HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Jembatan di Pundong yang Kini Telah Tiada

Jumat, 25 Mei 2018, 16:00 WIB

Adalah semasa kuliah, Pakdhe Prap mengajak aku pergi memotret jembatan. Jembatan bambu yang mirip seperti yang ada di foto jepretannya Pakdhe di bawah ini. Beruntung aku pernah diberi soft copy-nya. #senyum

 

 

Kami pun bermobil, dari rumah di pusat Kota Jogja menuju suatu tempat di selatan Jogja. Waktu itu aku masih mahasiswa, masih anak baru dari Jakarta, jadi masih belum kenal betul tempat-tempat di Yogyakarta. Pokoknya, asal ikut Pakdhe saja. #hehehe

 

Pakdhe Prap bilang jembatan bambu yang dipotretnya itu berada di Pundong. Sepanjang perjalanan, Pakdhe juga cerita kalau pernah memberi tumpangan naik mobil ke Pasar Pundong kepada ibu-ibu yang lewat jembatan bambu itu.

 

Singkat cerita, kami pun tiba di lokasi jembatan bambu yang masih membekas di ingatan Pakdhe Prap. Sayang, di sana kami temui jembatan beton. Jembatan bambu yang pernah dipotret Pakdhe tinggal kenangan. #sedih

 

 

Itulah jembatan yang katanya Pakdhe ada di Kecamatan Pundong di Kabupaten Bantul. Itu pertama kalinya aku tahu Pundong dari jembatan bambu.

 

Setelah sekian belas tahun menumpang hidup di Jogja, Pundong pun tak lagi asing. Boleh dikata, jalan kaki lewat Jl. Parangtritis sambil merem pun bisa sampai di Pundong. #hehehe

 

Tapi, aku masih belum begitu kenal dengan jembatan-jembatan di Pundong. Semisal pas Dwi menyebut nama-nama jembatan di Pundong, aku masih mikir agak lama mencocok-cocokkan ingatan dengan foto jepretanku. #hehehe

 

Jembatan Soka

Adalah Jembatan Soka. Jembatan ini membentang di atas Kali Opak, penghubung Dusun Gunung Puyuh di Desa Srihardono dengan Dusun Soka di Desa Seloharjo.

 

Hingga beberapa waktu silam, Jembatan Soka adalah sebutan bagi dua jembatan yang berbeda. Selain wujud, pembedanya adalah waktu pembangunan. Ada Jembatan Soka lama. Ada pula Jembatan Soka baru.

 

 

Jembatan Soka lama berwujud jembatan gantung. Meski begitu, dia tidak benar-benar menggantung. Di sisi utara, ada topangan dua tiang beton.

 

Lantai Jembatan Soka lama terbuat dari papan kayu. Beberapa papan ada yang lenyap. Kalau dilewati bergoyang-goyang. Untung pinggir sisinya teramankan pagar besi.

 

Lebar Jembatan Soka lama kira-kira satu meter. Hanya cukup melintas satu kendaraan roda dua. Di tengah tak ada ruang untuk simpangan. Pelintas harus menyesuaikan giliran sebelum menyeberangi jembatan.

 

 

Sebelum berwujud jembatan gantung, Jembatan Soka lama juga pernah berwujud jembatan beton. Bentuknya jauh lebih ramping. Masih hanya muat untuk melintas satu kendaraan roda dua. Untungnya, di tengah jembatan ada ruang untuk simpangan.

 

Pada Maret 2011, aku bersama kawan-kawan SPSS pernah bersepeda menghampiri Jembatan Soka lama yang kala itu berwujud jembatan beton. Waktu itu kondisi jembatan mengenaskan. Jembatannya terputus di tengah akibat banjir lahar dingin erupsi Gunung Merapi tahun 2010.

 

 

Jembatan Soka adalah sarana transportasi vital bagi warga Pundong. Khususnya bagi warga Desa Seloharjo. Dengan adanya Jembatan Soka, maka warga Desa Seloharjo tidak perlu memutar jauh lewat Jembatan Kretek untuk menuju pusat kecamatan. Begitupun sebaliknya bagi mereka yang hendak menuju pusat Desa Seloharjo.

 

Oleh sebab itu, pada tahun 2014 Pemerintah Kabupaten Bantul membangun Jembatan Soka baru. Jembatan Soka baru ini memiliki panjang 40 meter dan lebar 9 meter. Jangankan satu kendaraan roda dua, dua bus pariwisata saja muat lewat sana. #senyum.lebar

 

Untungnya Jembatan Soka baru tidak menggusur Jembatan Soka lama. Jembatan tersebut didirikan kira-kira 60 meter di barat Jembatan Soka lama.

 

 

Setelah Jembatan Soka baru difungsikan sebagai sarana penyeberangan utama, Jembatan Soka lama pun pensiun. Tak lagi dilintasi kendaraan, Jembatan Soka lama pun menjadi tempat berfoto-foto dan penyeberangan orang (bagi yang berani #hehehe).

 

Kini, Jembatan Soka lama nyaris tak bersisa setelah diterjang luapan banjir Kali Opak pada November 2017 silam. #sedih

 

 

Jembatan Nangsri (Jembatan Nambangan)

Adalah Jembatan Nangsri. Jembatan ini membentang di atas Kali Opak, penghubung Dusun Nangsri di Desa Srihardono dengan Dusun Nambangan di Desa Seloharjo. Oleh sebab itu, disebut pula sebagai Jembatan Nambangan.  

 

Wujud Jembatan Nangsri serupa seperti Jembatan Soka lama ketika masih berwujud jembatan beton. Sama-sama hanya muat dilewati satu kendaraan bermotor. Sama-sama memiliki ruang untuk simpangan di tengahnya.

 

 

Kunjungan pertama ke Jembatan Nangsri adalah pada Maret 2011 bersama kawan-kawan SPSS. Pada waktu itu kami bersepeda ke Pantai Parangtritis dengan menyusuri pinggir Kali Opak. Jadi, bisa ketemu Jembatan Nangsri dan juga Jembatan Soka.

 

Pada waktu itu kondisi Jembatan Nangsri juga mengenaskan. Serupa seperti Jembatan Soka lama, Jembatan Nangsri juga terputus di tengah akibat banjir lahar dingin erupsi Gunung Merapi tahun 2010.

 

 

Kunjungan kedua kali adalah pada Agustus 2017, usai aku dan Dwi piknik di pinggir Kali Opak. Waktu itu Jembatan Nangsri sudah terhubung kembali. Tapi, jembatannya sudah miring. Tiang besi yang menjulang terlihat bengkok.

 

Alhasil, Jembatan Nangsri ditutup warga supaya tidak membahayakan kendaraan bermotor yang melintas. Sesekali pejalan kaki masih melintas di sana.

 

 

Saat sedang di sana, ada seorang ibu warga yang mengeluhkan rusaknya Jembatan Nangsri dan berharap agar Pemkab segera memperbaikinya. Tapi sebetulnya, Pemkab sendiri cenderung sungkan memperbaiki Jembatan Nangsri.

 

Menurut berita yang tersiar, berdasarkan kajian yang dilakukan Pemkab pada tahun 2013 silam, perkiraan anggaran pembangunan Jembatan Nangsri mencapai Rp22 miliar. Sedangkan Jembatan Soka hanya berkisar Rp14 miliar.

 

Biaya pembebasan lahan menjadi salah satu penyebab besarnya perkiraan anggaran pembangunan Jembatan Nangsri. Diperkirakan ada 23 kepala keluarga di sekitar Jembatan Nangsri yang tanahnya harus dibebaskan. Sedangkan pembangunan Jembatan Soka hanya membebaskan tanah 1 kepala keluarga saja.

 

 

Selain itu, halangan lain dari pembangunan Jembatan Nangsri adalah keberadaan benda cagar budaya berupa pintu air tanggul Kali Opak. Pintu tanggul air ini berada di sisi Dusun Nangsri. Sekilas bentuknya mirip pintu besi benteng perang.

 

Katanya, dulu daerah Pundong sering dilanda banjir besar akibat luapan Kali Opak. Oleh sebab itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX memerintahkan untuk membuat tanggul di sepanjang pinggir Kali Opak.

 

Saat air Kali Opak meluap setinggi tanggul, maka pintu air ditutup. Dusun Nangsri pun terbebas dari banjir. Tapi, karena berangsur-angsur Kali Opak menjadi lebih dalam, maka sejak tahun 1980 pintu air itu tidak lagi difungsikan.

 

 

Karena adanya pintu air ini, pembangunan Jembatan Nangsri jadi terkendala. Ukuran pintu air jelas membatasi pula ukuran kendaraan yang bisa lewat. Kalau Jembatan Nangsri mau diperlebar, maka pintu air mau tidak mau harus dipindah.

 

Kini, Jembatan Nangsri nyaris tak bersisa setelah diterjang luapan banjir Kali Opak pada November 2017 silam. Rencana pembangunan Jembatan Nangsri pun sepertinya hanya akan berakhir sebagai wacana. #sedih

 

 

Penutup

Itulah jembatan-jembatan di Pundong yang kini tinggal kenangan. Mereka pernah hadir di tengah-tengah warga Pundong, membantu meringankan beban menyeberangi Kali Opak.

 

Entah apakah di masa depan jembatan-jembatan yang musnah itu akan kembali dibangun. Tapi yang jelas, semoga kita semua tidak lupa bahwa dahulu kala jembatan-jembatan itu pernah ada di Pundong.

 

Secara pribadi, sedih rasanya melihat jembatan-jembatan di Pundong itu kini sudah tiada. Akan tetapi, aku bersyukur bahwa dulu aku masih sempat memotret jembatan-jembatan itu pada saat mereka masih tegak berdiri. Semoga foto-foto di artikel ini bisa menjadi salah satu bukti sejarah keberadaan jembatan di Pundong. #senyum

 

 

Terima kasih jembatan di Pundong yang kini sudah tiada. #senyum

NIMBRUNG DI SINI