendang Kawidodaren, aku sempat melihat Mbah Gundul “menyapa” patung tersebut. Hmmm... mungkin itu yang membuat Mbah Gundul memutuskan untuk menyalakan dupa di wadah di dekat kaki patung? #hehehe
“Ngopo e Mbah kok mbakar dupa barang?” [12] tanyaku sok penasaran. #hehehe
“Yooo... ben lemut e mabur!” [13] jawab Mbah Gundul.
“Lemut? Lemut nang watu iki?” [14] tanyaku sambil menunjuk tumbuhan lumut yang menutupi rambut patung.
“Lemut yoo! Dudu lumut!” [15] seru Mbah Gundul.
“Lha? Lemut ki opo Mbah?” [16] Aku benar-benar nggak paham.
“Lemut ki nyamuk! Piye toh Jowomu?” [17] ejek Mbah Gundul.
“Ya maklum Mbah! Aku kan Jowo karbitan, hehehe.” [18] #hehehe
PREEEEET!
Tiba-tiba, kentut yang sedari tadi nggak aku tahan-tahan akhirnya jebol juga dari pantat #hehehe #ora.kalap. Mendengar bunyi yang sangat nyaring membahana itu, jelas perhatian Mbah Gundul langsung tertuju 100% kepadaku.
“Lha iku! (Dupa) Ben ora mambu entutmu!” [19]
Kami berdua pun terkekeh. #senyum.lebar
[12] Kenapa e Mbah harus membakar dupa segala?
[13] Yaaa... supaya lemut-nya pergi
[14] Lemut? Lumut di batu ini?
[15] Lemut yaaa! Bukan lumut!
[16] Lha? Lemut itu apa Mbah?
[17] Lemut itu nyamuk! Gimana sih Bahasa Jawamu?
[18] Ya maklum Mbah! Aku kan Jawa karbitan, hehehe.
[19] Lha itu! (dupa) Supaya nggak kebauan kentutmu!
Semerbak wangi kentut dupa pun menguar menyelubungi kami. Tak ada doa. Tak ada pula ritual gerakan aneh-aneh macam apa pun. Mbah Gundul hanya membakar dupa kemudian mengamati keadaan sekitar. Mungkin dirinya memastikan kalau nyamuk-nyamuknya sudah menyingkir? #hehehe
“Coba diinguk seko kono Mbah! Sopo ngerti ketok.” [20]
[20] Coba diintip dari sana Mbah! Siapa tahu kelihatan.
Aku menunjuk ke salah satu sudut tembok pagar sendang yang berbataskan tebing. Sementara itu, Mbah Gundul masih berusaha mencari celah di antara celah untuk bisa mendapatkan insight Sendang Kawidodaren.
Mendengar omonganku, Mbah Gundul pun mendaki tebing yang berbatasan dengan pagar. Aku sendiri belum berani ngapa-ngapain di tempat mistis seperti ini sebelum Mbah Gundul memberi contoh. #hehehe
“Sakjane iso lho nek meh mlebu seko kene,” [21] kata Mbah Gundul sambil melongok ke dalam pagar.
Mendengar omongan si Mbah, aku pun menyeru,
“Ngawur kowe Mbah! Lawang e digembok ki tandane awak e dewe gur oleh nginguk! Udu oleh mlebu loncat pager yo!” [22]
“Kan aku gur ngomong sakjane,” [23] kata Mbah Gundul cengengesan memberi pembelaan.
“Yo wis. Kene gentenan! Aku yo meh nginguk!” [24] #hehehe
[21] Sebetulnya bisa lho kalau mau masuk dari sini.
[22] Ngawur kamu Mbah! Pintunya digembok itu tandanya kita cuma boleh ngintip! Bukan boleh masuk loncat pagar ya!
[23] Kan aku hanya bilang, sebetulnya.
[24] Ya sudah. Sini gantian. Aku juga mau ngintip.
Jadi, menurut sumber yang aku comot dari internet, Sendang Kawidodaren ini konon adalah tempat mandinya para widodari alias celestial nymph alias bidadari. Mungkin itu sebabnya ada patung wanita di depan pintu masuk sendang. Meskipun ya... wujud patungnya kok ya lumayan jauh dari bayanganku tentang bidadari ya? Hahaha. #senyum.lebar
Setiap tanggal 1 Suro (1 Muharram), Sendang Kawidodaren menjadi lokasi prosesi adat menjamas (menyucikan) pusaka Keraton Ngayogyakarta yang disimpan oleh warga Suroloyo yaitu payung “Kyai Manggolo Dewo” dan tombak “Kyai Manggolo Murti”.
Eh! Kalau Trek-Lala dijamas di Sendang Kawidodaren, siapa tahu bisa enteng dipakai nanjak ke Puncak Suroloyo? Hehehe. #hehehe
Setelah melongok isi Sendang Kawidodaren dari balik pagar, kami pun melanjutkan perjalanan. Mbah Gundul ternyata masih menyimpan misi lain di kawasan Puncak Suroloyo, yaitu....
ciuttt... Hehehe.. Tapi sak ora-orane
entutmu wes mubal nang sendang Mas.
Nek lokasine cerak mungkin nekat. Lha iki, adoh tur wingit je...