HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Kelakuan yang Aneh di Malam Sebelum Nikah

Rabu, 11 April 2018, 14:00 WIB

Katanya, malam sebelum nikah adalah malam yang sakral. Tapi, sakralnya bukan karena ada dhemit-dhemit-annya gitu, melainkan karena ada tradisi khusus yang dilakukan pada malam tersebut.

 

Kalau dalam budaya Jawa, Malam Midodareni adalah tradisi yang umum diselenggarakan pada malam sebelum nikah. Aku sendiri menerjemahkan Malam Midodareni ke dalam bahasa Indonesia sebagai malam mem-bidadari-kan, hehehe #hehehe.

 

Mitosnya, pada Malam Midodareni para bidadari dari kahyangan bakal turun menghampiri calon pengantin wanita. Para bidadari datang dengan maksud untuk memberikan berkat pernikahan sekaligus membuat calon pengantin wanita tampil secantik bidadari. #senyum.lebar

 

 

Selain para bidadari, tamu yang datang pada Malam Midodareni biasanya adalah para teman serta kerabat dekat calon pengantin wanita. Nggak hanya itu, calon pengantin pria beserta keluarganya juga turut datang.

 

Pada Malam Midodareni biasanya memang digelar suatu acara untuk menyambut kedatangan calon pengantin pria beserta keluarganya. Akan tetapi, si calon pengantin wanita dan calon pengantin pria nggak boleh bertemu!

 

Calon pengantin wanita memang sengaja “disembunyikan” dari calon pengantin pria. Kalau mereka bertemu nanti bisa-bisa kerjanya para bidadari malah jadi nggak fokus, hehehe. #senyum.lebar

 

Jadi, yang menyambut kedatangan calon pengantin pria beserta keluarganya hanya keluarga calon pengantin wanita. Biasanya sih dilakukan di halaman rumah. Pada momen ini pihak calon pengantin pria menyerahkan hadiah “serah-serahan” kepada pihak calon pengantin wanita, perkenalan dua keluarga besar, dan pemberian nasihat nikah kepada calon pengantin pria.  

 

 

Lalu, bagaimanakah dengan tradisi Malam Midodareni sebelum seorang Wijna menikah?

 

Jawabannya adalah NGGAK ADA!

 

Hehehe. #hehehe

 

Pada Sabtu malam (16/12/2017) sebelum aku menikah, nggak ada itu yang namanya acara Malam Midodareni. Keluarganya Dwi juga nggak menyelenggarakan acara Malam Midodareni karena di sana nggak ada tradisi yang seperti itu.

 

Jujur, kalau dimintai pendapat aku sih nggak mau ikut prosesi acara Malam Midodareni, hahaha #senyum.lebar. Biasalah, yang namanya Wijna itu kan orangnya nggak suka dengan hal-hal yang ribet bertele-tele #hehehe. Aku itu termasuk ke dalam golongan orang yang mendambakan prosesi menikah sesingkat dan sesederhana: ijab kabul – menandatangani buku nikah – selesai, hehehe. #hehehe

 

Tapi, hidup kan ya nggak bisa sesingkat dan sesederhana itu toh?

Juga, kan nggak semua keinginan manusia bisa terwujud seratus persen toh? #senyum

 

Maka dari itu, pada malam sebelum aku menikah Bapak dan Ibu bikin acara makan-makan di rumah. Beliau-beliau mengundang katering dan bakul bakmi Jawa guna menjamu sanak keluarga dan rekan-rekan yang berdatangan ke Jogja yang pada keesokan harinya bakal menghadiri acara nikahanku.

 

 

Jelas banget acara yang bikin rumah ramai dengan orang seperti itu bukan seleranya seorang Wijna. #hehehe

 

Para tamu sih enak cuma datang – duduk – ngobrol – makan –  pulang. Akan tetapi, aku yang besok pagi bakal menikah merasa perlu untuk “menentramkan hati” buat menghadapi momen sakral tersebut.

 

Eh, sebetulnya sih dua hari sebelumnya pada hari Kamis malam (14/12/2017) digelar pengajian pengantar nikah di musala samping rumah. Pas acara itu aku ya sempat nanya-nanya ke pak penceramahnya sih. Tapi ya namanya juga seorang Wijna #hehehe. Acara pengajian seperti itu nggak bikin hatiku tenteram. Payah toh? #hehehe

 

 

Sebenarnya jauuuh berhari-hari sebelumnya aku sudah berdiskusi “keras” dengan Bapak perkara ketidaksukaanku dengan acara yang bikin rumah jadi ramai. Selain karena acaranya “nggak aku banget”, dalam pikiranku acara semacam itu “menodai” kesakralan malam sebelum nikah.

 

Akan tetapi, seperti yang aku singgung di paragraf atas tadi, kan nggak semua keinginan manusia bisa terwujud seratus persen kan? Jadinya, setelah diskusi “keras” itu terciptalah suatu perjanjian bahwasanya acara yang bikin ramai rumah itu tetap bakal dilangsungkan, tapi setelah selesai acara gantian aku yang mengeksekusi agendaku.

 

Yah, untuk menciptakan kehidupan yang damai dengan banyak orang kan seseorang harus ikhlas mengalah dan berkompromi toh? #senyum.lebar #kompromi.bapak.anak

 

 

Jadi, ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan sebagian besar tamu sudah pulang, aku langsung melepas kemeja batik formal dan menggantinya dengan baju koko hitam. Tas selempang tak lupa aku kenakan. Aku pun mengarungi jalanan Kota Jogja dengan sepeda federal tua berwarna kuning.  

 

Hah!?

 

Bersepeda malam-malam di malam sebelum nikah!?

 

Yes! #senyum.lebar

 

Kurang PEKOK apa coba aku ini? Hehehe. #hehehe

 

 

Nggak tahu kenapa, jauh-jauh hari sebelumnya aku terbayang-bayang akan suatu tempat yang rasanya wajib aku kunjungi pada malam sebelum aku menikah. Tempat tersebut nggak lain adalah Kotagede! #senyum.lebar

 

Pada tahu Kotagede toh? Itu lho kecamatan di ujung tenggara Kota Jogja yang berkode pos 55171 (Rejowinangun), 55172 (Prenggan), dan 55173 (Purbayan). #eh

 

Buatku, Kotagede merupakan suatu tempat yang sakral. Kotagede adalah tempat di mana suatu peradaban berawal. Dari suatu desa kecil yang bernama Mataram yang kemudian tumbuh menjadi kerajaan. Dari Kerajaan Mataram inilah kemudian lahir Kesultanan Yogyakarta.

 

Ya, Kotagede adalah tempat di mana sejarah Yogyakarta bermula. Tapi, bukan tempat di mana kisah cintaku dengan Dwi bermula lho! Sebab, kisah cintaku bermula dari kotak komentar blog dan bukan di artikel yang membahas Kotagede, hahaha. #senyum.lebar

 

Jadi ya kurang lengkap gitu rasanya jikalau aku melangsungkan hajat yang mengawali peradaban hidup baru tanpa berkunjung ke Kotagede. #senyum

 

 

Aku tiba dengan selamat di Kotagede dengan rute bersepeda melewati Jl. Malioboro – Jl. Brigjen Katamso – Jl. Sisingamangaraja – Jl. Sorogenen – Jl. Tegal Gendu. Waktu menunjukkan hampir pukul setengah sebelas malam. Tanpa membuang-buang waktu, aku langsung meluncur ke Masjid Gedhe Mataram lewat “gang fotogenik” yang bercabang dengan Jl. Mondorakan.

 

Di luar gerbang Masjid Gedhe Mataram aku lihat ada seorang bapak yang sedang duduk. Aku pun bertanya ke beliau apakah boleh larut malam begini sepeda dibawa masuk ke halaman masjid. Si bapak menjawab kurang tahu. Karena jawaban beliau kurang sip, jadinya aku usung saja sepeda masuk ke halaman masjid. #hehehe

 

 

Aku memarkir sepeda di salah satu tiang besi cagak tenda yang ada di halaman Masjid Gedhe Mataram. Dari jauh sekilas aku amati serambi masjid. Nggak kelihatan ada satu orang pun di sana. Mungkin karena sudah larut malam jadinya gerbang utama masjid sudah ditutup. Orang-orang pun nggak bisa masuk ke halaman masjid.

 

Melihat kondisi yang seperti itu, aku pun berencana “menenteramkan hati” di halaman masjid saja. Tapi, ndilalah beberapa saat kemudian datanglah seorang bapak dari gerbang masjid yang tadi aku masuki. Beliau sepertinya pengurus masjid. Tanpa pikir panjang aku bergegas bertanya izin masuk ke serambi masjid kepada beliau.

 

 

Betul dugaanku, bapak yang kutemui itu rupanya adalah pengurus Masjid Gedhe Mataram. Alhamdulillah juga beliau mengizinkan aku masuk ke serambi masjid. Kata beliau pagar masuk serambi masjid nggak digembok dan hanya dikunci dengan lilitan rantai besi. Beliau rupanya bertugas ronda pada malam ini.

 

Rupanya, Masjid Gedhe Mataram juga bisa dikunjungi pas larut malam. Pengunjung yang datang diharap melapor ke petugas ronda yang berjaga di serambi. Sekadar mengisi buku tamu dan syukur-syukur mengisi kotak infak. #senyum

 

Setelah berusah-payah mengurai lilitan rantai besi, aku pun berhasil menjamah serambi Masjid Gedhe Mataram. Di sana aku “menenteramkan hati” dengan salat, membaca ayat-ayat Quran, dan berdoa. Itulah “ritual” yang aku lakukan untuk menghadapi momen sakral pada esok hari. Bukan dengan menyajikan kemenyan dan membakar dupa lho ya! Hahaha. #senyum.lebar

 

 

Selesai “menenteramkan diri” di serambi Masjid Gedhe Mataram, aku bermaksud menutup “ritual” pada larut malam ini dengan membasuh wajah dengan air dari Sendang Seliran! Hahaha. #senyum.lebar

 

Air itu kan unsur alam berenergi positif yang umum digunakan sebagai media pembersih diri. Sekaligus juga supaya aku nggak ngantuk pas nanti bersepeda balik pulang ke rumah, hehehe. #hehehe

 

Sendang Seliran itu adalah mata air yang letaknya masih satu kompleks dengan Masjid Gedhe Mataram. Tapi, lokasinya nggak dekat masjid, melainkan dekat dengan Makam Raja-Raja Mataram Kotagede. Masjid Gedhe Mataram dan Makam Raja-Raja itu kan satu kompleks.

 

Aku juga sudah beberapa kali mengunjungi Sendang Seliran. Tapi, seumur-umur, baru kali ini ke sana pas malam. Lebih tepatnya larut malam. Kalau dipikir-pikir kurang kerjaan banget kan? Hahaha. #senyum.lebar

 

 

Untuk menuju ke Sendang Seliran aku harus melewati dua halaman di selatannya Masjid Gedhe Mataram. Aku kaget pas masuk ke sana. Soalnya, di sana ada banyak orang! Suasananya kontras banget dengan Masjid Gedhe Mataram yang sepi.

 

Tapi, hampir semua orang yang aku lihat di halaman itu sedang tidur! Ada yang tidur di atas rumput. Ada pula yang tidur di atas lantai batu. Ada yang tidur dengan alas tikar, koran, atau bahkan tanpa alas. Wew…

 

Di halaman itu aku juga melihat seorang simbah putri yang duduk beralas tikar di atas rumput sambil memberi makan kucing-kucing. Heee, rupanya kucing-kucing yang sering aku temui di halaman Makam Raja-Raja Kotagede itu ada yang merawat toh? Pantas saja mereka gemuk-gemuk. #hehehe

 

 

Di halaman kedua aku melewati pos jaga para abdi dalem. Di sana ada seorang simbah abdi dalem yang masih terjaga sambil merokok. Aku menyapa beliau dan meminta izin untuk ke Sendang Seliran. Tanpa bicara beliau mengangguk, mempersilakan aku untuk lewat.

 

Jalan setapak ke Sendang Seliran terletak di belakang pendopo yang bernama Bangsal Pengapit Kidul. Di utaranya Bangsal Pengapit Kidul berdiri pendopo lain yang bernama Bangsal Pengapit Ler. Kedua pendopo ini digunakan sebagai tempat istirahat para peziarah. Di barat kedua pendopo terdapat gerbang masuk makam yang hanya dibuka pada waktu-waktu tertentu.

 

Sama seperti tadi, Bangsal Pengapit Ler dan Bangsal Pengapit Kidul juga disesaki orang-orang yang sedang tidur! Apa mereka ini para peziarah yang baru melakukan laku ngalap berkah ya? Apa setiap malam ya begini ini kondisinya ya?

 

 

Aku sempat “galau” di depan gerbang anak tangga turun menuju ke Sendang Seliran. Beda dengan yang tadi-tadi, kondisi di sepanjang jalan anak tangga turun ke Sendang Seliran ini GELAP GULITA!

 

Hadeh… serasa uji nyali ini!

 

Rasanya lebih horor dibanding pas masuk ke Rumah Pocong, hahaha! #senyum.lebar

 

Tapi ya berhubung jarak Sendang Seliran dari kedua kakiku tinggal sekitar 50 meter lagi, jadi ya wajib didekati toh!? #senyum.lebar

 

Pas meniti anak tangga turun ke Sendang Seliran ini aku pelan-pelan banget jalan kakinya. Selain karena hati-hati supaya nggak tersandung, aku juga takut, hahaha #senyum.lebar. Ya, lebih karena takut kaget jika tiba-tiba muncul “penampakan”, hahaha. #senyum.lebar

 

 

Sendang Seliran itu terbagi jadi dua mata air yang masing-masing lokasinya terpisah tembok, yaitu Sendang Lanang (laki-laki) dan Sendang Wadhon (perempuan). Berhubung aku sadar jenis kelamin, jadinya aku memilih mendekat ke Sendang Lanang.

 

Sebetulnya, aku penasaran juga pingin menghampiri Sendang Wadhon. Tapi, kalau ternyata pas larut malam begini ada ibu-ibu yang sedang semadi di Sendang Wadhon ya kan ujung-ujungnya bisa kisruh. #hehehe

    

Tiba di dasar anak tangga, aku pun mengecek kondisi di dalam bilik Sendang Lanang seusai ber-“kula nuwun” seperlunya. Hooo, aman ternyata. Nggak ada orang di dalam. Ya, siapa tahu ada bapak-bapak telanjang yang sedang semadi di dalam. #hehehe

 

Masih dengan suasana yang gelap gulita, aku melangkah hati-hati mendekati kolam air sendang. Karena nggak menemukan gayung, jadinya aku menciduk air pakai tangan. Wah, seger banget rasanya membasuh wajah dengan air sendang setelah laku kurang kerjaan “menenteramkan hati” dan “uji nyali”, hahaha. #senyum.lebar

 

Sebetulnya, pingin juga aku berwudu pakai air sendang. Tapi, aku akhirnya memutuskan nggak lagi berurusan lebih lanjut main air di kolam yang gelap gulita karena rawan bikin kepleset, hehehe. #hehehe

 

 

Selesai membasuh wajah dengan air Sendang Seliran, aku balik lagi ke halaman Masjid Gedhe Mataram. Aku pun menggiring sepeda keluar dari halaman masjid lewat gerbang di “gang fotogenik” yang tadi aku masuki.

 

Masih dalam rangka aksi kurang kerjaan #senyum.lebar, dari Masjid Gedhe Mataram aku nggak langsung bersepeda pulang, melainkan menghampiri sumber suara gamelan yang tadi terdengar pas aku “menenteramkan hati” di serambi masjid. Kalau menurut indera pendengaranku, suara gamelannya itu berasal dari halaman parkir utama Masjid Gedhe Mataram.

 

Holadala! Rupanya di halaman parkir utama Masjid Gedhe Mataram sedang ada pagelaran wayang kulit. Jadi, dari sini toh asal suara-suara gamelan itu. Aku kira itu suara gamelan dari kerajaan tak kasat mata. #eh #hehehe

 

 

Aku bertanya ke seorang bapak penonton tentang lakon pagelaran wayang kulit ini. Sayang, beliau menjawab kurang tahu. Tapi, beliau bilang kalau di halaman parkir utama Masjid Gedhe Mataram memang sering diadakan pagelaran wayang kulit.

 

Dalang pentas wayang kulit pada malam ini rupanya seorang siswa SMP. Kata si bapak penonton, dalang muda ini sudah sering pentas di mana-mana. Mungkin karena si dalang masih belia, jadinya pagelaran wayang kulit ini menampilkan inovasi yang membawa kesegaran pertunjukan.

 

Inovasi yang aku maksud itu muncul di babak goro-goro alias babak “hiburan”. Kalau biasanya di babak goro-goro muncul tokoh-tokoh Punakawan, maka pada babak goro-goro ini yang muncul adalah gerombolan dhemit! Hahaha. #senyum.lebar

 

 

Si dalang muda ini niat sekali menghadirkan berbagai macam dhemit dalam wujud wayang kulit! Hampir semua dhemit yang umum dikenal ia tampilkan seperti pocong, kuntilanak, sundel bolong, tuyul, genderuwo, banaspati, dan lain sebagainya.

 

Beberapa wayang dhemit dimainkannya dengan cara yang unik dan nyeleneh. Misalnya, wayang berbentuk kuburan yang kalau ditarik bisa memunculkan bentuk pocong. Ada juga wayang dhemit yang kalau ditarik #maaf alat kemaluannya ikut memanjang. Hadeh.... #hehehe

 

Tapi, mungkin karena kelewat inovatif jadinya si dalang muda ini sempat kesulitan memainkan wayang dhemit yang dibawanya. Seperti saat memainkan wayang kuburan, ia sempat salah menarik sehingga gagal memunculkan efek keluarnya pocong. Alhasil, si dalang muda pun meminta maaf ke penonton dan meminta adegannya diulang. Para penonton termasuk aku tertawa-tawa melihat tingkahnya. #senyum.lebar

 

 

Di tengah keasyikanku menonton wayang nyeleneh, tiba-tiba aku tersadar,

 

“Lho? Ngapain aku nonton wayang? Nanti pagi kan aku nikah?” #hehehe

 

Karena kesadaranku sudah kembali jadilah aku (pada akhirnya) memutuskan untuk bersepeda pulang ke rumah. Untuk pulangnya aku lewat jalan yang berbeda yaitu Jl. Gedongkuning. Karena di tengah jalan aku merasa haus (plus sedikit lapar #hehehe), jadilah aku mampir sebentar di rumah di seberangnya Tune Hotel.

 

“Weh!? Kamu ngapain ke sini?”

 

Itulah yang diucapkan si pemilik rumah yang masih terjaga. Dia tentu terheran-heran pada larut malam ini mendapati ada tamu yang tak diundang. Ekspresi yang sama juga ditunjukkan oleh mas penjual bakmi Jawa yang mangkal di halaman depan rumah. #hehehe

 

“Yang lain baru saja pulang! Kamunya kok malah datang?”

 

Dengan masih memasang wajah heran, aku mengikuti sang pemilik masuk rumah. Aku duduk di bangku kayu di ruang tengah sambil bercerita tentang apa yang aku alami malam ini di Kotagede. Segelas teh panas dan beberapa potong biskuit menjadi teman ngobrol kami pada larut malam itu.

 

 

Malam semakin larut sebelum pada akhirnya aku pamit karena sudah kenyang dan ngantuk. Sebagai salam penutup, aku ucapkan sepotong ajakan yang tentu sudah berkali-kali ia dengar.

 

“Mbah! Ayo bersepeda!”

 

“Heh! Pagi ini kamu nikah kok bersepeda!?” tanya Mbah Gundul.

 

“Hooo iya yaa! Pagi ini aku nikah,” kataku sambil cengengesan.

 

“Katanya mau nyari hutan Alas Ketonggo itu di Kalasan. Sudah jadi belum?”

 

“Iyo Mbah! Nyari bathok bolu! Kalau gitu nanti sajalah bersepedanya ke sana setelah nikah.”

 

“Yoh!”

 

Malam yang aneh sebelum aku nikah itu ditutup dengan kedatanganku kembali di rumah sekitar pukul satu malam lewat. Konyolnya, pintu masuk rumah dikunci! Untung setelah aku gedor-gedor sambil merengek akhirnya Tiwul datang membukakan pintu.

 

Alhamdulillah, nggak ada kejadian aneh-aneh pada malam sebelum aku nikah. Termasuk tidur di teras karena terkunci nggak bisa masuk rumah, hehehe. #hehehe

NIMBRUNG DI SINI