Betul!
Ini hanya sekadar jalan-jalan pagi setelah melewatkan pergantian malam tahun baru 2018 yang damai (tanpa petasan + riuh terompet + musik koplo #senyum.lebar) di salah satu sudut pedesaan Bantul.
Buang-buang bensin sepeda motor lah ceritanya. #hehehe
Sebagaimana judul artikel ini, lokasi jalan-jalan pagi pada hari pertama tahun 2018 adalah di Desa Selopamioro. Yang disebut dengan Desa Selopamioro ya desa di Kecamatan Imogiri yang terkenal dengan jembatan gantungnya itu.
Sayang seribu sayang, akibat dihantam badai Cempaka pada awal Desember 2017 silam, jembatan gantung kuning yang tenar itu musnah terbawa derasnya arus Kali Oya. Alhasil, Jogja jadi kehilangan satu jembatan gantung lagi deh. #sedih #sedih
Akan tetapi, hal itu malah bikin aku jadi penasaran. Aku penasaran ingin tahu, seperti apa wujud Desa Selopamioro tanpa jembatan gantung yang ikonik itu.
Jadi, dari rumah di Pundong, aku dan Dwi berangkat menuju Desa Selopamioro. Karena aku sudah sering bersepeda ke jembatan gantung Selopamioro, jelas aku sudah paham rutenya dan nggak ada adegan nyasar-nyasar. #senyum.lebar
Suasana Desa Selopamioro pada pukul setengah tujuh pagi masih sepi. Di jalan belum banyak warga yang seliwar-seliwer. Kemungkinannya ada tiga:
- Pertama, hawa pagi itu sejuk jadinya enak buat tidur. #hehehe
- Kedua, orang-orang pada masih ngantuk karena semalam ikut acara pergantian tahun.
- Ketiga, satu Januari adalah tanggal merah. #senyum.lebar
Sepeda motor dipacu agak cepat menyusuri jalan aspal yang sisi kirinya longsor. Selang beberapa saat, tibalah kami di Dusun Kedungjati. Di dusun inilah jembatan gantung Selopamioro berada.
Di dekat gubuk parkir pengunjung sepeda motor berhenti. Berjarak beberapa belas meter dari sana terlihat sisa-sisa ujung jembatan gantung. Seperti yang aku singgung di atas, sayang sebagian besar jembatan gantung sudah lenyap tak bersisa. #sedih
“Mas, kalau parkir di sini nanti bayar lho!” kata Dwi.
Aku melongok ke rumah di atas tebing dekat area parkir. Seorang bapak penghuni rumah muncul dari teras. Dirinya mempersilakan agar tak sungkan memarkirkan sepeda motor.
Duh! Males banget ya kalau harus bayar parkir sepeda motor di tempat seperti ini? Bukan masalah uangnya sih, tapi kan jembatan gantungnya sudah nggak ada. Aku sih ikhlas bayar parkir seumpama jembatan gantungnya masih ada.
“Mas, lanjut aja terus,” Dwi memberi saran.
“Hah? Memangnya kamu pernah terus menyusuri jalan ini Wi?” tanyaku melihat jalan aspal desa yang masih membentang di sebelah bangunan parkir.
“Pernah. Udah lurus aja,” tegas Dwi.
Atas kepercayaan dan dorongan dari istri tercinta, aku pun mengikuti petunjuk Dwi. Memang benar apa yang dirinya omongkan. Ternyata, jalan desa ini membawa kami ke pinggir Kali Oya dengan pemandangan apik.
Semakin lama jalan yang kami lalui semakin nggak bersahabat bagi sepeda motor. Jadilah sepeda motor diparkir di pinggir jalan tanah. Perjalanan pun dilanjut dengan berjalan kaki.
Di tengah perjalanan kami melihat ada penampakan air terjun di tebing. Penasaran juga di mana akses ke sananya. Tapi, karena Dwi nggak berminat menyelidiki, jadi ya diabaikan deh. #senyum.lebar
Untuk para penggemar lintas alam, jalan setapak di pinggir Kali Oya ini sangat menantang untuk dilintasi. Sisi kanannya tebing berbatu, sedangkan sisi kirinya tebing Kali Oya. Salah melangkah, bisa-bisa terpeleset tercebur ke Kali Oya. #hehehe
Kami sendiri hanya menyusuri jalan setapak di pinggir Kali Oya ini sekitar 10 menit. Kami memutuskan berbalik di dekat pohon di tengah jalan. Soalnya, jalannya semakin “menantang” untuk dilewati. Yang penting, sudah pernah lah jalan kaki menyusuri pinggir Kali Oya. #senyum.lebar
Eh iya, di ceruk di bawah pohon ini rupanya ada sesaji lho!
Saatnya pulang, sarapan soto gratis. Nyam! #senyum.lebar
Aku pernah kesana sih, tp lewatnya depan SMP Imogiri kayanya yang seberang dari tempat foto ini.